Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo adalah dua di antara sedikit pemain bintang nan mahal yang berusaha keras dipertahankan klubnya pada era ketika pandemi menggerogoti kemampuan keuangan klub-klub profesional Eropa.
Namun lebih banyak lagi pemain bintang yang terpaksa dilepas atau akhirnya tak bisa ke mana-mana karena situasi keuangan yang mendera klubnya.
Ada yang dilego karena harga tingginya terjangkau oleh klub lain dan saat bersamaan klub asalnya tak mampu membayar tinggi sang pemain atau membutuhkan dana untuk menutupi seretnya pemasukan keuangan selama krisis pandemi.
Ada pula yang terpaksa dipinjamkan ke klub lain karena tiada klub yang berminat membelinya karena harga kelewat tinggi.
Krisis keuangan akibat pandemi yang di antaranya membuat pemasukan dari tiket dan sponsor mandek, menciptakan masalah keuangan yang pelik.
Real Madrid ingin Sergio Ramos bertahan, pun demikian dengan AC Milan dengan Gianluigi Donnarumma, dan Liverpool untuk Georginio Wijnaldum.
Andaikan situasi normal-normal saja, Madrid, Milan dan Liverpool mungkin akan mati-matian mempertahankan pemain-pemain itu.
Sebaliknya bagi klub-klub superkaya seperti Paris Saint Germain, Manchester United, Chelsea dan Manchester City, pandemi yang juga mengikis performa keuangan mereka, malah melapangkan jalan untuk membeli pemain-pemain hebat dari klub-klub besar lain yang mereka tahu sedang dililit masalah keuangan lebih berat.
Banyak pemain yang sebenarnya masih menyisakan satu tahun lagi dalam kontraknya, terpaksa dilepas karena klub tak ingin mendapatkan apa-apa ketika pemain mereka berstatus bebas transfer.
Situasi-situasi ini merupakan akibat samping dari krisis likuiditas dalam sepak bola profesional yang disebabkan oleh COVID-19. Situasi ini tak pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Menurut ESPN, baru kali dalam sepak bola profesional menghadapi begitu banyak pemain yang vital bagi klub-klub besar namun terpaksa berstatus bebas transfer setelah selama satu setengah tahun sebelumnya tak kunjung menyepakati kontrak baru.
Sebaliknya bagi klub-klub yang postur keuangannya masih sangat kuat untuk membeli pemain baru, situasi ini sangat menguntungkan.
Harga turun
Jika butuh imbuhan hebat untuk lini depan, pemain-pemain muda seperti Paulo Dybala, Alexandre Lacazette dan Kylian Mbappe sudah tersedia di pasar. Erling Haaland yang kontraknya masih panjang pun bisa masuk daftar buruan, mengingat dia memiliki klausul jual setelah berakhirnya musim 2021-2022. Bahkan Real Madrid kabarnya menawarkan Vinicius Junior kepada Manchester United. Pun demikian dengan striker-striker senior kelas atas seperti Karim Benzema, Luis Suarez dan Gareth Bale.
Stok gelandang mumpuni juga banyak, asal harga cocok saja. Leon Goretzka, Franck Kessie, Thomas Delaney, Marcelo Brozovic, Sergi Roberto, Isco, Paul Pogba, Luka Modric, Axel Witsel, dan Angel Di Maria adalah di antara gelandang hebat yang bisa didapatkan lebih mudah ketimbang dalam situasi masa normal.
Demikian juga dengan bek. Di sini ada Raphael Varane, Andreas Christensen, Antonio Rudiger, Nacho, Alessio Romagnoli, John Stones, Serge Aurier dan Dani Carvajal. Pun demikian bagi mereka yang lagi mencari kiper. Andre Onana, Samir Handanovic dan Hugo Lloris turut masuk dalam bursa transfer.
Sebelum badai keuangan akibat pandemi menyapu klub-klub Eropa, adalah pantangan bagi klub membiarkan pemain bintang mereka berada dalam fase terakhir dalam kontraknya. Selalu satu tahun atau dua tahun sebelum itu, pemain-pemain bintang tersebut diikat kembali dengan kontrak baru, bahkan dipagari opsi jual sangat tinggi.
Itu karena jika pemain bintang dibiarkan mendekati satu tahun sebelum kontraknya habis, maka pemain itu bakal memiliki posisi tawar sangat tinggi yang bisa menekan klub.
Dia bisa menuntut kenaikan gaji. Dan jika klub tak bisa memenuhinya, maka pemain itu tinggal memiliki status bebas kontrak untuk kemudian agen si pemain seorang yang menentukan transfer si pemain. Dalam situasi ini, klub yang tadinya pemilik pemain itu tak akan mendapatkan apa-apa.
