Peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menyatakan, di tengah kenaikan harga minyak, Pertamina Patra Niaga sebagai badan usaha niaga umum non BUMN, terancam akan mengalami kerugian terus dikarenakan tidak memiliki mekanisme penyesuaian harga yang bersifat otomatis. 

"Karena tidak ada regulasi pendukungnya. Pertamina Patra Niaga sub holding ritel Pertamina bisa mengalami kesulitan keuangan karena menjalankan bisnis BBM yang terpaksa membuatnya rugi," kata Salamudding Daeng dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Kamis. 

Dia menjelaskan, harga minyak mentah naik, sekarang harganya sudah 75-80 dolar per barel dan harga minyak terbukti tidak terpengaruh dengan COVID-19.

Dia menambahkan, Pertamina sebagai induk holding terancam mengalami "pendarahan" keuangan disebabkan tiga hal sekaligus yakni, utang yang sangat besar untuk membiayai pengadaan BBM, pembayaran bunga dan utang jatuh tempo, kemudian piutang subsidi dan pergantian selisih harga yang belum dibayar oleh pemerintah, dan menanggung biaya atas operasi anak perusahaan yang merugi. 

"Sementara patra niaga meskipun rugi tidak dapat dibubarkan, karena bertanggung jawab mendistribusikan BBM ke seluruh negeri," ujarnya.

Pertamina Patra Niaga terpaksa tidak bisa fleksibel dalam menyesuaikan harga jual BBM non subsidi. Harusnya harga BBM non subsidi menjadi tanggungjawab korporasi tetapi harga BBM subsidi terkesan ditetapkan oleh pemerintah. Sementara itu tidak ada  dukungan politik dan regulasi terhadap penyesuaian harga BBM non subsidi pertalite dan pertamax 92. 

"Sudah lama berkembang 'isu' bahwa Pertamina Patra Niaga terpaksa menjual rugi BBM non subsidi jenis pertalite dan pertamax 92. Pertalite adalah jenis BBM yang volumenya paling banyak dikonsumsi rakyat, namun harga jualnya konon di bawah harga pokok produksi," ujarnya.

Pertalite dan pertamax 92 bukan BBM subsidi, namun dipersepsikan sebagai BBM subsidi. Harga jual pertalite dan pertamax 92 tidak bisa mengikuti pasar yang harga berlaku sebagaimana harga BBM non subsidi yang dijual SPBU swasta dan asing di indonesia. "Alasannya mungkin politik, dan
Pertamina Patra Niaga dibiarkan tekor besar," katanya.

Bahkan, menurut dia, pertamax 92 jenis BBM di atas pertalite juga dipersepsikan BBM subsidi. Harga jualnya terkesan terpaksa tidak berani disesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia. Padahal kenyataannya Pesaing bksnis Patra Niaga sudah melakukan rasionalisasi harga pada jenis BBM RON 90 setara pertalite dan 92 setara Pertamax.

"Mengingat penjualan BBM pertalite sangat besar, perlu dipertimbangkan oleh pemerintah agar menjadikan pertalite sebagai BBM bersubsidi. Dengan demikian selisih harga dengan pasar menjadi tanggung jawab APBN," katanya. 

Dia menambahkan, jika pertalite dijadikan BBM subsidi maka ada kesempatan pemerintah menghapus premium. Mengingat premium telah dianggap sebagai bahan bakar kotor yang mencemari udara.

Penghapusan premium sangat penting bagi Presiden Jokowi sebagai G20 presidency dan Pemimpin COP 26. Ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menurunkan emisi co2. "Ini juga akan menjadi bagian dari prestasi Pertamina, meningkatkan peringkat utang dan menurunkan resiko utang Pertamina," katanya.

 

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2022