Surau Raden Sulaiman di Dusun Kota Bangun, Desa Sebangun, menjadi bagian penting jejak dan bukti sejarah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
Kota Bangun di Kecamatan Sebawi merupakan tapak pertama Sultan Tengah atau ayah dari Raden Sulaiman mendirikan sebuah perkampungan sewaktu pertama kali datang ke Sambas.
Sultan Tengah yang berasal dari Sarawak, Malaysia, bersama keluarganya sempat menetap di Kota Bangun selama satu tahun dan membangun sebuah surau. Surau yang kemudian diberi nama Surau Raden Sulaiman (sesuai nama salah satu putranya) itu berdiri pada awal abad ke-16.
Selama di Kota Bangun, mereka melanjutkan penelusuran sungai Sambas Kecil dan berhenti pada suatu tempat yang kemudian menjadi pusat pemerintahan baru, demikian dikutip dari berbagai sumber.
Penulis yang tinggal di Desa Sebangun, dapat melihat langsung jejak sejarah Sambas dengan keberadaan surau ini.
Luas lokasi tempat berdirinya Surau Raden Sulaiman yaitu 505 meter persegi. Bangunan surau memiliki panjang 10 meter dan lebar 9 meter, mampu menampung sekitar 100 jamaah.
Pada surau ini terdapat empat tiang tengah sebagai penopang bangunan utama yang terbuat dari kayu belian dan sekarang masih dapat kita jumpai di dalam surau.
Tiang tersebut sengaja tidak dibongkar karena ketahanannya masih layak untuk menopang bangunan surau dan sebagai bukti sejarah dari surau lama. Meskipun atap, dinding, dan lantai sudah diganti baru semua.
Selain itu, masih ada peninggalan yang terawat yaitu tongkat khatib yang terbuat dari kayu belian yang diukir. Tongkat ini dulunya digunakan sebagai tongkat ketika khatib sedang membacakan khutbah.
Tongkat khatib tersebut sekarang dipajang dalam lemari kaca agar terhindar dari debu dan sentuhan tangan. Sehingga dapat memudahkan tamu untuk melihat benda bersejarah tersebut.
Selain itu di depan surau masih ada tempayan besar yang terbuat dari batu yang digunakan untuk mencuci kaki ketika hendak masuk ke surau.
Tempayan itu menurut masyarakat setempat pernah pecah dan terbelah menjadi dua karena faktor panas dan perubahan cuaca. Karena adanya kerja sama masyarakat setempat untuk memperbaiki, tempayan tersebut menjadi utuh seperti sedia kala.
Tempayan itu harus dijaga agar jangan sampai pecah lagi karena kelalaian atau ketidaksengajaan. Jika tempayan ini rusak atau pecah akan hilang bukti sejarah yang sudah berumur ratusan tahun.
Di samping tempayan besar itu juga ada batu yang melebar. Batu tersebut digunakan Raden Sulaiman untuk berpijaknya kaki untuk mengambil air di tempayan.
Sumur atau telaga yang berada di samping kanan surau yang dahulu digunakan untuk berwudhu ketika akan melakukan sholat, saat ini sudah tidak tampak lagi.
Sekarang fungsinya digantikan oleh sebuah tangki dari fiber yang lumayan besar. Sebagai penampungan air hujan yang digunakan untuk keperluan berwudhu. Tangki dilengkapi pipa penyaluran air yang disambung ke beberapa kran untuk mempermudah berwudhu.
Hingga saat ini Surau Raden Sulaiman masih difungsikan sebagai pusat pengajian dan ibadah bagi masyarakat di Dusun Kota Bangun. Tetapi tidak digunakan untuk sholat Jumat karena sudah tidak dapat menampung jamaah lebih banyak lagi seiring dengan perkembangan penduduk Sebangun yang sudah semakin ramai.
Untuk itu, pemerintah desa setempat membangun sebuah masjid baru yang lebih besar yang letaknya agak berjauhan dengan Surau Raden Sulaiman.
Saat ini, Pemerintah Desa Sebangun semakin serius merawat Surau Raden Sulaiman dan dijadikan destinasi wisata sejarah dan religius.
Hal ini dilakukan, adalah agar anak muda atau generasi milenial dapat mengenal situs sejarah yang ada di Kabupaten Sambas yang terletak di Desa Sebangun.