Sebaliknya status bebas transfer membuat pemain dibayar lebih tinggi karena tidak perlu memberikan fee transfer kepada klub asalnya.
Dari sudut pandang klub, seorang pemain yang menyisakan satu tahun lagi dalam kontrak umumnya dianggap turun harganya dalam bursa transfer.
Sebaliknya pemain yang pindah klub ketika kontraknya tinggal satu tahun lagi bakal mendapatkan kenaikan gaji substansial di klub barunya.
Situasi bebas transfer dan menyisakan satu tahun lagi dalam transfer ini begitu banyak terjadi saat ini.
Krisis likuiditas akibat COVID adalah salah satu alasan utama begitu banyak pemain berstatus bebas transfer menjelang musim baru nanti. Menurut Asosiasi Klub-klub Eropa (ECA), selama dua musim terakhir klub-klub total merugi 9 miliar euro (Rp34,3 triliun).
Kerugian sebesar itu timbul karena arus tunai terhenti akibat tiadanya pemasukan dari tiket masuk stadion, selain harus turut menutup kompensasi kepada pemegang hak siar yang dirugikan oleh penghentian kompetisi pada akhir triwulan pertama 2020. Situasi ini diperparah oleh seretnya pemasukan dari sponsor dan pendapatan komersial yang turut amblas digempur pandemi.
Situasi pelik
Di atas itu semua, krisis likuiditas menciptakan situasi yang sangat dibenci dunia bisnis mana pun, termasuk industri sepak bola, yakni ketidakpastian.
Jika krisis bisa diprediksi, maka klub bisa menyusun ancang-ancang keuangan atau strategi bisnis, termasuk dalam transfer pemain. Namun ini tak terjadi pada krisis akibat pandemi.
Segalanya tak bisa diprediksi, baik itu skala dampaknya maupun rentang waktu krisis berlangsung.
Ketidakpastian ini membuat klub-klub menjalankan strategis keuangan yang konservatif, di antaranya berhati-hati dalam memberikan perpanjangan kontrak kepada pemain karena salah-salah bisa berujung kepada negosiasi kenaikan nilai kontrak padahal kondisi riil keuangan klub tidak mungkin melakukannya. Bagi banyak klub, ini menjadi semakin mustahil karena saat bersamaan mereka lebih dituntut berjuang menutupi utang yang menggunung.
Situasi pelik ini mempengaruhi pemain-pemain yang berada pada usia produktifnya, konsisten berkinerja bagus dan menempati posisi sangat penting dalam sistem bermain klubnya.
Contohnya Goretzka dan Joshua Kimmich di Bayern Muenchen. Mereka muda, konsisten bagus dan menjadi pilar untuk timnya. Bayern ingin mempertahankan mereka, tapi perpanjangan kontrak bisa berarti kenaikan gaji yang adalah situasi bertentangan dengan kondisi keuangan klub.
Ada juga pemain yang berhasrat pergi untuk bergabung dengan klub lain seperti Paul Pogba dan Raphael Varane, sekalipun kedua pemain diperlakukan sebagai asset penting oleh klubnya.
Kalaupun Pogba ngotot ingin hengkang, nilai transfernya yang sebesar 105 juta euro (Rp1,8 triliun) menjadi kendali bagi klub yang menginginkannya, bahkan untuk klub sekaya Real Madrid atau Paris Saint Germain sekalipun.
Situasi sama terjadi pada Kylian Mbappe. Manchester City, Chelsea atau Liverpool mungkin mampu mendatangkan pemain ini. Tetapi kemungkinan besar setelah menjual pemain-pemainnya sendiri ke klub lain karena tanpa langkah ini harga 180 juta euro (Rp3,08 triliun) adalah terlalu mahal, apalagi dalam situasi pandemi.
Inilah situasi-situasi pelik dalam bursa transfer Eropa musim panas ini. Tidak heran, negosiasi bisa sangat alot, bahkan memakan waktu lama sekali. Manchester United baru bisa mendapatkan Jadon Sancho setelah dua tahun memburunya.
Tapi klub-klub yang tak terlalu direpotkan oleh uang, bahkan dalam kondisi krisis seperti sekarang, taruhlah Chelsea dan PSG, situasi ini malah menjadi kesempatan untuk terus memperkuat skuadnya. Sebaliknya klub-klub raksasa yang didera lebih keras oleh krisis keuangan seperti Madrid, Barcelona dan Juventus, terpaksa kehilangan pemain-pemain paling berbakatnya.
