Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) lahir pada era Orde Baru, dimana pada era tersebut kaum buruh tercerai berai, terintimidasi, teraniaya, terampas hak-haknya dan terancam nasibnya.
Serikat buruh/pekerja yang ada ketika itu lebih merupakan perpanjangan tangan pemerintah yang mengontrol dan meredam aksi tuntutan buruh.
Hukum yang seharusnya berpihak pada “kebenaran” dan “keadilan” tidak lebih merupakan barang dagangan yang dapat diperjualbelikan.
Tanggal 25 April 1992 dalam sebuah pertemuan buruh nasional yang diikuti oleh 107 orang aktivis buruh yang datang dari berbagai daerah di Indonesia, di Cipayung Bogor dideklarasikan pembentukan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh melalui penegakan hukum dan keadilan yang berkaitan dengan Hubungan Industrial.
Beberapa nama seperti DR. Muchtar Pakpahan, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rahmawati Soekarnoputeri, Sabam Sirait dan Mr. Sukowaluyo turut memprakarsai pembentukan SBSI.
Pada pertemuan tersebut DR. Muchar Pakpahan terpilih secara demokratis sebagai ketua umum SBSI yang pertama.
Perjuangan SBSI sejak 25 April 1992 - 25 April 2024 (32 Tahun) untuk meningkatkan kesejahteraan buruh/pekerja melalui penegakan hukum dan keadilan yang berkaitan dengan Hubungan Industrial belumlah maksimal dirasakan oleh buruh/pekerja dikarekan banyaknya intimidasi serta ancaman PHK dari Pihak Perusahaan serta Perubahan UU 13 Tahun 2003 Menjadi UU 6 Tahun 2023.
Deklarasi Pendirian Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Cipayung 25 April 1992, sesungguhnya setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Buruh adalah bagian integral dari negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.
Bahwa kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat bagi setiap warga negara Indonesia sepenuhnya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka mewujudkan jiwa, semangat dan cita-cita UUD 1945 serta mensukseskan pembangunan nasional, kami buruh dan aktivitas perburuhan pada hari ini: Sabtu, tanggal 25 April 1992 dengan ini menyatakan secara bersama mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia.
Adapun tugas utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan buruh melalui usaha-usaha penegakkan hukum dan keadilan yang berkaitan dengan Hubungan Perburuhan Pancasila.
Atas dasar deklarasi ini perjuangan SBSI yang dinakhodai (Alm) Prof. DR. Muchtar Pakpahan, SH., MA., secara lantang menyuarakan kebebasan berserikat karena dijamin UUD 1945 Pasal 28 E Pasal (3).
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” dan Konvensi ILO No. 87 serta UU 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asazi Manusia Pasal 39. Bermodalkan semangat perjuangan beliau bersama buruh/pekerja, serta keberanian hingga keluar masuk penjara ketika itu, akhirnya Pemerintah RI mengakui kebebasan berserikat melalui UU 21 Tahun 2000.
78 Tahun Kemerdekaan Indonesia, saat ini buruh/pekerja belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan tersebut karena masih banyak perusahaan-perusahaan yang menghalang-halangi kebebasan berserikat bagi buruh/pekerja.
Hal ini didukung oleh oknum-oknum pegawai pemerintah yang ikut serta menghalang halangi buruh/pekerja untuk tidak berserikat dengan cara tidak menerbitkan bukti pencatatan sebagaimana yang telah diatur dalam regulasi.
Upaya penegakan hukum dan keadilan sebagaimana semangat serta cita-cita UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1) yang menyatakan: ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,” dan Ayat (2) ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” menjadi tumpuan serta harapan buruh/pekerja.
Namun pergantian rezim yang memerintah selalu melakukan perubahan peraturan dan undang-undang perburuhan seperti halnya PP 78 Tahun 2015, UU 13 Tahun 2003, UU 11 Tahun 2020, Perpu 02 Tahun 2022 dan terakhir menjadi UU 6 Tahun 2023 dan PP 35 Tahun 2021, menurunkan standar buruh hingga yang terakhir tidak ada kepastian hukum akan hubungan kerja sehingga buruh dapat menjadi buruh/pekerja kontrak seumur hidup.
Penegakan hukum yang seharusnya berpihak pada “kebenaran” dan “keadilan” bagi buruh/pekerja masih banyak ketimpangan dan berat sebelah.