Sultan Tengah
Dikutip dari berbagai sumber, Sultan Tengah dari Sarawak, ketika hendak pulang ke negeri asalnya itu dihantam badai sampai akhirnya terdampar di Sukadana. Pada masa itu Negeri Sukadana diperintah oleh Panembahan Giri Mustika.
Kedatangan Sultan Tengah diterima dengan baik serta disambut dengan upacara kebesaran adat kerajaan. Dengan perantaraan seorang Syech yang baru datang dari Mekah bernama Syamsudin, Panembahan Giri Mustika menganut agama Islam kemudian mengganti namanya dengan gelar Sultan Muhammad Tsafiuddin.
Selama berada di Sukadana Sultan Tengah selalu menunjukkan sifat yang baik dan selalu merendahkan dirinya kepada Sultan Muhammad Tsafiuddin, sehingga menyebabkan Sultan tertarik dan ingin menjodohkannya dengan adiknya yang bernama Ratu Suria Kesuma.
Dari perkawinan Raja Tengah dengan Ratu Suria Kesuma, mereka dikaruniai tiga putra dan dua putri yang masing-masing bernama Raden Sulaiman, Raden Badaruddin, Raden Abdul Wahab, Raden Rasmi Puri, dan Raden Ratnawati.
Selama Raja Tengah tinggal di Sukadana tidak teringat di hatinya untuk pulang ke Sarawak, tetapi yang terniat di hatinya adalah untuk bermukim di negeri Sambas.
Sampai pada waktu yang telah ditentukan, berangkatlah Sultan Tengah beserta rombongan. Tidak lama kemudian sampailah mereka di Sungai Sambas Besar dan berlabuh di sana.
Pada waktu itu Kerajaan Sambas Tua diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana bernama Ratu Sepudak, berasal dari keturunan Batara Majapahit.
Kedatangan Sultan Tengah disambut baik oleh Ratu Sepudak, mereka diizinkan mendirikan pemukiman yang diberi nama Kota Bangun.
Di Kota Bangun inilah Sultan Tengah mulai menyiarkan agama Islam sampai akhirnya Kota Bangun menjadi semakin ramai bahkan sampai menjadi pusat penyebaran agama Islam pada waktu itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023
Kota Bangun di Kecamatan Sebawi merupakan tapak pertama Sultan Tengah atau ayah dari Raden Sulaiman mendirikan sebuah perkampungan sewaktu pertama kali datang ke Sambas.
Sultan Tengah yang berasal dari Sarawak, Malaysia, bersama keluarganya sempat menetap di Kota Bangun selama satu tahun dan membangun sebuah surau. Surau yang kemudian diberi nama Surau Raden Sulaiman (sesuai nama salah satu putranya) itu berdiri pada awal abad ke-16.
Selama di Kota Bangun, mereka melanjutkan penelusuran sungai Sambas Kecil dan berhenti pada suatu tempat yang kemudian menjadi pusat pemerintahan baru, demikian dikutip dari berbagai sumber.
Penulis yang tinggal di Desa Sebangun, dapat melihat langsung jejak sejarah Sambas dengan keberadaan surau ini.
Luas lokasi tempat berdirinya Surau Raden Sulaiman yaitu 505 meter persegi. Bangunan surau memiliki panjang 10 meter dan lebar 9 meter, mampu menampung sekitar 100 jamaah.
Pada surau ini terdapat empat tiang tengah sebagai penopang bangunan utama yang terbuat dari kayu belian dan sekarang masih dapat kita jumpai di dalam surau.
Tiang tersebut sengaja tidak dibongkar karena ketahanannya masih layak untuk menopang bangunan surau dan sebagai bukti sejarah dari surau lama. Meskipun atap, dinding, dan lantai sudah diganti baru semua.
Selain itu, masih ada peninggalan yang terawat yaitu tongkat khatib yang terbuat dari kayu belian yang diukir. Tongkat ini dulunya digunakan sebagai tongkat ketika khatib sedang membacakan khutbah.
Tongkat khatib tersebut sekarang dipajang dalam lemari kaca agar terhindar dari debu dan sentuhan tangan. Sehingga dapat memudahkan tamu untuk melihat benda bersejarah tersebut.
Selain itu di depan surau masih ada tempayan besar yang terbuat dari batu yang digunakan untuk mencuci kaki ketika hendak masuk ke surau.
