Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UINSA Prof. Achmad Muhibin Zuhri menegaskan bahwa teologi Kebhinnekaan akan menjadi pendekatan alternatif bagi agama dalam menjawab tantangan ke depan terkait problem kemanusiaan.
"Tantangan teologi ke depan bukan terletak pada upaya melakukan konservasi atas kemurnian doktrin religious ansich, tetapi lebih pada upaya dan kemampuan menjawab problem kemanusiaan, terutama yang menyangkut membangun hubungan harmonis dengan non-muslim," katanya dalam keterangannya di Surabaya, Selasa.
Dalam keterangan terkait rencana pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar UINSA, mantan Ketua PCNU Kota Surabaya (2015-2020) itu menjelaskan dirinya akan menyampaikan pidato pengukuhan berjudul "Teologi Kebhinnekaan, Membangun Harmoni Antar Umat Beragama dengan Pendekatan Teologis" di kampus setempat pada 20 Desember 2023.
"Selama ini, relasi antarumat beragama selalu menggunakan pendekatan humanisme dan kerja-kerja sosial. Interaksi Muslim dan non-muslim serta antar pemeluk agama yang lain, banyak ditunjukkan melalui aktivitas sosial sebagai instrumen dan pendekatan untuk mempererat persaudaraan atas nama kemanusiaan," katanya.
Sementara itu, relasi dengan pendekatan teologis cenderung dihindari karena dianggap tidak relevan, kontra produktif, dan hanya akan mengarahkan pada perdebatan tidak berujung dan konflik.
"Tapi, saya bermaksud mengajukan tawaran baru bahwa sebenarnya pendekatan teologis yang dipahami secara benar, justru akan menghasilkan toleransi yang tidak hanya pasif, tetapi aktif dalam komunitas agama. Asumsi dasarnya adalah semua bersumber dari tuhan yang satu dan sumber kebenaran adalah satu, sehingga agama seharusnya banyak memiliki kesamaan; baik teologis maupun ideologi," katanya.
Dalam konteks Indonesia, dialektika antara tradisi dan modernitas berimplikasi pada lahirnya berbagai wacana keislaman untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman teologi, diantaranya yang populer dengan konsep Islam Moderat, Islam Liberal, Islam Transformatif, Islam Aktual, dan Islam Inklusif.
"Demi merealisasikan spirit Islam sebagai agama yang relevan di setiap waktu dan tempat (saalih li kulli zaman wa makan), maka tidak ada jalan lain kecuali harus 'mendayung' dengan perkembangan pemikiran dan dinamika zaman, karena tantangan teologi pada masa sekarang bukan lagi pada aspek doktrinal normatif, tapi respons teologi terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan," katanya.
Prof. Muhibbin Zuhri menawarkan Teologi Kebhinnekaan untuk memandang Islam sebagai agama yang serba-lengkap, bahwa realitas sosial adalah salah satu dari keniscayaan atas keberagamaan, sehingga bisa diarahkan pada pemaknaan atas dasar implementasi keimanan.
"Misalnya, dalam pemikiran politik akan ditemui bagaimana Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, mampu menjadi trend setter moderatisme. Mereka melalui pemikiran keislaman, khususnya tauhid, memecahkan demokratisasi, hubungan yang transparan antara negara dan warga negara seperti menerima Pancasila, pembangunan dan penguatan masyarakat sipil dan masyarakat madani (civil society) secara sama (egaliter)," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023
"Tantangan teologi ke depan bukan terletak pada upaya melakukan konservasi atas kemurnian doktrin religious ansich, tetapi lebih pada upaya dan kemampuan menjawab problem kemanusiaan, terutama yang menyangkut membangun hubungan harmonis dengan non-muslim," katanya dalam keterangannya di Surabaya, Selasa.
Dalam keterangan terkait rencana pengukuhan dirinya sebagai Guru Besar UINSA, mantan Ketua PCNU Kota Surabaya (2015-2020) itu menjelaskan dirinya akan menyampaikan pidato pengukuhan berjudul "Teologi Kebhinnekaan, Membangun Harmoni Antar Umat Beragama dengan Pendekatan Teologis" di kampus setempat pada 20 Desember 2023.
"Selama ini, relasi antarumat beragama selalu menggunakan pendekatan humanisme dan kerja-kerja sosial. Interaksi Muslim dan non-muslim serta antar pemeluk agama yang lain, banyak ditunjukkan melalui aktivitas sosial sebagai instrumen dan pendekatan untuk mempererat persaudaraan atas nama kemanusiaan," katanya.
Sementara itu, relasi dengan pendekatan teologis cenderung dihindari karena dianggap tidak relevan, kontra produktif, dan hanya akan mengarahkan pada perdebatan tidak berujung dan konflik.
"Tapi, saya bermaksud mengajukan tawaran baru bahwa sebenarnya pendekatan teologis yang dipahami secara benar, justru akan menghasilkan toleransi yang tidak hanya pasif, tetapi aktif dalam komunitas agama. Asumsi dasarnya adalah semua bersumber dari tuhan yang satu dan sumber kebenaran adalah satu, sehingga agama seharusnya banyak memiliki kesamaan; baik teologis maupun ideologi," katanya.
Dalam konteks Indonesia, dialektika antara tradisi dan modernitas berimplikasi pada lahirnya berbagai wacana keislaman untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman teologi, diantaranya yang populer dengan konsep Islam Moderat, Islam Liberal, Islam Transformatif, Islam Aktual, dan Islam Inklusif.
"Demi merealisasikan spirit Islam sebagai agama yang relevan di setiap waktu dan tempat (saalih li kulli zaman wa makan), maka tidak ada jalan lain kecuali harus 'mendayung' dengan perkembangan pemikiran dan dinamika zaman, karena tantangan teologi pada masa sekarang bukan lagi pada aspek doktrinal normatif, tapi respons teologi terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan," katanya.
Prof. Muhibbin Zuhri menawarkan Teologi Kebhinnekaan untuk memandang Islam sebagai agama yang serba-lengkap, bahwa realitas sosial adalah salah satu dari keniscayaan atas keberagamaan, sehingga bisa diarahkan pada pemaknaan atas dasar implementasi keimanan.
"Misalnya, dalam pemikiran politik akan ditemui bagaimana Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, mampu menjadi trend setter moderatisme. Mereka melalui pemikiran keislaman, khususnya tauhid, memecahkan demokratisasi, hubungan yang transparan antara negara dan warga negara seperti menerima Pancasila, pembangunan dan penguatan masyarakat sipil dan masyarakat madani (civil society) secara sama (egaliter)," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2023