Bahkan kebenaran tersebut tidak sepenuhnya dapat memenuhi rasa keadilan bagi kaum buruh/pekerja, seperti susahnya buruh/pekerja untuk melaporkan tindak pidana perburuhan berbanding terbalik dengan mudahnya pihak pengusaha yang melaporkan buruh/pekerjanya yang sangat cepat ditindaklanjuti.
Contohnya aksi mogok kerja buruh/pekerja PT Swadaya Mukti Prakarsa (SMP) yang diatur dalam Pasal 137 UU 13 Tahun 2003 dan Pasal 140 menuntut hak-hak normatif harus berakhir di terali besi dengan putusan hukuman 9 bulan.
Di sisi pengupahan buruh/pekerja hanya diberikan upah yang cukup makan saja, karena upah yang ditetapkan pemerintah melalui Dewan Pengupahan namun harus selalu mengacu pada inflasi tanpa memperhatikan kenaikan harga sandang, papan, dan pangan yang melambung tinggi.
Sementara Badan Pusat Statistik tidak memiliki data tentang inflasi di setiap daerah kabupaten/kota serta provinsi Se-Indonesia.
Demikian halnya dengan aturan struktur dan skala upah yang hanya dilaksanakan oleh segelintir perusahaan saja, sedangkan kebanyakan perusahaan yang tidak menerapkan struktur dan skala upah tetap tidak mendapatkan sanksi apapun.
HUT SBSI ke-32 tahun dengan tema “Memanusiakan Buruh/Pekerja Atas Pekerjaan dan Penghidupan Yang Layak Bagi Kemanusian Sesuai UUD 1945” dan juga menjadi tema Rakernas K-SBSI 16-19 Mei 2024 mendatang tetap berkomitmen memperjuangkan buruh/pekerja serta keluarganya melalui peraturan dan undang-undang serta penegakan hukum lewat advokasi maupun edukasi dan melakukan pendidikan/pelatihan agar buruh/pekerja pintar dan mengerti akan peraturan.
Mengingatkan kepada kita semua bahwa Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) hanya memiliki satu logo, satu mars, satu tridarma hal ini dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung No. 378 Tahun 2015. Bila saat ini ada yang mengaku SBSI selain dari Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, itu bukan yang didirikan atau diprakasai oleh DR. Muchtar Pakpahan, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rahmawati Soekarnoputeri, Sabam Sirait dan Mr. Sukowaluyo dalam pembentukan SBSI.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
Serikat buruh/pekerja yang ada ketika itu lebih merupakan perpanjangan tangan pemerintah yang mengontrol dan meredam aksi tuntutan buruh.
Hukum yang seharusnya berpihak pada “kebenaran” dan “keadilan” tidak lebih merupakan barang dagangan yang dapat diperjualbelikan.
Tanggal 25 April 1992 dalam sebuah pertemuan buruh nasional yang diikuti oleh 107 orang aktivis buruh yang datang dari berbagai daerah di Indonesia, di Cipayung Bogor dideklarasikan pembentukan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh melalui penegakan hukum dan keadilan yang berkaitan dengan Hubungan Industrial.
Beberapa nama seperti DR. Muchtar Pakpahan, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rahmawati Soekarnoputeri, Sabam Sirait dan Mr. Sukowaluyo turut memprakarsai pembentukan SBSI.
Pada pertemuan tersebut DR. Muchar Pakpahan terpilih secara demokratis sebagai ketua umum SBSI yang pertama.
Perjuangan SBSI sejak 25 April 1992 - 25 April 2024 (32 Tahun) untuk meningkatkan kesejahteraan buruh/pekerja melalui penegakan hukum dan keadilan yang berkaitan dengan Hubungan Industrial belumlah maksimal dirasakan oleh buruh/pekerja dikarekan banyaknya intimidasi serta ancaman PHK dari Pihak Perusahaan serta Perubahan UU 13 Tahun 2003 Menjadi UU 6 Tahun 2023.
Deklarasi Pendirian Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Cipayung 25 April 1992, sesungguhnya setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Buruh adalah bagian integral dari negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.
Bahwa kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat bagi setiap warga negara Indonesia sepenuhnya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka mewujudkan jiwa, semangat dan cita-cita UUD 1945 serta mensukseskan pembangunan nasional, kami buruh dan aktivitas perburuhan pada hari ini: Sabtu, tanggal 25 April 1992 dengan ini menyatakan secara bersama mendirikan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia.
Adapun tugas utamanya adalah meningkatkan kesejahteraan buruh melalui usaha-usaha penegakkan hukum dan keadilan yang berkaitan dengan Hubungan Perburuhan Pancasila.
