Selama dua pekan, kompleks pekuburan di sejumlah yayasan Tionghoa dipadati puluhan bahkan ratusan peziarah sembahyang kubur atau Ceng Beng. Ada tradisi yang masih melekat dari generasi ke generasi dalam keluarga Tionghoa, tak terkecuali untuk keluarga besar Tjhai Chui Mie di Kota Singkawang.
Sinar matahari belum tampak, tetapi pagi-pagi sekali pada Minggu (1/4), Tjhai Chui Mie sudah turun dari rumah. Ikut bersamanya suami, empat anaknya, dan seorang paman dan istri yang baru datang dari Kota Palembang. Tjhai Chui Mie (38) adalah Ketua DPRD Kota Singkawang periode 2009-2014.
Keluarga besar Tjhai, berziarah ke makam kakek dan nenek, serta ayah dan ibu dari Tjhai Chui Mie di pekuburan Yayasan pemakaman Sa Liung, Jl Sedau, jalan raya Singkawang - Pontianak, 145 kilometer dari Kota Pontianak.
Di kuburan, mereka membersihkan sampah dan rumput. Berada di dua kuburan sekitar empat jam dari pukul 05.00 hingga 09.00 WIB. Mereka juga menyiapkan sesajian yang terdiri dari buah-buahan, kue, lilin merah, dan sebotol air. Biasanya makanan kesukaan semasa hidup orang yang diziarahi.
Doa dan pujian serta ucapan terima kasih kepada kakek-nenek dan ayah-ibu, tak dilupakan. "Sembahyang kubur tanda berbakti kepada leluhur, orang tua. Jangan sampai ketika hidup berbakti, tetapi setelah meninggal tak lagi berbakti," kata Tjhai Chui Mie.
Ini semacam pendidikan, agar mereka yang masih hidup selalu menghormati orang tua. Semasa hidup, apa saja yang
diberikan orang tua dan tidak setiap orang diberi kesempatan untuk berbakti, begitu anggapan Tjhai Chui Mie.
"Dahulu orang tua bawa ke kuburan nenek dan kakek, walaupun kita tidak kenal mereka. Di sana diceritakan apa yang mereka buat untuk kita," katanya.
Pada saat Ceng Beng, warga Tionghoa yang merantau akan kembali ke tempat asalnya dimana leluhurnya dimakamkan, imbuhnya.
Saat Pemilu 2004-2009, Tjhai Chui Mie maju sebagai calon legislatif nomor urut lima dari Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB). Dia memperoleh suara terbanyak kedua setelah Bong Wui Khong. Namun rekan satu partainya itu dipecat dari partainya.
Tjhai Chui Mie menggantikan Bong Wui Khong. Dia menjadi anggota pergantian antarwaktu (PAW) DPRD Kota Singkawang periode 2004-2009 selama tujuh bulan.
Kemudian saat Pemilu 2009-2014, Tjhai Chui Mie maju sebagai calon legislatif dari partai yang sama dan menempati urutan pertama. Tjhai Chui Mie mempreroleh suara terbanyak dari 24 anggota DPRD Kota Singkawang saat ini. Karenanya, dia berhak menjadi ketua DPRD, meski harus menghadapi banyak tantangan dan penolakan dari berbagai pihak.
Kumpul keluarga
Bagi seorang Tjhai Chui Mie yang hari-harinya padat dengan aktivitas, apalagi sebagai Ketua DPRD Kota Singkawang, Ceng Beng adalah ajang berkumpul keluarga. Pada kali ini pamannya, Cong Khim Thong dan bersama istrinya, Kong Mei Fung juga datang ke Singkawang.
Mereka datang pada Jumat (30/3) dan berada di Singkawang empat hari. Mereka tinggal di Kota Palembang. Paman Tjhai Chui Mie merantau ke Palembang sejak 1972.
Cong Khim Thong hampir selalu pulang ke Singkawang untuk melaksanakan sembahyang kubur. Dia selalu mengambil waktu sembahyang pada bulan pertama sembahyang kubur, antara Maret dan April. Sembahyang kubur diadakan dua kali dalam setahun. Kali keduanya, jatuh pada bulan tujuh tahun Imlek. Biasanya antara Juli dan Agustus.
Cong selalu datang bersama istrinya, Kong Mei Fung. Dia warga Palembang. Mereka tinggal di daerah Sembilan Ilir, Palembang.
