Ketua Tim Pakar Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengemukakan tidak dilibatkannya perhitungan indikator kematian dalam laporan harian COVID-19 di Indonesia hanya bersifat sementara.
"Kebijakan itu paralel dengan upaya perbaikan sistem pencatatan dan pelaporan nasional," kata Wiku Adisasmito saat dikonfirmasi melalui pesan singkat di Jakarta, Kamis pagi.
Wiku mengatakan perbaikan pada sistem pencatatan angka kematian di setiap daerah dilakukan demi kebijakan yang tepat melalui data yang valid.
Secara terpisah Tim Laporan Warga dari Lapor COVID-19 Yemiko Heppy mengatakan akurasi terkait laporan COVID-19 dari pemerintah pusat kerap dikeluhkan masyarakat berdasarkan laporan yang dihimpun dari sejumlah sumber media sosial.
"Perihal akurasi data COVID-19 ini kita menerima beberapa laporan, walaupun tidak terlalu banyak jumlahnya," katanya.
Berdasarkan catatan Lapor COVID-19, ada selisih data kematian antara situs yang dikelola pemerintah provinsi dengan rilis Kemenkes RI.
"Untuk bulan Juli 2021 saja, ada 19.000 data kematian yang dilaporkan pemda tidak tercatat oleh pemerintah pusat. Kemana datanya?," katanya.
Lapor COVID-19 juga menemukan sejumlah wilayah dengan selisih angka kematian terbesar yang terjadi pada Sabtu (7/8). Daerah tersebut di antaranya Jawa Tengah dengan selisih 9.662 orang, Jawa Barat selisih 6.215 orang.
"Selisih itu juga terjadi di Yogyakarta, Papua, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah," katanya.
Yemiko mendesak agar pemerintah tidak mengabaikan data kematian sebagai indikator evaluasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). "Data kematian adalah indikator dampak dan skala pandemi yang perlu diketahui warga agar tidak abai risiko," katanya.
Upaya menghapus data kematian, kata Yemiko, adalah tindakan yang tidak tepat sebab data kematian menjadi salah satu indikator terpenting untuk melihat buruknya dampak pandemi.
"Pemerintah wajib membenahi teknis pendataan serta memasukkan data kematian probabel bukan menghilangkannya," katanya.
Dikatakan Yemiko angka kematian yang selama ini diumumkan oleh pemerintah pun sebenarnya belum cukup untuk mengetahui dampak pandemi. "Fakta di lapangan jauh lebih mengerikan dari data yang dilaporkan," katanya.
Ia menambahkan upaya memperbaiki data dengan cara menghapus laporan akumulasi kematian dalam kurun sepekan bahkan beberapa bulan sebelumnya berpotensi mencederai prinsip keterbukaan informasi publik.
"Menghapus angka kematian itu bukan sikap yang bertanggung jawab atas yang terjadi selama ini. Yang diperlukan pemerintah menghadirkan sistem regulasi di mana sistem tidak memiliki celah penyimpangan data," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021
"Kebijakan itu paralel dengan upaya perbaikan sistem pencatatan dan pelaporan nasional," kata Wiku Adisasmito saat dikonfirmasi melalui pesan singkat di Jakarta, Kamis pagi.
Wiku mengatakan perbaikan pada sistem pencatatan angka kematian di setiap daerah dilakukan demi kebijakan yang tepat melalui data yang valid.
Secara terpisah Tim Laporan Warga dari Lapor COVID-19 Yemiko Heppy mengatakan akurasi terkait laporan COVID-19 dari pemerintah pusat kerap dikeluhkan masyarakat berdasarkan laporan yang dihimpun dari sejumlah sumber media sosial.
"Perihal akurasi data COVID-19 ini kita menerima beberapa laporan, walaupun tidak terlalu banyak jumlahnya," katanya.
Berdasarkan catatan Lapor COVID-19, ada selisih data kematian antara situs yang dikelola pemerintah provinsi dengan rilis Kemenkes RI.
"Untuk bulan Juli 2021 saja, ada 19.000 data kematian yang dilaporkan pemda tidak tercatat oleh pemerintah pusat. Kemana datanya?," katanya.
Lapor COVID-19 juga menemukan sejumlah wilayah dengan selisih angka kematian terbesar yang terjadi pada Sabtu (7/8). Daerah tersebut di antaranya Jawa Tengah dengan selisih 9.662 orang, Jawa Barat selisih 6.215 orang.
"Selisih itu juga terjadi di Yogyakarta, Papua, Kalimantan Barat, Sumatera Utara dan Kalimantan Tengah," katanya.
Yemiko mendesak agar pemerintah tidak mengabaikan data kematian sebagai indikator evaluasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). "Data kematian adalah indikator dampak dan skala pandemi yang perlu diketahui warga agar tidak abai risiko," katanya.
Upaya menghapus data kematian, kata Yemiko, adalah tindakan yang tidak tepat sebab data kematian menjadi salah satu indikator terpenting untuk melihat buruknya dampak pandemi.
"Pemerintah wajib membenahi teknis pendataan serta memasukkan data kematian probabel bukan menghilangkannya," katanya.
Dikatakan Yemiko angka kematian yang selama ini diumumkan oleh pemerintah pun sebenarnya belum cukup untuk mengetahui dampak pandemi. "Fakta di lapangan jauh lebih mengerikan dari data yang dilaporkan," katanya.
Ia menambahkan upaya memperbaiki data dengan cara menghapus laporan akumulasi kematian dalam kurun sepekan bahkan beberapa bulan sebelumnya berpotensi mencederai prinsip keterbukaan informasi publik.
"Menghapus angka kematian itu bukan sikap yang bertanggung jawab atas yang terjadi selama ini. Yang diperlukan pemerintah menghadirkan sistem regulasi di mana sistem tidak memiliki celah penyimpangan data," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2021