Pontianak (Antara Kalbar) - Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Brigadir Jenderal (Pol) Tugas Dwi Apriyanto mengakui kesulitan dalam menekan peredaran gula ilegal di provinsi itu, karena ada kerja sama Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia (Sosek Malindo).

"Dengan adanya kebijakan Sosek Malindo yang intinya memperbolehkan warga perbatasan Kalbar (Indonesia) untuk berbelanja sebesar 600 Ringgit Malaysia, di negara Malaysia sangat menyulitkan kami untuk menindaknya," kata Tugas Dwi Apriyanto, di Pontianak, Senin.

Ia menjelaskan, karena dengan itu, bisa digunakan sebagai modus oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk menyeludupkan gula pasir dari Malaysia ke Kalbar.

"Tetapi pada prinsipnya kalau sudah keluar dari Sosek Malindo, pasti akan kami tangkap, siapapun pelakunya, kami tidak pandang bulu dalam menekan peredaran gula pasir ilegal," ungkapnya.

Sebelumnya, Bupati Sanggau Setiman Sudin memperkirakan 77 persen kebutuhan gula pasir yang ada di Kalbar dipasok dari perdagangan ilegal melalui pintu perbatasan.

"Kebutuhan gula pasir di Kalbar setiap bulan sekitar tujuh ribu ton per bulan, atau setahunnya 84 ribu ton," katanya.

Namun, lanjut dia, pasokan resmi berasal dari perdagangan antarpulau sebanyak 11 ribu ton per tahun, dan impor 9 ribu ton.

"Jadi hanya sekitar 23 persen kebutuhan gula Kalbar dipenuhi dari perdagangan legal, sedangkan sisanya diduga berasal dari perdagangan ilegal," kata dia.

Perbatasan Kalbar-Malaysia memang perlu menjadi perhatian serius karena memiliki panjang perbatasan darat sekitar 996 kilometer, serta ada sekitar 52 jalan "tikus" yang menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan 32 kampung di Sarawak, sehingga sangat rawan digunakan untuk praktik ilegal.

 

Pewarta: Andilala

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013