Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyatakan bahwa lembaganya menolak jika pandemi COVID-19 dijadikan dalih pembebasan koruptor melalui revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Hal tersebut sebagai respons atas pernyataannya beberapa hari lalu yang menyambut positif usulan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly soal revisi PP 99/2012, salah satunya dengan membebaskan narapidana kasus tindak pidana korupsi yang telah berusia 60 tahun ke atas dan telah menjalani 2/3 masa pidana.
"Beberapa hari yang lalu saya dihubungi sejumlah rekan-rekan media terkait wacana Menkumham untuk membebaskan sejumlah narapidana termasuk kasus korupsi. Dari jawaban saya saat itu terdapat beragam respons dari publik dan kolega. Agar tidak terdapat kekeliruan atau bias pemahaman perlu saya tegaskan beberapa hal," ucap Ghufron melalui keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Pertama, lanjut dia, pertanyaan teman media pada intinya memintai pendapatnya soal wacana Menkumham untuk membebaskan sejumlah narapidana termasuk kasus korupsi.
"Jawaban saya pada media menyampaikan, saya memahami kalau pandemi COVID-19 ini merupakan ancaman bagi kemanusiaan secara global atas dasar nilai kemanusiaan, namun agar tetap perlu dilakukan secara berkeadilan dan memperhatikan tercapainya tujuan pemidanaan," tuturnya.
Kedua, kata dia, maksud dari sisi kemanusiaan itu adalah bahwa COVID-19 mengancam jiwa narapidana, namun penekanannya adalah pada prasyarat keadilan.
"Karena selama ini di saat kapasitas lapas yang melebih 300 persen, masih banyak pemidanaan kepada napi koruptor faktanya tidak sesak seperti halnya sel napi umum sehingga tidak adil kalau ternyata napi koruptor diperlakukan yang sama dengan napi yang telah sesak kapasitasnya," ujar Ghufron.
Ketiga, ucap dia, soal memperhatikan tujuan pemidanaan. Maksudnya adalah bahwa alasan pembebasan kepada para narapidana tidak kemudian meniadakan prasyarat proses dan tahapan pembinaan napi di lapas.
"Artinya, tidak boleh pembebasan tersebut dengan meninggalkan bahkan dilakukan tanpa seleksi ketercapaian program pembinaan bagi narapidana di lapas, selain syarat usia dan kerentanan potensi penyakit yang diidap oleh narapidana," kata dia.
Keempat, ia menegaskan bahwa perhatian utama dalam pernyataannya beberapa hari lalu itu adalah tentang aspek kemanusiaan serta perwujudan "physical distancing" di lapas.
Tujuannya adalah agar kita tidak melihat penempatan para narapidana di lapas semata sebagai balas dendam atau pembalasan saja, namun juga tetap memberikan perlindungan pemenuhan hak hidup dan hak kesehatan jika terancam akan penularan COVID-19.
"Sehingga perlu kami tegaskan terhadap napi korupsi yang selama ini dalam pemahaman kami kapasitas selnya tidak penuh, tidak seperti sel napi pidana umum tidak ada alasan untuk dilakukan pembebasan, KPK juga memahami keresahan masyarakat bahwa para pelaku korupsi selain melanggar hukum juga telah merampas hak-hak masyarakat saat ia melakukan korupsi," ujarnya.
Kelima, KPK tidak pernah diajak membahas soal wacana revisi PP 99/2012 tersebut.
"Karenanya, konteksnya tentang wacana tersebut kami malah memberikan prasyarat bahwa walau rencana itu kami pahami atas dasar kemanusiaan namun kami memberikan koridor "keadilan dan ketercapaian tujuan pemidanaan" itu poin utama dari pernyataan saya tersebut," ujar dia.
Kelima, KPK memandang Kementerian Hukum dan HAM belum melakukan perbaikan pengelolaan lapas dan melaksanakan rencana aksi yang telah disusun sebelumnya terkait dengan perbaikan lapas.
"Pasca OTT di Lapas Sukamiskin yang membuktikan praktik korupsi/suap dibalik fasilitas terhadap narapidana secara terjadi sehingga kapasitas sel menjadi tidak imbang, selama masih seperti ini adanya tidak beralasan untuk melakukan pembebasan terhadap napi karena malah akan menimbulkan ketidakadilan baru," ucap Ghufron.
KPK pun mengharap Kementerian Hukum dan HAM secara serius melakukan pembenahan pengelolaan lapas.
"Karena dengan cara ini pula lah kita bisa memastikan tujuan pembinaan di lapas dapat tercapai, termasuk dalam hal pandemi COVID-19 sehingga over kapasitas dapat diminimalisir," kata dia.
Ia juga menyatakan lembaganya pernah menemukan ribuan narapidana dan tahanan di rutan atau lapas yang "overstay" yang seharusnya telah keluar tetapi karena persoalan administrasi masih berada di lapas.
