Jakarta (ANTARA Kalbar) - Aksi bunuh diri menunjukkan korelasi yang sangat kuat dengan  kondisi pribadi pelakunya.

Dalam publikasi penelitian pada tahun 1974, Hamermesh dan Soss--pemula kajian tentang teori ekonomi bunuh diri--berpendapat bahwa bunuh diri adalah hasil dari pilihan yang dilakukan secara rasional.

Seseorang akan memilih untuk bunuh diri bila merasa dirinya tidak lagi berguna bila hidup. Ketika banyak orang tak lagi merasa berguna hidupnya, maka angka bunuh diri pun bakal merangkak naik.

Berbagai penelitian yang mencermati hubungan antara angka pengangguran dan bunuh diri mendapati bahwa semakin tinggi angka pengangguran, angka bunuh diri pun mengikuti.

Khusus di Jepang, korelasi antara angka pengangguran dan bunuh diri sangatlah tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju OECD lainnya.

Fenomena bunuh diri di Jepang menunjukkan dua tren yang konsisten. Pertama, bunuh diri di Jepang konsisten meningkat. Kedua, bunuh diri di kalangan anak muda juga konsisten menguat.

Menurut laporan nasional polisi di Jepang, jumlah orang yang bunuh diri pada tahun 2008 adalah 32.249 dan 22.831 di antaranya  laki-laki.

Lonjakan terbesar terjadi di tahun 1997 ke 1998, tepat ketika krisis finansial melanda Asia. Jika di tahun 1997 jumlah bunuh diri adalah 24.391, setahun kemudian bertambah drastis menjadi 32.863 atau meningkat 34,73 persen.

Sejak 1998, angka bunuh diri di Jepang per tahun selalu di atas 30.000 atau sekitar 82 orang per hari.

Khusus soal bunuh diri selama 2008, hanya 23.000 kasus yang bisa diketahui motifnya. Penyebab paling banyak adalah alasan yang terkait dengan kesehatan, 15.000 bunuh diri diakibatkan putus asa soal kondisi kesehatan.

Dari 15.000 kasus itu, 6.000 di antaranya terkait dengan penyakit depresi.

Tapi cukup penting untuk dipahami bahwa penyebab bunuh diri biasanya lebih dari hanya satu faktor.

Dikutip dari Kertas Putih Bunuh Diri di Jepang tahun 2008, setiap orang yang memutuskan untuk bunuh diri memiliki sedikitnya empat faktor pemicu. Dan satu di antara empat tadi ada yang paling dominan.

Faktor-faktor yang memicu itu adalah urusan keluarga, utang, sakit, kemiskinan, suasana kerja, dan menganggur.

Di Jepang, kondisi menganggur tak hanya dialami oleh generasi yang masih produktif. Para pensiunan juga masuk ke dalam kelompok yang bunuh diri akibat menganggur ini.

Konsistensi kedua dari tren bunuh diri di Jepang adalah peningkatan jumlah orang muda yang memilih menghabisi diri sendiri.

Data dari tahun 1998-2007 menunjukkan bahwa pelaku bunuh diri yang berusia 20-39 tahun naik 2,6 persen. Padahal, kelompok usia lainnya menunjukkan penurunan sekitar 0,4 sampai 4,4 persen.

Lantas, pelajaran apa yang bisa diambil dari peta bunuh diri Jepang ini?

Para peneliti berkeyakinan bahwa ketika seseorang dipecat atau kehilangan pekerjaan, ia tidak hanya kehilangan kesibukan dan pendapatan, tapi juga terbebani beraneka utang.

Utang yang dibiayai oleh lembaga perbankan Jepang menjadi berisiko tinggi karena kekhawatiran si debitor bunuh diri, sehingga Jepang pun dibayang-bayangi oleh suasana sosioekonomi yang berisiko tinggi.

Ketika seseorang kehilangan sumber pendapatan, standar gaya hidupnya pun turut disesuaikan, dan tak jarang hal ini memunculkan depresi. Penyakit kejiwaan ini perlu segera ditangani.

Pemerintah Jepang pun didesak untuk memberikan program layanan paripurna terkait orang-orang yang kehilangan pekerjaan. Program ini haruslah melibatkan biro-biro penyaluran tenaga kerja, membantu aplikasi sewa rumah, aplikasi pinjaman, konsultasi mental, dan pencarian pekerjaan.

Bunuh diri bukan hanya tentang berakhirnya hidup seorang anak manusia. Lebih dari itu, sebuah negara pun terpaksa mengalami kehilangan peluang produktivitas dari si pelaku.

Yang seharusnya, ia masih muda dan bisa banyak berkarya, tetapi meninggal sebelum kematian wajarnya, dan berhenti pula kontribusinya terhadap negerinya.

(Antara News/E012)

Pewarta: Ella Syafputri

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012