"Pulang melihat situasi. Kalau ada uang, diusahakan untuk pulang," kata Cong Khim Thong yang sudah menetap di Palembang sejak 1972.
Jika pamannya tak pulang lagi untuk sembahyang kubur kedua, Tjhai Chui Mie tetap melakukan sembahyang tersebut. Karena baginya sembahyang kubur adalah bentuk penghormatan kepada leluhurnya, terutama ayah dan ibu yang sudah memelihara dan membesarkannya.
Sembahyang kubur pada bulan ketujuh tahun Imlek, disertai dengan sembahyang rebut atau Shi Ku.
Warga Tionghoa menyiapkan sesajian yang akan diberikan kepada arwah yang tidak diurusi kuburannya. Misalnya yang meninggal tertabrak kendaraan, sakit atau dibunuh dan semasa hidup mereka tidak memiliki keluarga. Sehingga arwahnya tidak ada yang mengurusi atau disembahyangi.
"Sembahyang rebut untuk menjaga agar arwah mereka tidak mengganggu kehidupan di dunia ini," kata istri dari Lim Hok Nen itu.
Tjhai Chui Mie anak kedua dari empat bersaudara. Kedua orang tuanya, Cong Khim Chong (ayah) meninggal pada Januari 2011 saat berusia 74 tahun.
Sementara ibunya, Tjhai Lin Ngo meninggal tahun 2003. Ketika ibunya meninggal, Tjhai Chui Mie mengaku sangat terpukul, karena ia belum banyak berbakti kepada ibunya yang telah berjuang membantu ayahnya membangun masa depan anak-anaknya.
"Ibu bagi saya adalah orang yang selalu mendorong anak-anaknya untuk berhasil. Terutama dalam bidang pendidikan," katanya.
Menurut Tjhai Chui Mie, dalam kondisi apa pun ibunya selalu mendorong dia dan saudara-saudaranya untuk terus sekolah. Ibu juga mengajarkan disiplin dan kesederhanaan dalam hidup.
Momen sembahyang kubur, adalah masa dimana seorang Tjhai Chui Mie mengingat kembali perjuangan ibunya melahirkan, mendidik dan membesarkannya hingga bisa menjadi perempuan yang tegar dan dapat memimpin lembaga legislatif saat ini.
(N005/B/Z003)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
Sinar matahari belum tampak, tetapi pagi-pagi sekali pada Minggu (1/4), Tjhai Chui Mie sudah turun dari rumah. Ikut bersamanya suami, empat anaknya, dan seorang paman dan istri yang baru datang dari Kota Palembang. Tjhai Chui Mie (38) adalah Ketua DPRD Kota Singkawang periode 2009-2014.
Keluarga besar Tjhai, berziarah ke makam kakek dan nenek, serta ayah dan ibu dari Tjhai Chui Mie di pekuburan Yayasan pemakaman Sa Liung, Jl Sedau, jalan raya Singkawang - Pontianak, 145 kilometer dari Kota Pontianak.
Di kuburan, mereka membersihkan sampah dan rumput. Berada di dua kuburan sekitar empat jam dari pukul 05.00 hingga 09.00 WIB. Mereka juga menyiapkan sesajian yang terdiri dari buah-buahan, kue, lilin merah, dan sebotol air. Biasanya makanan kesukaan semasa hidup orang yang diziarahi.
Doa dan pujian serta ucapan terima kasih kepada kakek-nenek dan ayah-ibu, tak dilupakan. "Sembahyang kubur tanda berbakti kepada leluhur, orang tua. Jangan sampai ketika hidup berbakti, tetapi setelah meninggal tak lagi berbakti," kata Tjhai Chui Mie.
Ini semacam pendidikan, agar mereka yang masih hidup selalu menghormati orang tua. Semasa hidup, apa saja yang
diberikan orang tua dan tidak setiap orang diberi kesempatan untuk berbakti, begitu anggapan Tjhai Chui Mie.
"Dahulu orang tua bawa ke kuburan nenek dan kakek, walaupun kita tidak kenal mereka. Di sana diceritakan apa yang mereka buat untuk kita," katanya.
Pada saat Ceng Beng, warga Tionghoa yang merantau akan kembali ke tempat asalnya dimana leluhurnya dimakamkan, imbuhnya.
