Pontianak (Antara Kalbar) - Sejumlah kepala daerah di Provinsi Kalimantan Barat meminta penyelesaian permasalahan seputar sektor perkebunan dilakukan dengan cepat dan komprehensif menyusul 84 potensi konflik yang dapat terjadi.
Bupati Landak Adrianus Asia Sidot di Pontianak, Rabu, mengatakan konflik muncul karena terjadi kesalahpahaman. "Sehingga mencuat menjadi konflik," kata dia saat rapat koordinasi penyelesaian masalah perkebunan di Mapolda Kalbar.
Menurut dia, mengedepankan kearifan lokal sebagai dasar pemecahan masalah merupakan salah satu langkah bijak. "Karena kearifan lokal sudah mendarah daging di masyarakat setempat," kata Adrianus.
Sementara Bupati Sanggau, Setiman H Sudin menilai, perusahaan perkebunan seharusnya ingat bahwa mereka hidup dan mencari "makan" di wilayah itu. "Jangan hanya mencari hak saja, `besarkan" juga lah daerah sini," katanya mengingatkan.
Ia menambahkan, kalau semua tahapan dalam pembangunan kebun kelapa sawit dilakukan, maka permasalahan dan potensi konflik kemungkinan tidak terjadi.
Setiman mengusulkan agar angkutan truk menyangkut perusahaan perkebunan di suatu daerah, maka nomor kendaraan disesuaikan dengan daerah tersebut. "Jangan menggunakan plat luar daerah itu, karena pajaknya bisa langsung ke daerah tersebut," ujar dia.
Ia mengacu kepada pengalaman ketika Kabupaten Sanggau mensahkan perda terkait biaya tambahan untuk setiap produksi kebun yang dihasilkan. Namun perda itu dibatalkan pusat karena dianggap sebagai pajak ganda. Padahal, lanjut Setiman, penarikan biaya itu untuk mengantisipasi kalau terjadi kerusakan infrastruktur karena dampak dari angkutan sawit.
"Dan sekarang jalan banyak yang rusak tetapi tidak dapat dibetulkan," katanya. Kabupaten Sanggau juga tengah menyiapkan perda yang mengatur komposisi inti dan plasma yakni 60 : 40.
Setiman juga menduga maraknya aksi LSM terkait perkebunan kelapa sawit sebagai imbas dari "perang" dagang di tingkat internasional. "Sawit dijelek-jelekkan, dan negara yang dirugikan dari sawit, membiayai para LSM itu," katanya menduga.
Bupati Bengkayang, Suryadman Gidot menambahkan, batas daerah harus menjadi prioritas agar potensi konflik karena sengketa wilayah tidak terjadi. Ia mencontohkan Kabupaten Bengkayang yang masih harus menyelesaikan batas wilayah dengan Kota Singkawang dan Kabupaten Sambas.
"Tetapi kita juga perlu melindungi investasi agar tidak menjadi preseden buruk bagi suatu daerah," kata Suryadman Gidot.
Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalbar, Toni Hartono mengakui, pembangunan perkebunan kelapa sawit berbanding lurus dengan potensi konflik. "Ini ancaman serius yang harus segera dicari solusinya," ujar Toni.
Ia melanjutkan, pengusaha perkebunan ingin agar pemerintah daerah mempunyai "crash programme" untuk meredam potensi konflik yang dapat muncul. Kalbar, kata dia, dapat mencontoh Miri, Sarawak, yang mampu melakukan hal itu.
(T.T011/Y008)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
Bupati Landak Adrianus Asia Sidot di Pontianak, Rabu, mengatakan konflik muncul karena terjadi kesalahpahaman. "Sehingga mencuat menjadi konflik," kata dia saat rapat koordinasi penyelesaian masalah perkebunan di Mapolda Kalbar.
Menurut dia, mengedepankan kearifan lokal sebagai dasar pemecahan masalah merupakan salah satu langkah bijak. "Karena kearifan lokal sudah mendarah daging di masyarakat setempat," kata Adrianus.
Sementara Bupati Sanggau, Setiman H Sudin menilai, perusahaan perkebunan seharusnya ingat bahwa mereka hidup dan mencari "makan" di wilayah itu. "Jangan hanya mencari hak saja, `besarkan" juga lah daerah sini," katanya mengingatkan.
Ia menambahkan, kalau semua tahapan dalam pembangunan kebun kelapa sawit dilakukan, maka permasalahan dan potensi konflik kemungkinan tidak terjadi.
Setiman mengusulkan agar angkutan truk menyangkut perusahaan perkebunan di suatu daerah, maka nomor kendaraan disesuaikan dengan daerah tersebut. "Jangan menggunakan plat luar daerah itu, karena pajaknya bisa langsung ke daerah tersebut," ujar dia.
Ia mengacu kepada pengalaman ketika Kabupaten Sanggau mensahkan perda terkait biaya tambahan untuk setiap produksi kebun yang dihasilkan. Namun perda itu dibatalkan pusat karena dianggap sebagai pajak ganda. Padahal, lanjut Setiman, penarikan biaya itu untuk mengantisipasi kalau terjadi kerusakan infrastruktur karena dampak dari angkutan sawit.
"Dan sekarang jalan banyak yang rusak tetapi tidak dapat dibetulkan," katanya. Kabupaten Sanggau juga tengah menyiapkan perda yang mengatur komposisi inti dan plasma yakni 60 : 40.
Setiman juga menduga maraknya aksi LSM terkait perkebunan kelapa sawit sebagai imbas dari "perang" dagang di tingkat internasional. "Sawit dijelek-jelekkan, dan negara yang dirugikan dari sawit, membiayai para LSM itu," katanya menduga.
Bupati Bengkayang, Suryadman Gidot menambahkan, batas daerah harus menjadi prioritas agar potensi konflik karena sengketa wilayah tidak terjadi. Ia mencontohkan Kabupaten Bengkayang yang masih harus menyelesaikan batas wilayah dengan Kota Singkawang dan Kabupaten Sambas.
"Tetapi kita juga perlu melindungi investasi agar tidak menjadi preseden buruk bagi suatu daerah," kata Suryadman Gidot.
Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan Indonesia (GPPI) Kalbar, Toni Hartono mengakui, pembangunan perkebunan kelapa sawit berbanding lurus dengan potensi konflik. "Ini ancaman serius yang harus segera dicari solusinya," ujar Toni.
Ia melanjutkan, pengusaha perkebunan ingin agar pemerintah daerah mempunyai "crash programme" untuk meredam potensi konflik yang dapat muncul. Kalbar, kata dia, dapat mencontoh Miri, Sarawak, yang mampu melakukan hal itu.
(T.T011/Y008)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013