Ketika berdiri di depan Tugu Khatulistiwa di Kota Pontianak, kita akan melihat megahnya monumen yang menjulang tinggi dengan garis langit sebagai latar belakang. Tugu ini adalah penanda khusus yang menandai lintang nol, tempat di mana garis lintang nol atau garis khatulistiwa berada.

Bangunan tugu terdiri dari 4 buah tonggak kayu belian (kayu besi), masing-masing berdiameter 0,30 meter, dengan ketinggian tonggak bagian depan sebanyak dua buah setinggi 3,05 meter dan tonggak bagian belakang tempat lingkaran dan anak panah penunjuk arah setinggi 4,40 meter. Diameter lingkaran yang di tengahnya terdapat tulisan EVENAAR (bahasa Belanda yang berarti Equator) sepanjang 2,11 meter. Panjang penunjuk arah 2,15 meter.

Tugu Khatulistiwa di Pontianak bukan sekadar simbol geografis, tapi juga lambang keindahan, kekayaan, dan kebanggaan masyarakat setempat. Ia berdiri tegak sebagai saksi bisu dari perjalanan waktu dan kehidupan yang terus berputar di sekitarnya.

Tugu Khatulistiwa berdiri sebagai penjaga abadi, menandai titik tepat di mana khatulistiwa membelah bumi menjadi dua bagian. Sinar mentari senantiasa mencium tanah di sekitarnya, merayakan keindahan alam yang memeluk kota ini. Namun, keindahan alam tidak hanya ditemukan dalam pemandangan luas, melainkan juga di jejak budaya yang tersembunyi di antara kisah-kisah leluhur. 

Dalam bayang-bayang megahnya Tugu Khatulistiwa, sekitar 2,5 kilometer ke arah Batu Layang, terdapat sebuah kampung kecil, yang mungkin terlewat oleh banyak mata, mengukir sejarahnya sendiri, Kampung Tenun Khatulistiwa (Kawistha).

Kampung Tenun Khatulistiwa adalah tempat di mana benang-benang tradisi teranyam dengan indahnya oleh tangan-tangan mahir perajin lokal. Di antara rumah-rumah SEDERHANA dan gerai-gerai kecil yang penuh warna, terdapat cerita panjang yang terjalin dengan setiap helai kain yang dihasilkan. Namun, seperti halnya kampung-kampung tradisional lainnya, keberlanjutan budaya ini terancam oleh arus modernisasi yang tak henti.

Inilah titik balik di mana Pertamina, sebuah nama yang mungkin lebih dikenal dalam ranah industri energi, mengukir kisah baru. "Kisah Benang Tradisi dan Kiprah Pertamina menyelamatkan Budaya tenun di Kawistha" bukan hanya tentang keindahan sehelain kain tenun, tetapi juga tentang kepedulian perusahaan ini terhadap keberlanjutan dan pelestarian warisan budaya. 

Sebuah perjalanan yang membawa kita melalui lorong waktu, menyaksikan perjumpaan antara megahnya alam dan kelembutan benang-benang tradisi yang hampir terlupakan.


***
Salah satu rumah penenun di Kawistha Pontianak, di mana rumah ini mempekerjakan lima orang penenun yang tergabung dalam Kelompok Swadaya Masyarakat Mekar II (Rendra Oxtora)

Metamorfosis daerah pengungsi menjadi kampung wisata

Kisah ini bermula setelah konflik antarsuku meletus pada tahun 1999 di Kabupaten Sambas. Sebuah kelompok masyarakat Suku Madura mengungsi ke Kota Pontianak, tepatnya di Jl. Khatulistiwa Gg. Sambas Jaya, Batu Layang, Kec. Pontianak Utara, Kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Salah satu pengungsi, yang kini menjadi tokoh utama di Kampung Tenun Khatulistiwa, adalah Kurnia. Meski pernah terkena dampak konflik antarsuku, Kurnia tidak membiarkan itu menghentikan hasratnya terhadap tradisi menenun. Saat berada di Sambas, dia sering melihat masyarakat setempat melakukan kegiatan menenun. Lambat laun, dengan sedikit belajar, ia mulai memahami seni menenun. Meskipun sulit, Kurnia yakin bisa menenun dan meraih kesuksesan seperti saat ini.

