Jakarta (ANTARA Kalbar) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan dukungannya terhadap tuntutan para buruh dalam aksi Gerakan Tiga Oktober Mogok Umum Nasional (Getok Monas).
Dalam siaran pers yang diterima ANTARA, di Jakarta, Kamis, AJI menyatakan, tuntutan perbaikan upah dan penghapusan sistem alih daya (outsourcing) yang juga menjadi tuntutan para jurnalis di Indonesia.
Sekjen AJI Indonesia, Suwarjono, mengatakan meski berlatar belakang pendidikan tinggi, serta kemudahan akses dan penampilan yang rapi, para jurnalis tetaplah buruh.
Jurnalis, menurut siaran pers itu, adalah orang upahan yang nasibnya bisa tergantung kepada pengupah, sama halnya dengan buruh pabrik mebel, manufaktur, tambang, dan percetakan, yang setiap bulan menunggu upah datang.
Bahkan jurnalis yang berstatus kontributor/koresponden, tak lebih baik nasibnya dibandingkan para pekerja alih daya.
Para jurnalis lepas itu, bekerja tanpa ikatan legal yang jelas dan tanpa perlindungan keselamatan kerja, serta tak ada tunjangan / fasilitas peliputan seperti transportasi dan komunikasi.
Berdasarkan survei honor kontributor yang dilakukan AJI Indonesia menemukan, sebuah situs berita online milik kelompok media terkemuka di Indonesia, hanya memberikan honor Rp10.000 untuk berita tayang.
Jumlah honor itu nilainya tak lebih dari sebungkus nasi sekali makan itu, diberlakukan sama, baik untuk kontributor di Banda Aceh sampai Ambon.
Begitu juga dengan sebuah radio berita ternama di ibukota, memberikan honor Rp20.000 per berita untuk kontributornya di Kediri, Jawa Timur.
Selain itu, AJI juga menyoroti sulitnya membuat serikat pekerja dan PHK sepihak yang banyak terjadi di perusahaan media.
(I025)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
Dalam siaran pers yang diterima ANTARA, di Jakarta, Kamis, AJI menyatakan, tuntutan perbaikan upah dan penghapusan sistem alih daya (outsourcing) yang juga menjadi tuntutan para jurnalis di Indonesia.
Sekjen AJI Indonesia, Suwarjono, mengatakan meski berlatar belakang pendidikan tinggi, serta kemudahan akses dan penampilan yang rapi, para jurnalis tetaplah buruh.
Jurnalis, menurut siaran pers itu, adalah orang upahan yang nasibnya bisa tergantung kepada pengupah, sama halnya dengan buruh pabrik mebel, manufaktur, tambang, dan percetakan, yang setiap bulan menunggu upah datang.
Bahkan jurnalis yang berstatus kontributor/koresponden, tak lebih baik nasibnya dibandingkan para pekerja alih daya.
Para jurnalis lepas itu, bekerja tanpa ikatan legal yang jelas dan tanpa perlindungan keselamatan kerja, serta tak ada tunjangan / fasilitas peliputan seperti transportasi dan komunikasi.
Berdasarkan survei honor kontributor yang dilakukan AJI Indonesia menemukan, sebuah situs berita online milik kelompok media terkemuka di Indonesia, hanya memberikan honor Rp10.000 untuk berita tayang.
Jumlah honor itu nilainya tak lebih dari sebungkus nasi sekali makan itu, diberlakukan sama, baik untuk kontributor di Banda Aceh sampai Ambon.
Begitu juga dengan sebuah radio berita ternama di ibukota, memberikan honor Rp20.000 per berita untuk kontributornya di Kediri, Jawa Timur.
Selain itu, AJI juga menyoroti sulitnya membuat serikat pekerja dan PHK sepihak yang banyak terjadi di perusahaan media.
(I025)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012