Pontianak (ANTARA Kalbar) - Ketika maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, perempuan ini mendapatkan dukungan banyak pihak, termasuk dari seseorang yang sempat dihukum dalam kasus perdagangan orang.

"Orang itu menjadi `volunteer` (relawan) terdepan yang membantu saya saat kampanye. Ia sudah dipenjara dan menyadari hukuman itu sebagai ruang penyadaran bagi dirinya," kata Hj Hairiah, SH, MHum, anggota DPD RI dari daerah pemilihan Kalimantan Barat, mengisahkan perjalanannya menuju kursi DPD RI 2009-2014.

Ia mengaku terharu dengan sikap orang yang pernah dipenjarakannya itu. Karena orang itu menyadari perbuatannya dan menerima dengan ikhlas meski sudah masuk penjara. Ditambahkan lagi, ternyata orang yang dimaksud itu tidak mendendam, tetapi bahkan ikut berperan mengantarkan Hairiah ke kursi DPD RI.

Bagi Hairiah, proses menjadi calon anggota DPD RI itulah yang membuat kesan tersendiri dalam hidupnya. Selain bantuan dari keluarga besar, bapak dan ibu, dan saudara kandungnya. Termasuk teman semasa sekolah dasar hingga kuliah di Universitas Tanjungpura Pontianak.

"Semua bergabung memberikan dukungan kepada pencalonan saya," kata peraih sebanyak 124.854 suara sah pemilih untuk Pemilu DPD RI 2009 tersebut.

Siapa sesungguhnya Hairiah?
Hairiah adalah seorang aktivis perempuan asal Kalbar. Sebelum terjun ke tingkat nasional, ia adalah aktivis perempuan yang mengoordinir berbagai kegiatan dan organisasi swadaya masyarakat, terutama yang peduli terhadap persoalan perempuan dan anak-anak.

Aktif di lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang khusus menangani kasus perdagangan manusia lintas negara Indonesia - Malaysia, suatu yang biasa baginya, sebelum menjadi seorang senator.

Hairiah lahir di Pontianak, 27 Maret 1966. Pada 1997 ia mendirikan lembaga bantuan hukum yang berafiliasi dengan LBH APIK Jakarta. Yakni Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (YLBH PIK) Pontianak. Hairiah duduk sebagai Direktur di lembaga tersebut.

Lembaga tersebut sejak awal sudah banyak aktivitasnya, terutama dalam hal menangani kasus-kasus kekerasan yang dialami kaum perempuan dan anak. Lebih khusus lagi, kasus perdagangan orang lintas negara, Indonesia - Malaysia.

Hairiah yang ditemui belum lama ini menyatakan, Lembaga tersebut dibentuk pada 18 Januari 1997. Seusai pembentukan YLBH APIK, ia menghubungi temannya, seorang jurnalis harian lokal, Kusmalina. Dia meminta teman tersebut mempublikasikan terbentuknya lembaga perlindungan itu.

"Korannya masih saya simpan sampai sekarang. Ternyata banyak masyarakat mendukung. Saat saya datang ke pasar, ketemu orang, mereka bilang saya mendirikan lembaga, mereka mendukung," katanya.

Seiring dengan perjalanan waktu, semakin banyak kegiatan yang diikuti atau pun melibatkan YLBH PIK yang dipimpinnya meski tidak pernah menerima dana dari pemerintah.

Perlindungan
Sementara kasus pertama yang ditangani YLBH PIK, adalah mendampingi tenaga kerja yang bekerja di Malaysia. Penanganan berjalan lancar karena didukung orang-orang yang benar-benar peduli. "Itu menjadi amunisi," kata perempuan dengan dua anak tersebut.

Ia mengatakan, saat menangani kasus TKI bermasalah itu, pihaknya bertemu Konsulat Indonesia di Kuching dan pihak Imigrasi Malaysia.

"Waktu itu, mereka tak punya pendamping siapa jaringan di Kalbar untuk kepulangan. Dan kami siap. Karena kita tak ada dana, akhirnya rumah saya dijadikan shelter (rumah aman, red)," kata Pendiri Lembaga Perempuan Khatulistiwa Crisis Center pada tahun 2000 itu.

