"Suster datang... Suster Sampyuh datang Dik....," kata perempuan muda berjilbab warna biru tua dengan raut muka terkesan penuh gembira.

Ia seakan berbicara kepada bayi di gendongannya, namun sekaligus sambil menunjukkan si mungil itu kepada tamu yang dianggapnya istimewa pada Minggu (5/8) pagi itu.
   
Di teras depan rumahnya di Dusun Paitan, Desa Tirtosari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, perempuan berumur 27 tahun bernama Himmatul Jazariyah (Imma) itu berdiri menyambut kedatangan tamunya yang Konselor Klinik Laktasi Rumah Sakit Elisabeth Semarang, Maria Antonia Sampyuh.

Solichin (32), suami Imma, ketika itu masih bepergian untuk suatu keperluan ketika Sang Konselor tiba dengan diantar oleh seorang nenek, pemilik warung di dusun setempat. Bebarapa hari sebelumnya, Sampyuh dengan pasangan suami-isteri itu, sudah saling mengontak untuk rencana kedatangan ke rumah keluarga muda tersebut.

Tak seberapa lama kemudian, suara Imma yang lulusan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang itu terdengar dari satu kamar di sebelah ruang tamu rumah itu. Ia sedang menelepon suaminya yang setiap hari mengajar di satu Sekolah Dasar Islam Terpadu di daerah itu.

"Suster Sampyuh sudah datang," demikian suara Imma ketika menelepon Solichin. Perempuan itu kemudian menemui Sampyuh yang sudah duduk di kursi ruang tamu di rumah sederhana yang terlihat bersih dengan perabot yang terkesan tertata rapi.

Beberapa saat kemudian, Solichin tiba di rumahnya dan lalu meluncurlah berbagai ungkapan kisah syukur dan gembira keluarga muda itu atas bayi bernama Muhammad Azzam Al Fadhil (dua bulan) yang diadopsi dari saudara mereka. Arti nama bayi itu adalah hamba terpuji yang punya keinginan kuat dalam kebenaran.

Sejak Solichin-Imma menikah pada 2006 hingga saat ini, pasangan tersebut belum mendapat karunia momongan sehingga mereka memutuskan adopsi anak dari satu saudara Imma di Magelang. Proses menyangkut status hukum atas bayi tersebut hingga saat ini masih mereka jalani.

Mereka kemudian menghadapi persoalan untuk memberikan air susu ibu kepada bayi itu. Tidak mungkin selama dua tahun ke depan ini (masa ideal pemberian ASI kepada bayi) bayi tersebut menggantungkan kepada asupan ASI dari ibu aslinya karena tempat tinggalnya cukup jauh dari rumah Solichin-Imma.

Pasangan itu juga berkomitmen menghindari pemberian susu formula bayi buatan pabrik kepada Azzam. Beberapa kali kesempatan berkonsultasi dengan dokter dan psikolog di Yogyakarta mereka jalani, sambil keduanya mencari berbagai informasi lainnya melalui internet tentang menyusui.

Pengertian umum selama ini, hanya ibu melahirkan yang bisa memproduksi ASI untuk bayi. Selama beberapa minggu pascakelahiran Azzam (5/6), ibu aslinya masih memberikan ASI untuk bayi itu. Solichin dan Imma pun menyiapkan hingga belasan botol susu untuk menampung dan menyimpan secara benar ASI dari ibu asli Azzam.

"Waktu di posyandu, orang-orang juga mengatakan tidak mungkin saya memberi ASI, karena saya tidak hamil dan melahirkan bayi ini," kata Imma yang setiap hari mengajar di Taman Kanak-Kanak Islam Terpadu, satu kompleks dengan tempat mengajar suaminya di SD IT setempat itu.

Berbekal informasi awal yang ditemukan melalui internet, Solichin dan Imma pun pada 10 Juli 2012 kemudian berboncengan sepeda motor ke Semarang yang jaraknya sekitar 90 kilometer dari Magelang, untuk berkonsultasi tentang ASI ke Klinik Laktasi RS Elisabeth.