Di tengah situasi seperti ini, kecil kemungkinan periode transfer musim panas ini bisa menciptakan transfer yang memecahkan rekor.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021
Namun lebih banyak lagi pemain bintang yang terpaksa dilepas atau akhirnya tak bisa ke mana-mana karena situasi keuangan yang mendera klubnya.
Ada yang dilego karena harga tingginya terjangkau oleh klub lain dan saat bersamaan klub asalnya tak mampu membayar tinggi sang pemain atau membutuhkan dana untuk menutupi seretnya pemasukan keuangan selama krisis pandemi.
Ada pula yang terpaksa dipinjamkan ke klub lain karena tiada klub yang berminat membelinya karena harga kelewat tinggi.
Krisis keuangan akibat pandemi yang di antaranya membuat pemasukan dari tiket dan sponsor mandek, menciptakan masalah keuangan yang pelik.
Real Madrid ingin Sergio Ramos bertahan, pun demikian dengan AC Milan dengan Gianluigi Donnarumma, dan Liverpool untuk Georginio Wijnaldum.
Andaikan situasi normal-normal saja, Madrid, Milan dan Liverpool mungkin akan mati-matian mempertahankan pemain-pemain itu.
Sebaliknya bagi klub-klub superkaya seperti Paris Saint Germain, Manchester United, Chelsea dan Manchester City, pandemi yang juga mengikis performa keuangan mereka, malah melapangkan jalan untuk membeli pemain-pemain hebat dari klub-klub besar lain yang mereka tahu sedang dililit masalah keuangan lebih berat.
Banyak pemain yang sebenarnya masih menyisakan satu tahun lagi dalam kontraknya, terpaksa dilepas karena klub tak ingin mendapatkan apa-apa ketika pemain mereka berstatus bebas transfer.
Situasi-situasi ini merupakan akibat samping dari krisis likuiditas dalam sepak bola profesional yang disebabkan oleh COVID-19. Situasi ini tak pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Menurut ESPN, baru kali dalam sepak bola profesional menghadapi begitu banyak pemain yang vital bagi klub-klub besar namun terpaksa berstatus bebas transfer setelah selama satu setengah tahun sebelumnya tak kunjung menyepakati kontrak baru.
Sebaliknya bagi klub-klub yang postur keuangannya masih sangat kuat untuk membeli pemain baru, situasi ini sangat menguntungkan.
Harga turun
Jika butuh imbuhan hebat untuk lini depan, pemain-pemain muda seperti Paulo Dybala, Alexandre Lacazette dan Kylian Mbappe sudah tersedia di pasar. Erling Haaland yang kontraknya masih panjang pun bisa masuk daftar buruan, mengingat dia memiliki klausul jual setelah berakhirnya musim 2021-2022. Bahkan Real Madrid kabarnya menawarkan Vinicius Junior kepada Manchester United. Pun demikian dengan striker-striker senior kelas atas seperti Karim Benzema, Luis Suarez dan Gareth Bale.
Stok gelandang mumpuni juga banyak, asal harga cocok saja. Leon Goretzka, Franck Kessie, Thomas Delaney, Marcelo Brozovic, Sergi Roberto, Isco, Paul Pogba, Luka Modric, Axel Witsel, dan Angel Di Maria adalah di antara gelandang hebat yang bisa didapatkan lebih mudah ketimbang dalam situasi masa normal.
Demikian juga dengan bek. Di sini ada Raphael Varane, Andreas Christensen, Antonio Rudiger, Nacho, Alessio Romagnoli, John Stones, Serge Aurier dan Dani Carvajal. Pun demikian bagi mereka yang lagi mencari kiper. Andre Onana, Samir Handanovic dan Hugo Lloris turut masuk dalam bursa transfer.
Sebelum badai keuangan akibat pandemi menyapu klub-klub Eropa, adalah pantangan bagi klub membiarkan pemain bintang mereka berada dalam fase terakhir dalam kontraknya. Selalu satu tahun atau dua tahun sebelum itu, pemain-pemain bintang tersebut diikat kembali dengan kontrak baru, bahkan dipagari opsi jual sangat tinggi.
Itu karena jika pemain bintang dibiarkan mendekati satu tahun sebelum kontraknya habis, maka pemain itu bakal memiliki posisi tawar sangat tinggi yang bisa menekan klub.
Dia bisa menuntut kenaikan gaji. Dan jika klub tak bisa memenuhinya, maka pemain itu tinggal memiliki status bebas kontrak untuk kemudian agen si pemain seorang yang menentukan transfer si pemain. Dalam situasi ini, klub yang tadinya pemilik pemain itu tak akan mendapatkan apa-apa.
