Menang susah payah 1-0 atas Fulham dalam pertandingan liga Sabtu (4/10) malam tak lantas memupus kekhawatiran bahwa Manchester United tengah dalam masa kelam.

Sedikit lebih baik dalam penguasaan bola, tapi kalah dalam menciptakan peluang, Setan Merah tetap menyingkapkan masalah besar yang dihadapinya.

Kemenangan tipis atas Fulham itu memang melegakan, tapi tak menghilangkan aura kemunduran, terutama setelah dalam dua pertandingan sebelum melawan Fulham, MU takluk 0-3 kepada Manchester City dalam pertandingan liga dan Newcastle United dalam laga Piala Liga dengan skor sama.

Masalah yang dihadapi Manchester United sepertinya tak mungkin diatasi dalam waktu singkat. Namun, jika memenangkan paling tidak lima pertandingan berikutnya, maka mungkin pelatih Erik Ten Hag boleh disebut telah menemukan obat untuk kesembuhan timnya.

MU harus menang melawan Copenhagen dalam Liga Champions pertengahan pekan depan dan Luton Town dalam pertandingan liga akhir pekan depan. Setelah jeda internasional, United akan ditantang Everton, lalu Galatasaray dan Newcastle, dalam tiga pertandingan tandang.

Harapannya, keadaan United setelah jeda internasional itu membaik, karena kemungkinan mendapatkan injeksi semangat baru dari pemain-pemain inti yang lama dibekap cedera, khususnya Luke Shaw yang instrumental sepanjang musim lalu.

Kemenangan dalam lima pertandingan mendatang akan menjadi pesan kuat bahwa United tengah bangkit. Sebaliknya, hasil selain menang, menunjukkan mereka belum bisa keluar dari masalah akut yang dihadapinya.

Karena masalah-masalah akut itu pula United mencatat awal perjalanan liga terburuk sejak musim 1986-1987, akibat kalah dalam lima dari 10 pertandingan liga pertamanya.

Setelah digilas Newcastle 0-3 dalam Piala Liga, United menelan kekalahan kedelapan dari 15 pertandingan dalam semua kompetisi. Ini catatan terburuk mereka sejak musim 1962-1963.

Lalu, apa sih masalah-masalah besar yang dihadapi United yang semusim lalu sempat bangkit namun pincang lagi musim ini?

Paling tidak ada empat masalah besar yang dihadapi United.

Pertama, krisis cedera yang tak henti-henti menimpa pemain-pemain kuncinya. Kedua, rangkaian kontroversi di luar lapangan. Ketiga, ketidakpastian mengenai proses kepemilikan klub. Dan terakhir, manajemen tim yang amburadul.

Baca juga: MU harus menang melawan Fulham


Berikutnya: penampilan Setan Merah idak konsisten
 
Tidak konsisten

Setidaknya ada dua pemain yang berperan besar musim lalu ketika MU finis dengan menggenggam Piala Liga dan tiket Liga Champions.

Pertama, bek kiri Luke Shaw yang ketidakhadirannya saat ini menjadi faktor tumpulnya Marcus Rashford sejauh ini. Shaw selalu memanjakan Rashford dengan terobosan dan umpannya dari sayap kiri yang membuat pemain sayap Inggris tersebut produktif menciptakan gol.

Kedua, bek tengah Lisandro Martinez yang musim lalu menjadi stabilisator permainan MU. Dia membuat lini tengah leluasa bermanuver sehingga sistem serangan menjadi lebih efektif dibandingkan dengan musim ini.

Cedera timbul tenggelam juga menimpa pemain-pemain kunci lain, termasuk Casemiro, Tyrell Malacia dan Aaron Wan Bissaka yang turun kembali sebagai starter saat laga melawan Fulham.

Serangan cedera pemain juga menyingkapkan fakta lain bahwa ternyata kedalaman skuad atau kemerataan kualitas pemain inti dan tim lapis kedua MU, tidaklah sama.

Ini yang membuat pelatih Erik Ten Hag terus mencoba-coba formasi yang ironisnya menciptakan ketidakkonsistenan dalam performa tim sehingga hasil yang didapatkan pun tidak memuaskan.

Ten Hag sendiri tak pernah mau mengungkapkan seberapa parah dan dalam cedera yang dialami pemain-pemainnya, karena menurutnya hal itu adalah privasi yang tak boleh disentuh pihak luar.

Pelatih ini memang keras kepala, termasuk saat menghukum Jadon Sancho yang mengkritiknya di depan publik. Bagi dia, tindakan Sancho itu sudah merupakan garis merah yang tak boleh dilewati, kecuali Sancho meminta maaf.

