Jakarta (Antara Kalbar) - Indonesia harus memilih, bonus demografi atau bencana demografi? Jika pilihannya bonus demografi, maka sejak kini harus meningkatkan kualitas SDM, tetapi jika memilih bencana demografi, biarkan para pemuda mencari jati diri.

Ketika peringatan HUT RI ke-67 di halaman Kemendikbud pada 17 Agustus 2012, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan bahwa selama 25 tahun, mulai 2010 hingga 2035, Indonesia mendapat anugerah terbesar dan luar biasa sepanjang sejarah kemerdekaan.

Anugerah melimpah itu berupa jumlah penduduk usia produktif mulai 15 hingga 64 tahun mencapai 60 persen. Ini berarti penduduk produktif hanya menanggung biaya hidup penduduk tidak produktif dengan usia 0 - 14 tahun dan usia 65 tahun ke atas.

Apabila sumber daya manusia (SDM) yang mencapai 60 persen itu terampil, maka bangsa ini akan meraih bonus demografi. Ini berarti perekonomian nusantara akan tumbuh pesat berkat keterampilan dan kreativitas mereka yang berusia produktif.

Untuk menghasilkan penduduk yang terampil, bertalenta, inovatif, kreatif, memiliki daya saing, dan berkarakter, maka berbagai upaya ke arah itu harus dipersiapkan sejak kini, kemudian mempertahankannya, bahkan meningkatkan kualitas SDM yang sudah ada.

Cara yang ditempuh bisa dengan beberapa kegiatan, di antaranya memberikan pelatihan kerja bagi generasi muda yang belum memiliki keterampilan agar mereka bisa diterima di pasar kerja, baik diterima di perusahaan atau lembaga pencarai tenaga kerja, maupun mampu menciptakan lapangan kerja baru lewat kreativitas dan inovasinya.

Cara lain yang juga harus dilakukan adalah dengan memberikan bekal mental dan pengetahuan agama. Harapannya tentu selain mereka memiliki keterampilan dan kecerdasan, para usia produktif itu juga memiliki etos kerja dan tidak mudah terjerumus karena bekal agama yang dimilikinya cukup kuat.  

Apabila pemerintah dan pemangku kepentingan terkait tidak melakukan apapun dan membiarkan para pemuda mencari jati diri, kemungkinannya hanya dua, jati diri yang ditangkap generasi muda kalau tidak positif, pasti negatif.

Biasanya, pemuda yang dibiarkan mencari jati diri tanpa adanya bimbingan intensif, mereka cenderung melakukan tindakan negatif, seperti kebut-kebutan, narkoba, minuman keras, seks bebas, dan tindakan lain yang membuat khawatir masyarakat luas.

Apabila kondisi seperti itu terjadi, maka tingginya jumlah usia produktif di Indonesia akan berakibat pada munculnya bencana demografi bagi negeri ini.

Di lain kesempatan, Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar pernah mengatakan,  Indonesia akan memiliki potensi SDM besar hingga tahun 2040 karena tingginya tingkat usia produktif.

Banyaknya warga dengan usia produktif akan dapat membantu akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. Tingginya usia itu merupakan keunggulan tak ternilai jika dibandingkan dengan sejumlah negara lain.

Tingkat usia produktif di Indonesia didominasi penduduk kelas menengah yang terdapat  45 juta orang, yakni sesuai dengan penelitian Bank Dunia.

Penelitian itu menyebutkan terdapat  55 persen penduduk kelas menengah di Indonesia membelanjakan uangnya pada kisaran 2 dolar hingga 22 dolar Amerika per hari. Jumlah penduduk kelas menengah Indonesia terdapat 45 juta orang.

Menurut Mahendra, dari 45 juta orang kelas menegah saja sudah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen di tengah krisis global. Ini berarti betapa besarnya peran yang dimiliki oleh penduduk usia produktif.

Keuntungan usia produktif hingga 2040 merupakan modal besar bagi Indonesia sehingga jendela kesempatan itu harus benar-benar diraih. Tidak banyak negara yang mendapat jendela kesempatan itu.  

Sejumlah negara maju sudah masuk aging society, yakni penduduk usia 60 tahun mencapai 15 hingga 20 persen. Di antara contohnya adalah Amerika dan Jepang. Aging society di Jepang mendekati 20 persen, kemudian di Amerika Serikat pada kisaran 15 hingga 20 persen.

Pada 2011, sesuai hasil Sensus Penduduk 2010. Jumlah penduduk Indonesia dengan usia 15 hingga 54 tahun mencapai 60 persen dari total penduduk yang sebanyak 240 juta jiwa. Ini berarti Indonesia memiliki populasi produktif hingga 2030.