Atas dasar deklarasi ini perjuangan SBSI yang dinakhodai (Alm) Prof. DR. Muchtar Pakpahan, SH., MA., secara lantang menyuarakan kebebasan berserikat karena dijamin UUD 1945 Pasal 28 E Pasal (3).
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,” dan Konvensi ILO No. 87 serta UU 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asazi Manusia Pasal 39. Bermodalkan semangat perjuangan beliau bersama buruh/pekerja, serta keberanian hingga keluar masuk penjara ketika itu, akhirnya Pemerintah RI mengakui kebebasan berserikat melalui UU 21 Tahun 2000.
78 Tahun Kemerdekaan Indonesia, saat ini buruh/pekerja belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan tersebut karena masih banyak perusahaan-perusahaan yang menghalang-halangi kebebasan berserikat bagi buruh/pekerja.
Hal ini didukung oleh oknum-oknum pegawai pemerintah yang ikut serta menghalang halangi buruh/pekerja untuk tidak berserikat dengan cara tidak menerbitkan bukti pencatatan sebagaimana yang telah diatur dalam regulasi.
Upaya penegakan hukum dan keadilan sebagaimana semangat serta cita-cita UUD 1945 Pasal 27 Ayat (1) yang menyatakan: ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya,” dan Ayat (2) ”Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” menjadi tumpuan serta harapan buruh/pekerja.
Namun pergantian rezim yang memerintah selalu melakukan perubahan peraturan dan undang-undang perburuhan seperti halnya PP 78 Tahun 2015, UU 13 Tahun 2003, UU 11 Tahun 2020, Perpu 02 Tahun 2022 dan terakhir menjadi UU 6 Tahun 2023 dan PP 35 Tahun 2021, menurunkan standar buruh hingga yang terakhir tidak ada kepastian hukum akan hubungan kerja sehingga buruh dapat menjadi buruh/pekerja kontrak seumur hidup.
Penegakan hukum yang seharusnya berpihak pada “kebenaran” dan “keadilan” bagi buruh/pekerja masih banyak ketimpangan dan berat sebelah.
Bahkan kebenaran tersebut tidak sepenuhnya dapat memenuhi rasa keadilan bagi kaum buruh/pekerja, seperti susahnya buruh/pekerja untuk melaporkan tindak pidana perburuhan berbanding terbalik dengan mudahnya pihak pengusaha yang melaporkan buruh/pekerjanya yang sangat cepat ditindaklanjuti.
Contohnya aksi mogok kerja buruh/pekerja PT Swadaya Mukti Prakarsa (SMP) yang diatur dalam Pasal 137 UU 13 Tahun 2003 dan Pasal 140 menuntut hak-hak normatif harus berakhir di terali besi dengan putusan hukuman 9 bulan.
Di sisi pengupahan buruh/pekerja hanya diberikan upah yang cukup makan saja, karena upah yang ditetapkan pemerintah melalui Dewan Pengupahan namun harus selalu mengacu pada inflasi tanpa memperhatikan kenaikan harga sandang, papan, dan pangan yang melambung tinggi.
Sementara Badan Pusat Statistik tidak memiliki data tentang inflasi di setiap daerah kabupaten/kota serta provinsi Se-Indonesia.
Demikian halnya dengan aturan struktur dan skala upah yang hanya dilaksanakan oleh segelintir perusahaan saja, sedangkan kebanyakan perusahaan yang tidak menerapkan struktur dan skala upah tetap tidak mendapatkan sanksi apapun.
HUT SBSI ke-32 tahun dengan tema “Memanusiakan Buruh/Pekerja Atas Pekerjaan dan Penghidupan Yang Layak Bagi Kemanusian Sesuai UUD 1945” dan juga menjadi tema Rakernas K-SBSI 16-19 Mei 2024 mendatang tetap berkomitmen memperjuangkan buruh/pekerja serta keluarganya melalui peraturan dan undang-undang serta penegakan hukum lewat advokasi maupun edukasi dan melakukan pendidikan/pelatihan agar buruh/pekerja pintar dan mengerti akan peraturan.
Mengingatkan kepada kita semua bahwa Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) hanya memiliki satu logo, satu mars, satu tridarma hal ini dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung No. 378 Tahun 2015. Bila saat ini ada yang mengaku SBSI selain dari Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, itu bukan yang didirikan atau diprakasai oleh DR. Muchtar Pakpahan, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rahmawati Soekarnoputeri, Sabam Sirait dan Mr. Sukowaluyo dalam pembentukan SBSI.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024