Setelah tiba di Kota Pontianak, Kurnia dan keluarganya kesulitan mencari pekerjaan atau sumber penghasilan. Dengan modal keterampilan yang dimilikinya dari Sambas, Kurnia memutuskan untuk fokus pada seni menenun.

"Ketika saya berada di tempat pengungsian ini, saya bingung dengan pekerjaan apa yang bisa saya lakukan. Tidak mungkin bekerja di luar, karena satu-satunya modal yang saya punya adalah keterampilan menenun. Jadi, saya memutuskan untuk mengembangkan usaha tenun di sini," kata Kurnia ketika diwawancara di Gang Sambas Jaya pada Minggu (23/10).

Bagi Kurnia, menenun adalah proses yang tidak mudah dan melibatkan berbagai tahapan, mulai dari pewarnaan alami benang, penggulungan benang, pemilahan helaian benang, penggulungan benang setelah dipilah, penyambungan benang, pembuatan motif, hingga akhirnya menenun.

Dengan tekad dan ketekunan, Kurnia berhasil memberdayakan masyarakat sekitarnya. Meskipun menenun memiliki tingkat kesulitan tinggi, Kurnia bersama kakak dan adiknya sabar dan tekun mengajarkan seni ini kepada masyarakat sekitar.

Alat dan bahan pertama kali diperoleh berkat ibunya yang rela bolak-balik antara Pontianak dan Sambas untuk mencarikan kelengkapannya. Pada tahun 1999, Kurnia bersama keluarganya mulai menekuni usaha tenun.

Ketiga bersaudara ini memperkenalkan seni tenun kepada ibu-ibu di Gang Sambas Jaya pada tahun 2001. Mereka tidak hanya memperkenalkan, tetapi juga mengajak dan mengajarkan cara menenun secara gratis kepada ibu-ibu di sekitar, dengan harapan dapat membantu perekonomian keluarga.

Meskipun menghadapi kesulitan dalam mengajarkan pembuatan tenun, terutama karena pembuatan pola yang sulit dan minimnya pendidikan formal masyarakat setempat, Kurnia dan keluarganya tetap bersungguh-sungguh dalam memberikan pelatihan. Dengan semangat dan keinginan belajar, meskipun tidak bersekolah, masyarakat setempat belajar dengan tekun hingga bisa membuat motif sendiri.

Dengan keyakinan, ketekunan, dan kemauan, Kurnia berhasil mengembangkan usaha tenun ini. Ketika ibu-ibu yang diajarkannya sudah memahami dan menyelesaikan pelatihan, Kurnia melepas mereka untuk membuka usaha sendiri. Jika mereka sudah memiliki modal, mereka membeli alat tenun dan memproduksi tenun secara mandiri.

Kurnia tidak keberatan jika ibu-ibu yang diajarkannya membuka usaha sendiri. Baginya, yang penting adalah ibu-ibu mau belajar untuk membantu perekonomian mereka.

Seiring berjalannya waktu, usaha tenun ini berkembang, meskipun setiap kelompok sudah memiliki alat tenun masing-masing, kolaborasi tetap berjalan. Kurnia mampu memproduksi 4 helai kain dalam satu bulan, ditambah dengan syal dan tanjak.

Penghasilan Kurnia mencapai Rp11-18 juta per bulan, bahkan pernah mencapai Rp20 juta lebih. Sementara penghasilan kelompok mencapai Rp2-3 juta per bulan.

Pada tahun 2019, Kurnia berhasil memberdayakan lebih dari 50 pengrajin yang bekerja di 17 rumah dengan memiliki alat tenun.