Sebaliknya status bebas transfer membuat pemain dibayar lebih tinggi karena tidak perlu memberikan fee transfer kepada klub asalnya.
Dari sudut pandang klub, seorang pemain yang menyisakan satu tahun lagi dalam kontrak umumnya dianggap turun harganya dalam bursa transfer.
Sebaliknya pemain yang pindah klub ketika kontraknya tinggal satu tahun lagi bakal mendapatkan kenaikan gaji substansial di klub barunya.
Situasi bebas transfer dan menyisakan satu tahun lagi dalam transfer ini begitu banyak terjadi saat ini.
Krisis likuiditas akibat COVID adalah salah satu alasan utama begitu banyak pemain berstatus bebas transfer menjelang musim baru nanti. Menurut Asosiasi Klub-klub Eropa (ECA), selama dua musim terakhir klub-klub total merugi 9 miliar euro (Rp34,3 triliun).
Kerugian sebesar itu timbul karena arus tunai terhenti akibat tiadanya pemasukan dari tiket masuk stadion, selain harus turut menutup kompensasi kepada pemegang hak siar yang dirugikan oleh penghentian kompetisi pada akhir triwulan pertama 2020. Situasi ini diperparah oleh seretnya pemasukan dari sponsor dan pendapatan komersial yang turut amblas digempur pandemi.
Situasi pelik
Di atas itu semua, krisis likuiditas menciptakan situasi yang sangat dibenci dunia bisnis mana pun, termasuk industri sepak bola, yakni ketidakpastian.
Jika krisis bisa diprediksi, maka klub bisa menyusun ancang-ancang keuangan atau strategi bisnis, termasuk dalam transfer pemain. Namun ini tak terjadi pada krisis akibat pandemi.
Segalanya tak bisa diprediksi, baik itu skala dampaknya maupun rentang waktu krisis berlangsung.
Ketidakpastian ini membuat klub-klub menjalankan strategis keuangan yang konservatif, di antaranya berhati-hati dalam memberikan perpanjangan kontrak kepada pemain karena salah-salah bisa berujung kepada negosiasi kenaikan nilai kontrak padahal kondisi riil keuangan klub tidak mungkin melakukannya. Bagi banyak klub, ini menjadi semakin mustahil karena saat bersamaan mereka lebih dituntut berjuang menutupi utang yang menggunung.
Situasi pelik ini mempengaruhi pemain-pemain yang berada pada usia produktifnya, konsisten berkinerja bagus dan menempati posisi sangat penting dalam sistem bermain klubnya.
Contohnya Goretzka dan Joshua Kimmich di Bayern Muenchen. Mereka muda, konsisten bagus dan menjadi pilar untuk timnya. Bayern ingin mempertahankan mereka, tapi perpanjangan kontrak bisa berarti kenaikan gaji yang adalah situasi bertentangan dengan kondisi keuangan klub.
Ada juga pemain yang berhasrat pergi untuk bergabung dengan klub lain seperti Paul Pogba dan Raphael Varane, sekalipun kedua pemain diperlakukan sebagai asset penting oleh klubnya.
Kalaupun Pogba ngotot ingin hengkang, nilai transfernya yang sebesar 105 juta euro (Rp1,8 triliun) menjadi kendali bagi klub yang menginginkannya, bahkan untuk klub sekaya Real Madrid atau Paris Saint Germain sekalipun.
Situasi sama terjadi pada Kylian Mbappe. Manchester City, Chelsea atau Liverpool mungkin mampu mendatangkan pemain ini. Tetapi kemungkinan besar setelah menjual pemain-pemainnya sendiri ke klub lain karena tanpa langkah ini harga 180 juta euro (Rp3,08 triliun) adalah terlalu mahal, apalagi dalam situasi pandemi.
Inilah situasi-situasi pelik dalam bursa transfer Eropa musim panas ini. Tidak heran, negosiasi bisa sangat alot, bahkan memakan waktu lama sekali. Manchester United baru bisa mendapatkan Jadon Sancho setelah dua tahun memburunya.
Tapi klub-klub yang tak terlalu direpotkan oleh uang, bahkan dalam kondisi krisis seperti sekarang, taruhlah Chelsea dan PSG, situasi ini malah menjadi kesempatan untuk terus memperkuat skuadnya. Sebaliknya klub-klub raksasa yang didera lebih keras oleh krisis keuangan seperti Madrid, Barcelona dan Juventus, terpaksa kehilangan pemain-pemain paling berbakatnya.
Di tengah situasi seperti ini, kecil kemungkinan periode transfer musim panas ini bisa menciptakan transfer yang memecahkan rekor.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021