Mereka ungkapkan pengakuan gembira karena saat tiba di RS Elisabeth Semarang itu, bisa langsung bertemu dengan Sampyuh, konselor laktasi di rumah sakit itu yang pada 1996 mendapat penghargaan "Babyfrendly Hospital" dari Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk kesehatan dunia (WHO). Rumah Sakit Elisabeth Semarang mengembangkan berbagai layanan terkait dengan klinik laktasi sejak 2007.

"Cukup banyak yang datang untuk konsultasi dan mengikuti berbagai program kami. Tetapi kasus menarik seperti Ibu (Imma, red.) ini sampai sekarang ada lima pasien dari beberapa daerah yang pernah kami tangani. Satu pasien berhasil tetapi karena dia sudah pernah melahirkan anak, 12 tahun sebelumnya, sedangkan empat lainnya yang sama-sama kasus adopsi, baru satu (Imma, red.) ini yang berhasil," kata Sampyuh.

Ia menyebut motivasi kuat Imma untuk bisa menyusui bayi adopsinya dengan dukungan dan perjuangan secara total suaminya telah membuat bayi itu bisa disusuinya sendiri.

Saat pertemuan konsultasi di Klinik Laktasi RS Elisabeth, Sampyuh memprioritaskan langkah menguatkan motivasi pasangan keluarga muda itu, antara lain berupa penjelasan tentang manfaat menyusui baik untuk ibu maupun bayi.    
   
Bayi yang mendapatkan asupan ASI, katanya, antara lain akan memiliki ikatan batin yang kuat dengan ibu yang menyusuinya,  tingkat intelegensi tinggi, kondisi emosional yang baik, mengurangi risiko rentan terserang penyakit dan kematian.

"Kami mengutamakan memberikan kepercayaan diri dan mereka kami dorong banyak membaca berbagai pengetahuan tentang menyusui. Saya juga minta mereka untuk mencari buku tentang menyusui," katanya.

Sampyuh juga menyarankan kepada Solichin dan Imma untuk membaca buku berjudul "The Ultimate Breastfeeding Book of Answers. Segala yang perlu anda tahu soal menyusui", tulisan dokter spesialis anak dan ahli laktasi internasional, Dr. Jack Newman dan Teresa Pitman.

Solichin yang alumni Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta itu pun bersemangat memburu buku cukup tebal tersebut di sejumlah toko buku di Yogyakarta, meskipun tak berhasil. Ia lalu menelusuri pencarian buku itu melalui internet dan kemudian mendapatkannya melalui pemesanan dalam jaringan. Mereka berdua kemudian membaca dan mempelajari secara cermat isi buku tersebut.

Buku itu berisi berbagai ikhwal menyangkut laktasi termasuk antara lain penggunaan alat bantu berupa botol susu dengan selang yang disebut suplemen menyusui untuk dipraktikan oleh si ibu.

"Itu menanamkan daya isap bayi kepada payudara dengan baik, memberi reaksi kepada kelenjar payudara. Produksi ASI lebih banyak kalau ASI diisap oleh si bayi. Selain itu, si ibu juga harus mengonsumsi menu makanan bergizi secara seimbang," kata Sampyuh.

Upaya Imma berhasil. Pada 19 Juli 2012, pertama kali air susunya keluar sebanyak tujuh milimeter untuk kemudian diberikan kepada bayi adopsi tersebut. Suka cita pasangan keluarga muda itu pun seakan menjadi berlipatganda karena selain mendapatkan momongan dari adopsi, Imma yang si ibu pun bisa menyusui bayinya.

Sang konselor yang mendapat kabar melalui telepon seluler bahwa Imma bisa memproduksi ASI untuk bayinya juga bergembira dan secepatnya merencanakan waktu kunjungan ke rumah kliennya itu.

"Sekarang sudah lima setengah kilo (kilogram, red.) bobotnya, waktu lahir tiga kilo. Hari ini umurnya genap dua bulan," kata Solichin.

Seorang nenek yang menunjukkan rumah pasangan keluarga muda itu kepada Sampyuh ketika tiba di dusun setempat juga menampakkan raut wajah suka citanya seraya beberapa kali berujar, "'Alhamdulilah, kok jebul saged (Bisa keluar ASI, red.). Matur nuwun!".

    
(U.M029

Pewarta: M. Hari Atmoko

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012