Jakarta (ANTARA Kalbar) - Badan Perlindungan Konsumen Nasional menyatakan, Standar Nasional Indonesia dapat menjadi alat pelindung bagi masyarakat konsumen dari banyaknya barang impor dengan kualitas rendah.
"Dalam era perdagangan bebas, kita tidak boleh membedakan perlakuan antara produk dalam negeri dengan produk luar negeri, jadi bila produk dalam negeri tidak ada standar, barang dari luar juga tidak dikenakan standar, SNI dapat menahan produk impor yang tidak sesuai standar," kata Ketua BPKN Suhartini Hadad di Jakarta, Senin.
Namun ia mengakui bahwa SNI tidak dapat diterapkan ke seluruh sektor industri karena usaha kecil dan menengah bisa tutup bila SNI diwajibkan bagi seluruh produk.
"SNI kita masih longgar, tapi saat ini harus mulai untuk mewajibkan SNI karena konsumen harus dilindungi dari produk berbahaya," jelas Suhartini.
Badan Standarisasi Nasional (BSN) mencatat terdapat sekitar 7.000 SNI, namun dari jumlah tersebut hanya 83 SNI yang bersifat wajib yaitu terkait dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup (K3L).
"Misalnya di pasaran masih ditemukan kabel listrik dengan berbagi kualitas, kualitas terburuk akan mudah sekali menimbulkan korsleting listrik dan akhirnya menciptakan kebakaran," ungkap Suhartini.
Selain penerapan SNI, ia berharap agar Kementerian Perdagangan khususnya Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) dapat mengintensifkan pengawasan produk impor.
Suhartini juga mengapresiasi pembatasan impor buah yang diberlakukan oleh pemerintah untuk menekan risiko kesehatan bagi konsumen.
(D017)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
"Dalam era perdagangan bebas, kita tidak boleh membedakan perlakuan antara produk dalam negeri dengan produk luar negeri, jadi bila produk dalam negeri tidak ada standar, barang dari luar juga tidak dikenakan standar, SNI dapat menahan produk impor yang tidak sesuai standar," kata Ketua BPKN Suhartini Hadad di Jakarta, Senin.
Namun ia mengakui bahwa SNI tidak dapat diterapkan ke seluruh sektor industri karena usaha kecil dan menengah bisa tutup bila SNI diwajibkan bagi seluruh produk.
"SNI kita masih longgar, tapi saat ini harus mulai untuk mewajibkan SNI karena konsumen harus dilindungi dari produk berbahaya," jelas Suhartini.
Badan Standarisasi Nasional (BSN) mencatat terdapat sekitar 7.000 SNI, namun dari jumlah tersebut hanya 83 SNI yang bersifat wajib yaitu terkait dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat dan pelestarian lingkungan hidup (K3L).
"Misalnya di pasaran masih ditemukan kabel listrik dengan berbagi kualitas, kualitas terburuk akan mudah sekali menimbulkan korsleting listrik dan akhirnya menciptakan kebakaran," ungkap Suhartini.
Selain penerapan SNI, ia berharap agar Kementerian Perdagangan khususnya Direktorat Jenderal Standarisasi dan Perlindungan Konsumen (SPK) dapat mengintensifkan pengawasan produk impor.
Suhartini juga mengapresiasi pembatasan impor buah yang diberlakukan oleh pemerintah untuk menekan risiko kesehatan bagi konsumen.
(D017)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012