Saat menangani kasus perdagangan orang, ia mengakui tidak berpikir masalah keamanan tetapi yang penting bisa membantu para korban. "Masalah itu banyak, jumlahnya ratusan. Saat kita masih tidur rumah kita digedor," katanya. Selain itu, ada korban yang menjadi gila atau gangguan kejiwaan sehingga mesti dititipkan di rumah sakit jiwa.

Saat YLBH PIK mulai aktif menangani kasus kekerasan dan perdagangan orang, kondisi di perbatasan masih hiruk pikuk. Bisa dilihat dengan kasat mata. Ada transaksi, aktor, uang dan anak

"Begitu pekerja dideportasi, efeknya sangat riskan bagi keluarga dan para TKI. Saat itu belum ada BP2TKI," kata Hairiah mengisahkan.

Hairiah mengakui, saat aktif di LSM, pendampingan yang terus-menerus terkadang membuat dia merasa tak mampu dan bahkan stres.

"Kasus yang kita dampingi tidak selesai dengan target tertentu. Belum selesai sudah dapat kasus lagi, demikian seterusnya," katanya mengisahkan.

Kondisi itu membuat emosi terkadang menjadi tidak stabil. Untuk mengatasinya, harus berbagi dalam penanganan kasusnya supaya lebih ringan. "Saya ingin ada regenerasi yang terus-menerus. Di dalam pendampingan ini, karena tak mungkin kita terus yang menanganinya, harus ada pertukaran penanganannya," kata dia lagi.

Dengan berbagi peran, menurut dia, dalam penanganan suatu kasus setiap aktivis menjadi lebih "concern". Ada yang menangani di kepolisian dan ada yang menangani di pengadilan. Sehingga tidak menumpuk dalam satu bagian. Kalau dibagi penanganan akan lebih bagus.

Sementara jika di DPD RI, karena termasuk kantor lembaga, maka ada kesekjenan, sekretaris, dan administrasi yang teratur. "Kita tinggal mengikuti," katanya.

Hairiah pun merasa bersyukur karena kerja di DPD lebih kepada personal. Kondisi itu berbeda dengan di DPR yang lebih kepada fraksi. Kalau di DPD kemampuan personal yang lebih memudahkan dalam menyelesaikan tugas.

"Dengan latar belakang di NGO, saya bisa bergerak lebih enak. Kalau dahulu kita menyediakan fasilitas sendiri. Sekarang fasilitas disediakan negara," kata anggota DPD RI periode 2009-2014 tersebut.

Kursi DPD RI dari daerah pemilihan Kalbar diisi oleh empat perempuan yang semuanya adalah para aktivis yang banyak bersentuhan dengan masyarakat sejak lama.

Selain Hairiah, ada juga Maria Goreti yang pernah menjadi jurnalis pada majalah Kalimantan Review (majalah pemberdayaan masyarakat adat Dayak), Erma Suryani Ranik yang juga pernah menjadi jurnalis di media yang sama, dan aktif sebagai aktivis peduli lingkungan dari Flegt (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) dan Perkumpulan Pena.

Seorang lagi, Sri Kadarwati Aswin adalah istri dari mantan Gubernur Kalbar Aspar Aswin. Namun pada Selasa (31/7), perempuan gigih yang biasa disapa "bunda" oleh tiga anggota DPD RI lainnya itu, tutup usia karena penyakit kanker paru-paru di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta.

Meski sudah menjadi senator di Senayan, namun Hairiah merasa memiliki kewajiban untuk terus membela dan melindungi mereka yang menjadi korban melalui perjuangannya di parlemen.

Bagi seorang Hairiah, di negara mana pun, jika suatu negara sangat mencolok perbedaannya, maka daerah yang tertinggal itu yang paling mengalami masalah dan tereksploitasi. "Termasuk di wilayah Kalbar," katanya.

(N005) 

Pewarta: Nurul Hayat

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012