"Mayoritas penenun di sini adalah orang Madura, meskipun tenun bukan asli Madura, kami berharap dengan melestarikan tenun ini dapat menjadi benang penyambung persaudaraan antara suku Madura dan Melayu. Kami juga berharap tenun ini terus dilestarikan dan diperkenalkan kepada dunia lebih luas," ujar Kurnia.

Menariknya, alat tenun di kampung ini dibuat secara mandiri oleh warga setempat. Keuletan pengrajin di Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa mendapat apresiasi dari berbagai pihak.

Pengunjung Kampung Wisata Tenun tidak hanya dapat melihat hasil tenunan, tetapi juga proses pembuatannya. Hasil tenun warga Kampung Wisata Tenun dipamerkan dalam berbagai pameran, dengan dukungan Pemkot Pontianak. Kampung wisata ini diresmikan pada akhir 2018.

Pemerintah turut mendukung Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa dengan memperbaiki jalan di wilayah tersebut. Bukan hanya pembangunan fisik, Pemkot Pontianak juga telah beberapa kali mengundang narasumber untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan para penenun.

"Kami juga akan membuat galeri khusus di sini untuk pemasaran hasil tenun kami. Saat ini, beberapa hasil tenun kami sudah dibantu dipasarkan di Dekranasda Kota Pontianak," kata Kurniati.


***
Seorang remaja putri menenun benang menjadi kain tenun Sambas di Kawistha Pontianak (Rendra Oxtora)

Kekhawatiran hilangnya sebuah tradisi

Meskipun semerbak keindahan tenunan di Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa, di balik kain-kain berwarna dan pola indah, terdapat tantangan serius yang dihadapi oleh para penenun. Para pengerajin yang telah bersusah payah memelihara tradisi ini menemui hambatan dalam meneruskan warisan budaya mereka, seiring semakin meredupnya minat generasi muda terhadap seni menenun.

Kurniati, salah satu penenun utama di kampung tersebut, membagikan keprihatinan mendalamnya terkait kurangnya antusiasme dari generasi penerus. "Generasi muda di sini semakin enggan untuk melanjutkan tradisi menenun. Mungkin karena daya tarik dunia modern yang begitu kuat, atau mungkin juga karena kurangnya pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap helai benang," katanya dengan nada prihatin.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan masa depan pelestarian budaya tenun di Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa. Meski telah ada lebih dari 50 pengrajin yang berjuang mempertahankan warisan tersebut, kesulitan untuk meneruskan tradisi kepada generasi penerus menjadi pukulan berat.

Pengaruh globalisasi dan arus modernisasi yang tak terelakkan tampaknya memainkan peran besar dalam merubah prioritas dan minat generasi muda. Tradisi yang pernah dijunjung tinggi oleh leluhur, kini berhadapan dengan tantangan untuk menemukan akar baru di dalam hati generasi yang cenderung lebih tertarik pada tren dan gaya hidup modern.

Para penenun berharap bahwa melalui upaya bersama antara komunitas, pemerintah, dan pendidikan, minat terhadap seni menenun dapat kembali tumbuh. Dengan pemahaman yang lebih mendalam akan makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam setiap karya, diharapkan generasi muda dapat melihat keindahan dan kekayaan budaya yang terjalin dalam setiap serat benang. 

Suatu perjuangan yang tak hanya menciptakan kain-kain indah, tetapi juga memastikan bahwa benang-benang tradisi ini tidak akan putus di tangan waktu.

"Karenanya, saya tidak henti-hentinya mengajak anak-anak muda yang ada di Pontianak untuk bisa melestarikan budaya ini. Salah satunya dengan mengajarkan anak-anak SMA/SMK yang magang di tempat kami, di mana kami berharap mereka menaruh minat untuk belajar serius menenun dan melestarikan budaya ini," kata Kurnia.


