Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori mengatakan, ketiadaan penyesuaian harga BBM jenis pertalite dan pertamax RON 92 mempengaruhi atau menjadi penyebab utama melorotnya kinerja PT Pertamina (Persero) melalui Pertamina Patra Niaga.

"Ketiadaan penyesuaian harga BBM jenis pertalite dan pertamax 92 ini tentu akan berpengaruh signifikan atas biaya atau beban operasional korporasi yang berakibat pada kondisi aliran kas (cash flow) Pertamina dalam jangka pendek, untuk membeli sumber bahan baku yang lebih mahal, sementara harga jual ke konsumen tidak mengalami perubahan," kata Defiyan Cori dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Jumat.

Kinerja ini tentu akan semakin melorot, jika pada tanggal 18 September 2021 PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina Patra Niaga, atau Sub Holding Commercial and Trading tidak menaikkan dua produk BBM non subsidi yaitu pertamax turbo dan pertamina dex. Pertamax turbo (RON 98) yang semula harganya Rp9.850 per liter dinaikkan menjadi Rp12.300 per liter, berarti terdapat perubahan sejumlah Rp2.450 atau sebesar hampir 25 persen. 

Kenaikan harga juga diberlakukan kepada pertamina dex (CN 53) yang semula harganya Rp10.200 per liter menjadi Rp11.150 per liter atau mengalami perubahan harga sejumlah Rp950 atau hanya sebesar 9,3 persen saja, katanya.

Namun, untuk produk BBM jenis lain seperti pertalite dan pertamax RON 92 tidak mengalami perubahan, dan mengikuti ketentuan yang telah diberlakukan pada jenis BBM non subsidi tersebut, padahal konsumsi pertalite mencapai 70 persen dari total jenis BBM yang diperjualbelikan. 

"Ketiadaan penyesuaian harga BBM jenis pertalite dan pertamax 92 ini tentu akan berpengaruh signifikan biaya atau beban operasional korporasi yang berakibat pada kondisi aliran kas (cash flow) Pertamina dalam jangka pendek untuk membeli sumber bahan baku yang lebih mahal, sementara harga jual ke konsumen tidak mengalami perubahan," ujarnya.

Kemudian, menurut dia, dalam jangka panjang, implikasinya adalah terkait dengan kebijakan subsidi energi dan transisi energi yang telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo tentu akan menghambat aksi korporasi BUMN Pertamina dalam mencari sumber pembiayaan ekonomis dan membayar kewajiban kepada pihak ketiga serta melayani masyarakat konsumen sampai ke daerah tertinggal, terdepan, terluar (3T).  

"Sebelum terlambat, supaya tidak mengikuti jejak kasus ambruknya BUMN Garuda Indonesia, maka selayaknya Presiden Joko Widodo mengambil langkah-langkah yang cepat, cermat dan tepat untuk melakukan penyesuaian harga dimaksud. Kenaikan harga BBM jenis pertalite ini penting dalam kerangka mendukung mandat Presidensi G20 pada Presiden Joko Widodo dan komitmen COP26 untuk menyediakan energi bersih dan ramah lingkungan, dan Pertalite masih termasuk dalam jenis BBM yang tidak mendukungnya," ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menyatakan, jika merujuk pada UU BUMN, maka seharusnya BUMN seperti Pertamina tidak boleh menjual rugi produknya. 

"Artinya tidak boleh menjual di bawah biaya pokok produksinya. Jadi kalau Pertamina menjual BBM non PSO seperti pertalite dan pertamax berpotensi melanggar UU BUMN," ujarnya.

Kalau tetap menjual rugi, maka harus dalam bentuk penugasan oleh regulator. Konsekwensinya regulator harus memberikan kompensasi pada operator Pertamina, katanya.

"Jangan dibiarkan menggantung seperti harga dibiarkan merugi, dan regulator cuek tidak memberikan kompensasi pada operator sehingga tidak fair," katanya.

Dia menambahkan, pemerintah seharusnya tidak melakukan pembiaran Pertamina menjual rugi produknya, sementara SPBU swasta sudah menaikkan harga BBM-nya kepada konsumen.

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2022