Tempayan itu menurut masyarakat setempat pernah pecah dan terbelah menjadi dua karena faktor panas dan perubahan cuaca. Karena adanya kerja sama masyarakat setempat untuk memperbaiki, tempayan tersebut menjadi utuh seperti sedia kala.
Tempayan itu harus dijaga agar jangan sampai pecah lagi karena kelalaian atau ketidaksengajaan. Jika tempayan ini rusak atau pecah akan hilang bukti sejarah yang sudah berumur ratusan tahun.
Di samping tempayan besar itu juga ada batu yang melebar. Batu tersebut digunakan Raden Sulaiman untuk berpijaknya kaki untuk mengambil air di tempayan.
Sumur atau telaga yang berada di samping kanan surau yang dahulu digunakan untuk berwudhu ketika akan melakukan sholat, saat ini sudah tidak tampak lagi.
Sekarang fungsinya digantikan oleh sebuah tangki dari fiber yang lumayan besar. Sebagai penampungan air hujan yang digunakan untuk keperluan berwudhu. Tangki dilengkapi pipa penyaluran air yang disambung ke beberapa kran untuk mempermudah berwudhu.
Hingga saat ini Surau Raden Sulaiman masih difungsikan sebagai pusat pengajian dan ibadah bagi masyarakat di Dusun Kota Bangun. Tetapi tidak digunakan untuk sholat Jumat karena sudah tidak dapat menampung jamaah lebih banyak lagi seiring dengan perkembangan penduduk Sebangun yang sudah semakin ramai.
Untuk itu, pemerintah desa setempat membangun sebuah masjid baru yang lebih besar yang letaknya agak berjauhan dengan Surau Raden Sulaiman.
Saat ini, Pemerintah Desa Sebangun semakin serius merawat Surau Raden Sulaiman dan dijadikan destinasi wisata sejarah dan religius.
Hal ini dilakukan, adalah agar anak muda atau generasi milenial dapat mengenal situs sejarah yang ada di Kabupaten Sambas yang terletak di Desa Sebangun.
Sultan Tengah
Dikutip dari berbagai sumber, Sultan Tengah dari Sarawak, ketika hendak pulang ke negeri asalnya itu dihantam badai sampai akhirnya terdampar di Sukadana. Pada masa itu Negeri Sukadana diperintah oleh Panembahan Giri Mustika.
Kedatangan Sultan Tengah diterima dengan baik serta disambut dengan upacara kebesaran adat kerajaan. Dengan perantaraan seorang Syech yang baru datang dari Mekah bernama Syamsudin, Panembahan Giri Mustika menganut agama Islam kemudian mengganti namanya dengan gelar Sultan Muhammad Tsafiuddin.
Selama berada di Sukadana Sultan Tengah selalu menunjukkan sifat yang baik dan selalu merendahkan dirinya kepada Sultan Muhammad Tsafiuddin, sehingga menyebabkan Sultan tertarik dan ingin menjodohkannya dengan adiknya yang bernama Ratu Suria Kesuma.
Dari perkawinan Raja Tengah dengan Ratu Suria Kesuma, mereka dikaruniai tiga putra dan dua putri yang masing-masing bernama Raden Sulaiman, Raden Badaruddin, Raden Abdul Wahab, Raden Rasmi Puri, dan Raden Ratnawati.
Selama Raja Tengah tinggal di Sukadana tidak teringat di hatinya untuk pulang ke Sarawak, tetapi yang terniat di hatinya adalah untuk bermukim di negeri Sambas.
Sampai pada waktu yang telah ditentukan, berangkatlah Sultan Tengah beserta rombongan. Tidak lama kemudian sampailah mereka di Sungai Sambas Besar dan berlabuh di sana.
Pada waktu itu Kerajaan Sambas Tua diperintah oleh seorang raja yang adil dan bijaksana bernama Ratu Sepudak, berasal dari keturunan Batara Majapahit.
Kedatangan Sultan Tengah disambut baik oleh Ratu Sepudak, mereka diizinkan mendirikan pemukiman yang diberi nama Kota Bangun.
Di Kota Bangun inilah Sultan Tengah mulai menyiarkan agama Islam sampai akhirnya Kota Bangun menjadi semakin ramai bahkan sampai menjadi pusat penyebaran agama Islam pada waktu itu.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023