Keuntungan tersebut tidak dipunyai oleh negara lain. Misalnya, Jepang yang minus populasi penduduk produktif, sementara China hanya memiliki penduduk usia produktif sampai tahun 2015 karena diterapkannya kebijakan satu anak cukup akibat dari membludaknya penduduk negeri itu.

    
                 Bonus Demografi Perlu Disikapi
Menurut Muhammad Hatta, Kepala Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), dalam beberapa tahun tahun ke depan, Indonesia akan mendapat momentum untuk menjadi bangsa yang adil, makmur dan sejahtera berupa bonus demografi.

Bonus demografi adalah jendela peluang (window of opportunity) yang disebabkan dari adanya kelahiran tercegah antara periode 1970 hingga 2000-an yang jumlahnya berkisar 80 juta jiwa.

Kelahiran tercegah ini terjadi karena adanya pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia yang gencar dan berhasil dilakukan pada periode itu.

Dari keberhasilan program KB tersebut kemudian menghasilkan sebuah kondisi positif, yakni penduduk usia produktif jumlahnya meningkat dan berpotensi menjadi engine of growth atau mesin yang mampu menumbuhkan perekonomian.

Kondisi tersebut ditandai dengan bertambahnya penduduk usia angkatan kerja menjadi lebih banyak. Rasio angka ketergantungan menjadi pada titik terendah, yakni berkisar 44:100 atau setiap 100 penduduk usia produktif hanya menanggung 44 orang tidak produktif.

 Ini berarti jumlah penduduk dengan kelompok usia 15 sampai 64 tahun akan memiliki proporsi lebih besar ketimbang penduduk dengan kelompok usia 0 sampai 14 tahun dan penduduk 65 tahun ke atas.

Untuk memantapkan pemanfaatan kondisi tersebut, tentunya peran pemerintah dalam mempersiapkan penduduk kelompok umur angkatan kerja  sangat diperlukan agar mereka menjadi tenaga yang siap untuk memasuki pasar kerja.

Bila pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dilakukannya secara konsisten dan memperhatikan aspek pembangunan berwawasan kependudukan, maka bonus demografi akan menjadi peluang untuk peningkatan kesejahteraan penduduk di Indonesia.

Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pemerintah mampu memanfaatkan bonus demografi ini untuk menjadikan Indonesia bangsa yang adil, makmur dan sejahtera? ataukah malah gagal memanfaatkannya?

Menurutnya, periode bonus demografi di Indonesia akan terjadi pada 2020 hingga 2030. Apabila saat itu tiba namun tidak dimanfaatkan karena SDM yang rendah dan lebih banyak pengangguran, maka akan terjadi badai dahsyat, yakni badai demografi.

Sementara itu, bila dilihat dari kondisi kualitas penduduk di Indonesia saat ini, yakni 60 persen orang lulusan sekolah dasar bahkan ada yang lebih rendah, angka kematian ibu  masih berkisar 228/100,000 kelahiran hidup, angka kematian bayi sebesar 34/1,000 kelahiran hidup.

Kemudian angka kemiskinan sebesar 31.02 juta atau 13.3 persen dari total penduduk Indonesia yang sekitar 240 juta jiwa, selanjutnya angka pengangguran sebesar 7.14 persen dari tabel angkatan kerja yang sekitar 116.5 juta jiwa.

Kondisi tersebut juga terjadi di Provinsi Kaltim walaupun sedikit lebih rendah dari kondisi nasional, yakni angka kematian bayi sebesar 21/1,000 kelahiran hidup, angka kematian anak sebesar 10/1,000 kelahiran hidup.

Kemudian angka kematian anak di bawah 5 tahun sebesar 31/1,000 kelahiran hidup, dan angka kemiskinan sebesar 7.6 persen dari total penduduk hasil sensus penduduk 2010 yang sebesar 3.55 juta jiwa.

Dari gambaran tersebut, katanya, sudah jelas bila pemerintah dan unsure terkait tidak melakukan perubahan atau persiapan menyonsong bonus demografi, maka potensi bonus demografi akan terlewatkan kemudian menjadi bencana demografi.

Bonus demografi bagai pisau tajam bermata dua, yakni di satu sisi bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara di sisi lain bisa menciptakan masalah sosial yang tinggi, seperti meningkatkan jumlah pengangguran, kemiskinan, tindakan kriminal, dan lainnya.

Untuk itu, perlu disongsong dan diwaspadai dampak lonjakan pertumbuhan penduduk, termasuk di Kaltim yang saat ini pertumbuhan penduduknya sebesar 3.82 persen terutama di wilayah perkotaan.

Di antara hal yang perlu dilakukan guna menyonsong bonus demografi antara lain penguatan program KB, mencetak generasi muda yang bekualitas baik melalui pendidikan, pelatihan, maupun menyiapkan keterampilan agar diterima di pasar kerja dan mampu menciptakan lapangan kerja.

Pewarta: M Ghofar

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013