"Hal ini telah mulai diperbaiki Ditjen Pemasyarakatan. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah penyebab over kapasitas karena napi kasus narkotika yang seharusnya bisa mendapatkan rehabilitasi misalnya atau napi kejahatan lain (bukan korupsi)," ujar Ghufron.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020
Hal tersebut sebagai respons atas pernyataannya beberapa hari lalu yang menyambut positif usulan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly soal revisi PP 99/2012, salah satunya dengan membebaskan narapidana kasus tindak pidana korupsi yang telah berusia 60 tahun ke atas dan telah menjalani 2/3 masa pidana.
"Beberapa hari yang lalu saya dihubungi sejumlah rekan-rekan media terkait wacana Menkumham untuk membebaskan sejumlah narapidana termasuk kasus korupsi. Dari jawaban saya saat itu terdapat beragam respons dari publik dan kolega. Agar tidak terdapat kekeliruan atau bias pemahaman perlu saya tegaskan beberapa hal," ucap Ghufron melalui keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Pertama, lanjut dia, pertanyaan teman media pada intinya memintai pendapatnya soal wacana Menkumham untuk membebaskan sejumlah narapidana termasuk kasus korupsi.
"Jawaban saya pada media menyampaikan, saya memahami kalau pandemi COVID-19 ini merupakan ancaman bagi kemanusiaan secara global atas dasar nilai kemanusiaan, namun agar tetap perlu dilakukan secara berkeadilan dan memperhatikan tercapainya tujuan pemidanaan," tuturnya.
Kedua, kata dia, maksud dari sisi kemanusiaan itu adalah bahwa COVID-19 mengancam jiwa narapidana, namun penekanannya adalah pada prasyarat keadilan.
"Karena selama ini di saat kapasitas lapas yang melebih 300 persen, masih banyak pemidanaan kepada napi koruptor faktanya tidak sesak seperti halnya sel napi umum sehingga tidak adil kalau ternyata napi koruptor diperlakukan yang sama dengan napi yang telah sesak kapasitasnya," ujar Ghufron.
Ketiga, ucap dia, soal memperhatikan tujuan pemidanaan. Maksudnya adalah bahwa alasan pembebasan kepada para narapidana tidak kemudian meniadakan prasyarat proses dan tahapan pembinaan napi di lapas.
"Artinya, tidak boleh pembebasan tersebut dengan meninggalkan bahkan dilakukan tanpa seleksi ketercapaian program pembinaan bagi narapidana di lapas, selain syarat usia dan kerentanan potensi penyakit yang diidap oleh narapidana," kata dia.
Keempat, ia menegaskan bahwa perhatian utama dalam pernyataannya beberapa hari lalu itu adalah tentang aspek kemanusiaan serta perwujudan "physical distancing" di lapas.
Tujuannya adalah agar kita tidak melihat penempatan para narapidana di lapas semata sebagai balas dendam atau pembalasan saja, namun juga tetap memberikan perlindungan pemenuhan hak hidup dan hak kesehatan jika terancam akan penularan COVID-19.
"Sehingga perlu kami tegaskan terhadap napi korupsi yang selama ini dalam pemahaman kami kapasitas selnya tidak penuh, tidak seperti sel napi pidana umum tidak ada alasan untuk dilakukan pembebasan, KPK juga memahami keresahan masyarakat bahwa para pelaku korupsi selain melanggar hukum juga telah merampas hak-hak masyarakat saat ia melakukan korupsi," ujarnya.
Kelima, KPK tidak pernah diajak membahas soal wacana revisi PP 99/2012 tersebut.
"Karenanya, konteksnya tentang wacana tersebut kami malah memberikan prasyarat bahwa walau rencana itu kami pahami atas dasar kemanusiaan namun kami memberikan koridor "keadilan dan ketercapaian tujuan pemidanaan" itu poin utama dari pernyataan saya tersebut," ujar dia.
Kelima, KPK memandang Kementerian Hukum dan HAM belum melakukan perbaikan pengelolaan lapas dan melaksanakan rencana aksi yang telah disusun sebelumnya terkait dengan perbaikan lapas.
"Pasca OTT di Lapas Sukamiskin yang membuktikan praktik korupsi/suap dibalik fasilitas terhadap narapidana secara terjadi sehingga kapasitas sel menjadi tidak imbang, selama masih seperti ini adanya tidak beralasan untuk melakukan pembebasan terhadap napi karena malah akan menimbulkan ketidakadilan baru," ucap Ghufron.
KPK pun mengharap Kementerian Hukum dan HAM secara serius melakukan pembenahan pengelolaan lapas.
"Karena dengan cara ini pula lah kita bisa memastikan tujuan pembinaan di lapas dapat tercapai, termasuk dalam hal pandemi COVID-19 sehingga over kapasitas dapat diminimalisir," kata dia.
Ia juga menyatakan lembaganya pernah menemukan ribuan narapidana dan tahanan di rutan atau lapas yang "overstay" yang seharusnya telah keluar tetapi karena persoalan administrasi masih berada di lapas.
"Hal ini telah mulai diperbaiki Ditjen Pemasyarakatan. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah penyebab over kapasitas karena napi kasus narkotika yang seharusnya bisa mendapatkan rehabilitasi misalnya atau napi kejahatan lain (bukan korupsi)," ujar Ghufron.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020