Banda Aceh (ANTARA Kalbar) - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan tingginya laju kerusakan hutan di Provinsi Aceh telah memicu konflik satwa dengan manusia.

"Tingginya laju kerusakan hutan di Aceh menjadi faktor terjadinya konflik satwa," kata Direktur Eksekutif Walhi Aceh TM Zulfikar di Banda Aceh, Rabu.

Menurut TM Zulfikar, kerusakan hutan akibat penebangan liar, pembukaan perkebunan sawit dan sebagainya maupun praktik lahan berpindah-pindah membuat satwa terusir dari habitatnya.

Dalam perjalanan mencari habitat baru, kata dia, kawanan satwa bisa saja mendapati sumber makanan di kebun-kebun miliki masyarakat maupun perusahaan.

"Karena di kebun ditemukan sumber makanan, tentunya tanaman di tempat itu menjadi sasaran, Dan ini menyebabkan konflik dengan manusia," ungkap dia.

Dari catatan Walhi Aceh sepanjang 2007 hingga 2011, katanya, terjadi 276 konflik satwa dengan manusia. Pada 2007 terjadi 53 kasus, meningkat menjadi 124 kasus pada 2008.

Namun, sebut TM Zulfikar, konflik satwa di 2009 menurun menjadi 23 kasus dan turun lagi pada 20010 dengan jumlah 19 kasus. Tapi, terjadi peningkatan pada 2011 sebanyak 57 kasus.

Dari seluruh kasus konflik satwa tersebut, hampir semuanya akibat kerusakan hutan. Dan ini harus menjadi catatan kita semua bagaimana menghentikan laju kerusakan hutan tersebut, katanya.

"Sedangkan pada 2012 ini, ada beberapa kasus yang mencuat seperti pembunuhan gajah beberapa bulan lalu. Pembunuhan ini menunjukkan lemahnya perlindungan pemerintah terhadap satwa tersebut," katanya.

Oleh karena itu, lanjut dia, dalam penyusunan tata ruang daerah harus disebutkan jelas fungsi kawasan hutan beserta koridornya yang merupakan habitat satwa.

"Selain itu perlu juga diperjelas standar operasional BKSDA sebagai lembaga yang berwenang terhadap konservasi alam, sehingga tidak saling menyalahkan ketika terjadi konflik satwa," kata TM Zulfikar.

(KR.HSA)
 

Pewarta:

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012