Pontianak (ANTARA Kalbar) - Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) mendesak pemerintah untuk mencabut Permendag No.35/2011 tentang Larangan Ekspor Rotan, karena berdampak semakin menyulitkan petani dan pengusaha rotan untuk memasarkan tanaman rotannya.
"Kami juga menagih janji pemerintah yang akan mengevaluasi aturan larangan ekspor rotan enam bulan setelah aturan itu diberlakukan, yang hingga setahun ini belum juga dilakukan evaluasi," kata Juru Bicara APRI Wilayah Kalimantan Rudyzar di Pontianak, Kamis.
Rudyzar menjelaskan, larangan ekspor rotan sudah berjalan satu tahun, namun beberapa janji pemerintah/menteri pada saat terbitnya kebijakan Permendag larangan ekspor rotan belum juga dilakukan.
APRI Wilayah Kalimantan menagih janji pemerintah yang katanya Permendag tersebut akan memperhatikan kepentingan petani rotan di daerah penghasil rotan.
"Mana janji pemerintah yang katanya pasca diterbitkannya Permendag No. 35/2011, para petani rotan akan lebih sejahtera, buktinya malah kebalikan dari itu, nasib petani semakin sulit," ungkap Rudyzar.
APRI juga menagih janji pemerintah yang akan segera melakukan hilirisasi (pendirian pabrik barang jadi rotan) di daerah penghasil rotan.
Pemerintah, menurut dia, juga berjanji akan segera mentransmigrasikan pengrajin dari Cirebon ke daerah penghasil rotan di luar Pulau Jawa guna mendukung hilirisasi tersebut, dan menyerap semua produksi rotan dari daerah melalui sistim resi gudang namun sampai sekarang gudangnya pun belum ada, katanya.
Selain itu, pemerintah juga berjanji untuk mendatangkan investor guna mengembangkan industri mebel dan kerajinan rotan di Indonesia termasuk luar Pulau Jawa, tetapi hingga kini tidak ada realisasinya, kata Rudyzar.
Juru Bicara APRI Wilayah Kalimantan Juga menagih janji pemerintah, agar setiap sekolah, kantor pemeritah agar memesan rotan untuk mengantikan mebel yang ada di luar Pulau Jawa.
"Kami minta pemerintah segera mencabut Permendag No. 35/2011 karena telah menghancurkan perekonomian petani dan pengusaha rotan di daerah atau luar Pulau Jawa," ujarnya.
Rudyzar menambahkan, anehnya sekarang pengusaha sintetis atau plastik telah berkembang pesat dengan mendatangkan bahan baku dari China, Taiwan dan Thailand dengan biaya masuk sangat kecil sehingga berdampak semakin terjepitnya industri rotan lokal.
Data APRI, pasca diterbitkannya Permendag No. 35/2011 tentang Larangan Ekspor Rotan, seperti di Pulau Sumatera kini tinggal dua industri pengolahan rotan setengah jadi dari sebelumnya ada 20-an industri, Pulau Kalimantan tinggal satu industri rotan setengah jadi yang juga berhenti.
Sisanya usaha pengolahan rotan mentah/asalan yang tidak mempunyai kepastian usaha, kemudian di Pulau Sulawesi Tinggal sembilan industri rotan setengah jadi dari 60-an industri dengan kapasitas produksi 30-40 persen dari normal, dan semua industri rotan di Pulau NTB sudah menghentikan aktifitasnya.
"Kami sangat menyayangkan dengan telah diterbitkannya aturan larangan ekspor rotan tersebut, karena bukannya meningkatkan kesejahteraan, melainkan membuat sengsara banyak masyarakat, menimbulkan pengangguran dan dampak sosial lainnya,"katanya.
(A057)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012
"Kami juga menagih janji pemerintah yang akan mengevaluasi aturan larangan ekspor rotan enam bulan setelah aturan itu diberlakukan, yang hingga setahun ini belum juga dilakukan evaluasi," kata Juru Bicara APRI Wilayah Kalimantan Rudyzar di Pontianak, Kamis.
Rudyzar menjelaskan, larangan ekspor rotan sudah berjalan satu tahun, namun beberapa janji pemerintah/menteri pada saat terbitnya kebijakan Permendag larangan ekspor rotan belum juga dilakukan.
APRI Wilayah Kalimantan menagih janji pemerintah yang katanya Permendag tersebut akan memperhatikan kepentingan petani rotan di daerah penghasil rotan.
"Mana janji pemerintah yang katanya pasca diterbitkannya Permendag No. 35/2011, para petani rotan akan lebih sejahtera, buktinya malah kebalikan dari itu, nasib petani semakin sulit," ungkap Rudyzar.
APRI juga menagih janji pemerintah yang akan segera melakukan hilirisasi (pendirian pabrik barang jadi rotan) di daerah penghasil rotan.
Pemerintah, menurut dia, juga berjanji akan segera mentransmigrasikan pengrajin dari Cirebon ke daerah penghasil rotan di luar Pulau Jawa guna mendukung hilirisasi tersebut, dan menyerap semua produksi rotan dari daerah melalui sistim resi gudang namun sampai sekarang gudangnya pun belum ada, katanya.
Selain itu, pemerintah juga berjanji untuk mendatangkan investor guna mengembangkan industri mebel dan kerajinan rotan di Indonesia termasuk luar Pulau Jawa, tetapi hingga kini tidak ada realisasinya, kata Rudyzar.
Juru Bicara APRI Wilayah Kalimantan Juga menagih janji pemerintah, agar setiap sekolah, kantor pemeritah agar memesan rotan untuk mengantikan mebel yang ada di luar Pulau Jawa.
"Kami minta pemerintah segera mencabut Permendag No. 35/2011 karena telah menghancurkan perekonomian petani dan pengusaha rotan di daerah atau luar Pulau Jawa," ujarnya.
Rudyzar menambahkan, anehnya sekarang pengusaha sintetis atau plastik telah berkembang pesat dengan mendatangkan bahan baku dari China, Taiwan dan Thailand dengan biaya masuk sangat kecil sehingga berdampak semakin terjepitnya industri rotan lokal.
Data APRI, pasca diterbitkannya Permendag No. 35/2011 tentang Larangan Ekspor Rotan, seperti di Pulau Sumatera kini tinggal dua industri pengolahan rotan setengah jadi dari sebelumnya ada 20-an industri, Pulau Kalimantan tinggal satu industri rotan setengah jadi yang juga berhenti.
Sisanya usaha pengolahan rotan mentah/asalan yang tidak mempunyai kepastian usaha, kemudian di Pulau Sulawesi Tinggal sembilan industri rotan setengah jadi dari 60-an industri dengan kapasitas produksi 30-40 persen dari normal, dan semua industri rotan di Pulau NTB sudah menghentikan aktifitasnya.
"Kami sangat menyayangkan dengan telah diterbitkannya aturan larangan ekspor rotan tersebut, karena bukannya meningkatkan kesejahteraan, melainkan membuat sengsara banyak masyarakat, menimbulkan pengangguran dan dampak sosial lainnya,"katanya.
(A057)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2012