***
Manager Integrated Terminal BBM Pontianak, Pertamina Patra Niaga, Yudistira Chandra Bagus saat mengunjungi  salah satu rumah penenun di Kawistha Pontianak (Rendra Oxtora)

Kiprah Pertamina mewujudkan Kawistha

Pejabat sementara Manager Integrated Terminal BBM Pontianak, Pertamina Patra Niaga, Yudistira Chandra Bagus, menyatakan bahwa Kampung Tenun Khatulistiwa Pontianak adalah bagian dari program CSR Pertamina.

PT. Pertamina Patra Niaga Regional Kalimantan, melalui Integrated Terminal Pontianak, berkomitmen mendukung pengembangan Kampung Tenun Kota Pontianak melalui Program Corporate Social Responsibility (CSR) yang disebut "Kawistha". Program ini bertujuan mengembangkan tenun dan pariwisata berkelanjutan.

Kegiatan ini telah memberikan dampak positif signifikan kepada 15 anggota pengelola Pokdarwis, 25 pengrajin tenun, 10 penjahit, dan 8 pembuat kerajinan di Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa. Sebanyak 500 orang juga mendapatkan manfaat tidak langsung dari wisatawan, instansi, komunitas, dan akademisi.

Dengan berbagai kegiatan, pengrajin di Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa berhasil meningkatkan omset penjualan mereka menjadi di atas dua juta rupiah per bulan, di luar omset warung kelontong dan warung makan.

Program Felishka (Fun English Khatulistiwa) telah diluncurkan untuk memberikan keterampilan bahasa Inggris kepada masyarakat kampung tenun dengna tujuan untuk meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan turis mancanegara. Program ini mendapat dukungan tinggi dari masyarakat dan pemerintah setempat. Pelatihan tersebut merupakan bagian dari Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Pertamina, dengan fokus pada peningkatan ekonomi kelompok, sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) pemerintah.

Selain itu, Pertamina juga merealisasikan Program pertukaran budaya "Years of Culture" antara Indonesia dan Qatar mengirimkan delegasi mahasiswa ke Pontianak dan Yogyakarta. Delegasi ke Kalimantan Barat mengunjungi berbagai objek wisata ikonik, termasuk Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa.

Kunjungan program "Years of Culture" menjadi indikator keberhasilan dalam membangun jejaring antar-stakeholders di Kota Pontianak, mendapatkan pengakuan tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga internasional, dengan kunjungan pertama dari 35 wisatawan mancanegara pada tahun 2023.


***
Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono melihat hasil kain tenun produksi Kawistha (Rendra Oxtora)

Terus bina

Wali Kota Pontianak, Edi Rusdi Kamtono mengatakan bahwa Pemkot Pontianak terus melakukan pembinaan kepada warga dan kampong tersebut. Bahkan menggandeng BUMN, perbankan dan komunitas pencinta wisata demi menjadikan kampung tersebut sebagai kawasan wisata unggul bukan hanya di Pontianak namun di Kalimantan Barat.

"Kita bina penenun, berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan BUMN, BUMD dan komunitas demi terciptanya kampung wisata yang unggul. Bukan hanya di Pontianak, tapi di Kalimantan Barat. Infrastruktur akan kita tingkatkan. Perbankan juga kita ajak dari sisi permodalan. Antusiasme masyarakat kita lihat sendiri sangat tinggi. Ini modal dasar bagaimana nantinya kawasan ini akan bernilai ekonomi,” kata dia.

Ia menyebutkan daerah Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa sebenarnya sejak lama dicita-citakan untuk sebagai kampung wisata karena dikenal memiliki banyak penenun andal. Bahkan, perajin kain tenun di wilayah tersebut sudah ada sejak 15 tahun lalu.

"Sebenarnya cita-cita yang sudah cukup lama. Kita kenal di sini ada penenun sejak beberapa tahun lalu, bahkan 10-15 tahun yang lalu. Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa ini memberikan efek positif, terutama bagi warga Gang Sambas dan Gang Sambas Jaya ini," kata dia.






 

Pewarta: Rendra Oxtora

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023