Pengamat menyarankan agar pemerintah menyosialisasikan pemahaman masyarakat untuk menambah cakupan ASI eksklusif dalam rangka meningkatkan gizi anak serta mencegah terjadinya kasus tengkes atau stunting.
Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengakui masih banyak kesalahpemahaman terjadi di masyarakat terkait susu tambahan untuk pertumbuhan anak yang diberikan hanya berdasarkan pengetahuan keluarga secara turun temurun.
"Nenek saya, ibu saya, tetangga saya, tante saya begitu semua. Nah ini yang kemudian jadi rujukan bahwa itu adalah hal yang baik-baik saja,” kata Devie dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin, terkait kebiasaan memberikan produk susu tambahan pada anak.
Produk kental manis merupakan salah satu yang kerap dianggap sebagai produk minuman susu yang diberikan kepada anak. Penyebabnya adalah kesalahan turun-temurun yang diwariskan dari generasi terdahulu kepada saat ini tanpa adanya koreksi.
Menurut dia, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat adalah melalui edukasi gizi dan mendorong pemberian ASI eksklusif.
Meski demikian, ada beberapa pengecualian bagi ibu yang tidak bisa memberikan ASI kepada anaknya dikarenakan alasan medis seperti mengidap penyakit menular seperti HIV atau tuberkulosis.
Selain itu, ibu yang sedang menjalani pengobatan berat seperti kemoterapi dan obat anti-tuberkulosis yang merupakan obat dengan efek samping keras juga disarankan untuk tidak menyusui bayinya terlebih dulu. Dalam situasi ini, pemberian pengganti ASI seperti produk susu formula menjadi alternatif untuk pemenuhan gizi bayi.
“Kalau memang kondisi fisiknya atau fisiologisnya memang tidak mampu maka baru diperkenankan memberi susu formula,” kata Devie.
Pemerintah melakukan pengetatan regulasi terkait susu formula bayi dan produk pengganti ASI lainnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Dalam PP Nomor 28 Tahun 2024, tercantum larangan bagi produsen dan distributor susu formula bayi serta produk pengganti ASI lainnya untuk melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian ASI eksklusif. Larangan ini mencakup pemberian sampel gratis, penawaran kerja sama kepada fasilitas kesehatan, pemberian potongan harga, hingga promosi melalui media massa dan media sosial.
Meski memiliki tujuan akhir yang jelas, kebijakan tersebut menuai pro dan kontra dan menjadi perdebatan publik. Beberapa ibu menyebut masih membutuhkan produk susu alternatif sebagai tambahan pemenuhan ASI kepada anaknya.
“Ibu yang waras pasti maunya kasih ASI eksklusif untuk anak, nggak cuma sampai enam bulan, kalau bisa pasti diteruskan sampai dua tahun. Tapi, nggak semua ibu seberuntung itu. Banyak yang ASI-nya terputus dengan berbagai alasan, dan mau tidak mau mereka harus kasih susu tambahan untuk anak," kata Atikah, ibu dua anak asal Bekasi yang memberikan ASI eksklusif pada buah hatinya, namun mengaku masih membutuhkan produk susu tambahan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024
Pengamat Sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengakui masih banyak kesalahpemahaman terjadi di masyarakat terkait susu tambahan untuk pertumbuhan anak yang diberikan hanya berdasarkan pengetahuan keluarga secara turun temurun.
"Nenek saya, ibu saya, tetangga saya, tante saya begitu semua. Nah ini yang kemudian jadi rujukan bahwa itu adalah hal yang baik-baik saja,” kata Devie dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin, terkait kebiasaan memberikan produk susu tambahan pada anak.
Produk kental manis merupakan salah satu yang kerap dianggap sebagai produk minuman susu yang diberikan kepada anak. Penyebabnya adalah kesalahan turun-temurun yang diwariskan dari generasi terdahulu kepada saat ini tanpa adanya koreksi.
Menurut dia, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat adalah melalui edukasi gizi dan mendorong pemberian ASI eksklusif.
Meski demikian, ada beberapa pengecualian bagi ibu yang tidak bisa memberikan ASI kepada anaknya dikarenakan alasan medis seperti mengidap penyakit menular seperti HIV atau tuberkulosis.
Selain itu, ibu yang sedang menjalani pengobatan berat seperti kemoterapi dan obat anti-tuberkulosis yang merupakan obat dengan efek samping keras juga disarankan untuk tidak menyusui bayinya terlebih dulu. Dalam situasi ini, pemberian pengganti ASI seperti produk susu formula menjadi alternatif untuk pemenuhan gizi bayi.
“Kalau memang kondisi fisiknya atau fisiologisnya memang tidak mampu maka baru diperkenankan memberi susu formula,” kata Devie.
Pemerintah melakukan pengetatan regulasi terkait susu formula bayi dan produk pengganti ASI lainnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Dalam PP Nomor 28 Tahun 2024, tercantum larangan bagi produsen dan distributor susu formula bayi serta produk pengganti ASI lainnya untuk melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian ASI eksklusif. Larangan ini mencakup pemberian sampel gratis, penawaran kerja sama kepada fasilitas kesehatan, pemberian potongan harga, hingga promosi melalui media massa dan media sosial.
Meski memiliki tujuan akhir yang jelas, kebijakan tersebut menuai pro dan kontra dan menjadi perdebatan publik. Beberapa ibu menyebut masih membutuhkan produk susu alternatif sebagai tambahan pemenuhan ASI kepada anaknya.
“Ibu yang waras pasti maunya kasih ASI eksklusif untuk anak, nggak cuma sampai enam bulan, kalau bisa pasti diteruskan sampai dua tahun. Tapi, nggak semua ibu seberuntung itu. Banyak yang ASI-nya terputus dengan berbagai alasan, dan mau tidak mau mereka harus kasih susu tambahan untuk anak," kata Atikah, ibu dua anak asal Bekasi yang memberikan ASI eksklusif pada buah hatinya, namun mengaku masih membutuhkan produk susu tambahan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2024