Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember Suyono mengatakan bahwa penayangan jurnalisme investigasi harus dijamin kebebasannya dalam revisi rancangan Undang-Undang Penyiaran.
"Terlepas dari perdebatan bentuk medianya, yang jelas jurnalisme investigasi merupakan produk pers yang harus dijamin kebebasannya," katanya di Kampus Unmuh Jember, Jawa Timur, Rabu.
Menyikapi kontroversi pembahasan rancangan UU Penyiaran yang sedang dibahas di Badan Legislatif DPR RI, Suyono menilai bahwa sudah waktunya anggota DPR RI melakukan reorientasi tugas pokok dan fungsinya sebagai anggota dewan.
"DPR merupakan representasi kedaulatan rakyat, seharusnya menjadi kepanjangan tangan rakyat dan menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya, terutama melaksanakan tugas dan fungsinya dalam hal legislasi," tuturnya.
Ia menilai DPR tampak selalu reaksioner menyikapi setiap perkembangan yang terjadi, terutama perkembangan media yang bertransformasi dengan cepat seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini.
"Sikap anggota dewan seperti itu tentu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa penyusunan sebuah regulasi baru harus melibatkan partisipasi publik," katanya.
Sementara, sejumlah pakar media dan lembaga media, termasuk Dewan Pers mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses pembahasan draf revisi RUU Penyiaran baik dalam proses dengar pendapat, maupun proses pembahasan lainnya.
"Wajar kalau draf revisi RUU Penyiaran tidak merujuk UU No.40/1999 tentang Pers dan juga Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) sebagai konsideran dalam pembahasan RUU tersebut, sehingga wajar jika menimbulkan kontroversi," ujarnya.
Ia menjelaskan pasal yang dianggap paling krusial adalah Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran yang dianggap bertentangan dengan semangat UU Nomor 40 Tahun 1999, tentang Pers karena dalam pasal tersebut berisi larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi.
"Beberapa media mengembangkan jurnalisme investigasi sebagai bahan perbincangan dan diskusi publik melalui media sosial. Informasi dan data lengkapnya ditulis dan dipublikasikan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik," katanya.
Suyono berharap anggota Baleg DPR RI segera mengundang Dewan Pers, pakar jurnalistik/penyiaran, dan organisasi profesi wartawan untuk melanjutkan pembahasan draf revisi RUU Penyiaran tersebut.
"Pelibatan mereka diharapkan dapat meredam gejolak sekaligus mengakhiri polemik terkait kontroversi RUU Penyiaran yang semakin tajam," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
"Terlepas dari perdebatan bentuk medianya, yang jelas jurnalisme investigasi merupakan produk pers yang harus dijamin kebebasannya," katanya di Kampus Unmuh Jember, Jawa Timur, Rabu.
Menyikapi kontroversi pembahasan rancangan UU Penyiaran yang sedang dibahas di Badan Legislatif DPR RI, Suyono menilai bahwa sudah waktunya anggota DPR RI melakukan reorientasi tugas pokok dan fungsinya sebagai anggota dewan.
"DPR merupakan representasi kedaulatan rakyat, seharusnya menjadi kepanjangan tangan rakyat dan menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya, terutama melaksanakan tugas dan fungsinya dalam hal legislasi," tuturnya.
Ia menilai DPR tampak selalu reaksioner menyikapi setiap perkembangan yang terjadi, terutama perkembangan media yang bertransformasi dengan cepat seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini.
"Sikap anggota dewan seperti itu tentu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa penyusunan sebuah regulasi baru harus melibatkan partisipasi publik," katanya.
Sementara, sejumlah pakar media dan lembaga media, termasuk Dewan Pers mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses pembahasan draf revisi RUU Penyiaran baik dalam proses dengar pendapat, maupun proses pembahasan lainnya.
"Wajar kalau draf revisi RUU Penyiaran tidak merujuk UU No.40/1999 tentang Pers dan juga Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) sebagai konsideran dalam pembahasan RUU tersebut, sehingga wajar jika menimbulkan kontroversi," ujarnya.
Ia menjelaskan pasal yang dianggap paling krusial adalah Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran yang dianggap bertentangan dengan semangat UU Nomor 40 Tahun 1999, tentang Pers karena dalam pasal tersebut berisi larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi.
"Beberapa media mengembangkan jurnalisme investigasi sebagai bahan perbincangan dan diskusi publik melalui media sosial. Informasi dan data lengkapnya ditulis dan dipublikasikan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik," katanya.
Suyono berharap anggota Baleg DPR RI segera mengundang Dewan Pers, pakar jurnalistik/penyiaran, dan organisasi profesi wartawan untuk melanjutkan pembahasan draf revisi RUU Penyiaran tersebut.
"Pelibatan mereka diharapkan dapat meredam gejolak sekaligus mengakhiri polemik terkait kontroversi RUU Penyiaran yang semakin tajam," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024