Saat Pemilu 2004-2009, Tjhai Chui Mie maju sebagai calon legislatif nomor urut lima dari Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB). Dia memperoleh suara terbanyak kedua setelah Bong Wui Khong. Namun rekan satu partainya itu dipecat dari partainya.
Tjhai Chui Mie menggantikan Bong Wui Khong. Dia menjadi anggota pergantian antarwaktu (PAW) DPRD Kota Singkawang periode 2004-2009 selama tujuh bulan.
Kemudian saat Pemilu 2009-2014, Tjhai Chui Mie maju sebagai calon legislatif dari partai yang sama dan menempati urutan pertama. Tjhai Chui Mie mempreroleh suara terbanyak dari 24 anggota DPRD Kota Singkawang saat ini. Karenanya, dia berhak menjadi ketua DPRD, meski harus menghadapi banyak tantangan dan penolakan dari berbagai pihak.
Kumpul keluarga
Bagi seorang Tjhai Chui Mie yang hari-harinya padat dengan aktivitas, apalagi sebagai Ketua DPRD Kota Singkawang, Ceng Beng adalah ajang berkumpul keluarga. Pada kali ini pamannya, Cong Khim Thong dan bersama istrinya, Kong Mei Fung juga datang ke Singkawang.
Mereka datang pada Jumat (30/3) dan berada di Singkawang empat hari. Mereka tinggal di Kota Palembang. Paman Tjhai Chui Mie merantau ke Palembang sejak 1972.
Cong Khim Thong hampir selalu pulang ke Singkawang untuk melaksanakan sembahyang kubur. Dia selalu mengambil waktu sembahyang pada bulan pertama sembahyang kubur, antara Maret dan April. Sembahyang kubur diadakan dua kali dalam setahun. Kali keduanya, jatuh pada bulan tujuh tahun Imlek. Biasanya antara Juli dan Agustus.
Cong selalu datang bersama istrinya, Kong Mei Fung. Dia warga Palembang. Mereka tinggal di daerah Sembilan Ilir, Palembang.
"Pulang melihat situasi. Kalau ada uang, diusahakan untuk pulang," kata Cong Khim Thong yang sudah menetap di Palembang sejak 1972.
Jika pamannya tak pulang lagi untuk sembahyang kubur kedua, Tjhai Chui Mie tetap melakukan sembahyang tersebut. Karena baginya sembahyang kubur adalah bentuk penghormatan kepada leluhurnya, terutama ayah dan ibu yang sudah memelihara dan membesarkannya.
Sembahyang kubur pada bulan ketujuh tahun Imlek, disertai dengan sembahyang rebut atau Shi Ku.
Warga Tionghoa menyiapkan sesajian yang akan diberikan kepada arwah yang tidak diurusi kuburannya. Misalnya yang meninggal tertabrak kendaraan, sakit atau dibunuh dan semasa hidup mereka tidak memiliki keluarga. Sehingga arwahnya tidak ada yang mengurusi atau disembahyangi.
"Sembahyang rebut untuk menjaga agar arwah mereka tidak mengganggu kehidupan di dunia ini," kata istri dari Lim Hok Nen itu.
Tjhai Chui Mie anak kedua dari empat bersaudara. Kedua orang tuanya, Cong Khim Chong (ayah) meninggal pada Januari 2011 saat berusia 74 tahun.
Sementara ibunya, Tjhai Lin Ngo meninggal tahun 2003. Ketika ibunya meninggal, Tjhai Chui Mie mengaku sangat terpukul, karena ia belum banyak berbakti kepada ibunya yang telah berjuang membantu ayahnya membangun masa depan anak-anaknya.
"Ibu bagi saya adalah orang yang selalu mendorong anak-anaknya untuk berhasil. Terutama dalam bidang pendidikan," katanya.
Menurut Tjhai Chui Mie, dalam kondisi apa pun ibunya selalu mendorong dia dan saudara-saudaranya untuk terus sekolah. Ibu juga mengajarkan disiplin dan kesederhanaan dalam hidup.
Momen sembahyang kubur, adalah masa dimana seorang Tjhai Chui Mie mengingat kembali perjuangan ibunya melahirkan, mendidik dan membesarkannya hingga bisa menjadi perempuan yang tegar dan dapat memimpin lembaga legislatif saat ini.
(N005/B/Z003)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012