Masalahnya, Sancho sama kepala batunya dengan Ten Hag. Dia tak pernah meminta maaf, walau rekan-rekannya sudah mendesak dia untuk meminta maaf kepada Ten Hag.

Masalah luar lapangan juga dihadapi Antony. Pemain sayap dari Brazil ini dirundung perkara hukum setelah diadukan sejumlah wanita yang merasa telah dilecehkan oleh Antony.

Permainan Antony pun menurun drastis musim ini sehingga memunculkan lagi sorotan lama terhadap pola rekrutmen pemain di MU.

Antony didatangkan dari Ajax Amsterdam sebagai pemain termahal ketiga MU setelah Paul Pogba dan Romelu Lukaku.

Namun, label harganya yang sebesar 100 juta euro, tak mencerminkan kualitasnya, sampai disebut-sebut bakal dipinjamkan kepada klub lain pada bursa transfer awal tahun depan.

Tak hanya Antony yang disorot, pemain baru MU musim ini, Rasmus Hojlund juga begitu. Sudah delapan pertandingan liga dia ikuti, belum satu pun gol yang disumbangkan striker ini. Dia sudah menciptakan tiga gol dalam pertandingan Liga Champions.

Sofyan Amrabat juga begitu. Gelandang bertahan asal Maroko itu memang hebat di Liga Italia, tapi di Liga Inggris yang serba cepat, dia terlihat kurang efektif.

Kiper Andre Onana sepertinya agak lumayan, kendati sempat dihujat karena dianggap sebagai biang keladi dalam delapan kekalahan MU musim ini.

Baca juga: Dinkes Kubu Raya sosialisasikan bahaya penyakit yang muncul selama musim hujan


Berikutnya: Secercah harapan dari Ratcliffe

Secercah harapan dari Ratcliffe

Rekrutmen pemain yang tak memuaskan ini sendiri berkaitan dengan buruknya manajemen skuad, yang bisa jadi merupakan keterusan dari ketidakpastian mengenai proses jual beli kepemilikan klub yang memakan waktu hampir setahun.

Keluarga Glazer yang tidak disukai penggemar MU, berusaha tarik ulur dalam proses ini, sampai Sheikh Jassim dari Qatar yang berniat membeli 100 persen saham klub itu pun mundur dari pertarungan menjadi pemilik Setan Merah.

Sir Jim Ratcliffe dari Ineos Group pun mendapatkan peluangnya, walau hanya bisa memperoleh 25 persen saham United. Ternyata, proses ini pun belum mulus karena ada masalah yang mesti dituntaskan.

Kabar baiknya, Ratcliffe disebut-sebut ingin mengambil alih kendali operasional sepak bola United sehingga bakal mempunyai suara besar dalam setiap keputusan menyangkut skuad dan tim.

Proses jual beli saham itu sendiri mungkin mempengaruhi irama kerja manajemen, terutama yang bertanggung jawab dalam operasional tim.

Mereka bisa was-was ditendang oleh pemilik baru, apalagi Ratcliffe sudah mengisyaratkan perombakan manajemen seandainya dia efektif mengusai 25 persen saham Man United.

Ratcliffe memang cuma menguasai 25 persen saham, tapi itu sudah bisa mengubah status quo di Manchester United yang bisa membuat klub itu tidak terus-terusan dalam era kelam sepanjang dikuasai penuh oleh Keluarga Glazer.

Selama ini keluarga Glazer dianggap tak berusaha keras mendukung ambisi para pelatih MU, walau semasa Sir Alex Ferguson keadaan itu tak menciptakan masalah berat pada klub ini.

Pelatih-pelatih MU setelah era Sir Alex, mulai dari David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho, Ole Gunnar Solksjaer, sampai Ten Hag dikecewakan oleh hirarki klub yang sulit meluluskan permintaan mereka dalam mendatangkan pemain-pemain ideal yang mereka incar.

Agaknya ada kesenjangan antara visi pemilik dengan ambisi pelatih, sampai Louis van Gaal mencemooh klub yang pernah dilatihnya itu sebagai "klub dagang", bukan "klub sepak bola."

Kini, keadaan itu mungkin bisa berubah oleh datangnya Sir Jim Ratcliffe. Pengusaha terkaya di Inggris itu bisa menjadi suntikan untuk kebaruan dalam wajah bagaimana Manchester United dikelola.

Kendati mungkin tak lebih baik dari Keluarga Glazer, predikat penggemar MU yang melekat pada Ratcliffe bisa membuat Manchester United didekati dari perspektif yang lengkap dan tepat, bukan semata dari perspektif mencari laba seperti ditudingkan para penggemar MU kepada Keluarga Glazer.

Baca juga: Kemenangan jadi harga mati saat MU lawan Copenhagen


 

Pewarta: Jafar M Sidik

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023