Pontianak (Antara Kalbar) - Analis Ekonomi Kantor Bank Indonesia Provinsi Kalimantan Barat Desi Hadiati menyatakan kredit bermasalah (non performing loans/NPL) di sektor properti masih relatif terkendali terutama untuk perumahan tipe di atas 70 meter persegi.
"NPL untuk kredit pemilikan rumah di atas 70 meter persegi, tercatat 0,81 persen," kata Desi Hadiati di Pontianak, Senin.
Sementara kredit serupa untuk rumah dengan tipe di bawah 21 meter persegi dan 22 - 70 meter persegi, masing-masing NPL tercatat 2,86 persen dan 1,78 persen.
"Meski lebih tinggi dibanding tipe di atas 70 meter persegi, tetapi NPL ke duanya masih di bawah aturan lima persen," katanya.
Tipe 21 meter persegi dan tipe 20 - 70 meter persegi bukan merupakan objek pengaturan dari ketentuan loan to value (LTV) 2012.
Ia melanjutkan, perkembangan kredit properti terutama kredit kepemilikan rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan) di Kalbar menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi.
"Untuk ruko dan rukan, di Kalbar penyaluran kreditnya tumbuh 75,98 persen dibandingkan tahun lalu," kata Desi Hadiati.
Selain ruko dan rukan, kredit pemilikan rumah tipe 22 - 70 meter persegi dan diatasnya juga tumbuh tinggi masing-masing 43,64 persen dan 24,34 persen dibanding tahun lalu.
"Sementara total kredit yang disalurkan bank umum tumbuh 25,51 persen," ujarnya.
Ia menambahkan, Bank Indonesia pada akhir September 2013 telah mengeluarkan aturan baru untuk mengantisipasi sumber-sumber kerawanan yang mungkin timbul akibat pertumbuhan kredit yang berlebihan tersebut serta mendorong peningkatan manajemen risiko bank.
Menurut dia, ketentuan baru tersebut merupakan penyempurnaan dari ketentuan sebelumnya, yaitu Surat Edaran Bank Indonesia No.15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 perihal Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Yang Melakukan Pemberian Kredit Atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
Ia menjelaskan, ketentuan sebelumnya hanya mengatur mengenai KPR dan KKB, diperluas mencakup pengaturan pada kredit pemilikan properti. Terdiri dari kredit pemilikan rumah tapak, kredit pemilikan rumah susun, kredit pemilikan rumah kantor (rukan) dan kredit pemilikan rumah toko (ruko), serta kredit konsumsi beragun properti.
Selain sebagai standardisasi penerapan manajemen risiko bagi bank, ketentuan itu juga bertujuan untuk meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran kredit/pembiayaan ke sektor properti.
Kemudian, menjaga agar eksposur risiko kredit berada pada level yang masih dapat dikelola dengan baik, khususnya bagi bank-bank yang memiliki eksposur kredit/pembiayaan properti cukup dominan.
"Perluasan objek kredit/pembiayaan yang diatur pada ketentuan tersebut dilakukan karena tingginya pertumbuhan kredit/pembiayaan, khususnya untuk kepemilikan ruko dan rukan," ujar Desi Hadiati.
Berdasarkan monitoring Bank Indonesia, diketahui bahwa kredit konsumsi beragun properti antara lain juga digunakan untuk pembelian properti yang berbeda. "Pertumbuhan kredit multiguna dengan agunan properti selama beberapa tahun terakhir juga menunjukkan peningkatan cukup tinggi," katanya.
Ia mengakui, pertumbuhan kredit/pembiayaan konsumsi beragun properti yang cukup tinggi berpotensi meningkatkan risiko bagi perbankan, terutama terkait siklus "boom and bust" dari harga properti.
Ia menjelaskan, ketentuan sebelumnya hanya mengatur penetapan LTV untuk kredit kepemilikan rumah tinggal dengan tipe bangunan di atas 70 meter persegi. Sedangkan ketentuan baru, mengatur penetapannya secara progresif berdasarkan urutan fasilitas kredit/pembiayaan yang memperhitungkan seluruh fasilitas kredit/pembiayaan serupa yang telah diterima debitur di bank yang sama maupun bank lainnya.
Ia mencontohkan, seorang debitur A mendapatkan fasilitas KPR untuk pembelian rumah X dengan luas bangunan 100 meter persegi pada Januari 2012. Saat KPR masih berjalan, debitur A mengajukan lagi fasilitas KPR untuk pembelian rumah Y dengan luas 150 meter persegi pada Juni 2013.
Sesuai dengan urutan fasilitas kredit, maka fasilitas KPR untuk rumah X merupakan fasilitas pertama dengan penetapan LTV sebesar 70 persen dan fasilitas KPR untuk rumah Y merupakan fasilitas ke dua dengan LTV sebesar 60 persen.
Ia melanjutkan, penetapan LTV/FTV untuk kredit/pembiayaan konsumsi beragunan properti pada dasarnya sama dengan pengaturan LTV/FTV kredit/pembiayaan pemilikan properti yang perhitungannya disesuaikan dengan jenis agunannya.
Misalkan seorang debitur bermaksud mengajukan kredit konsumsi dengan skema multiguna beragunan rumah dengan luas 150 meter persegi. Saat kredit tersebut masih berjalan, debitur mengajukan lagi pembiayaan konsumsi dengan akad murabahah dengan agunan berupa rumah susun dengan luas 75 meter persegi.
"Dengan demikian, kredit konsumsi multiguna merupakan fasilitas kredit pertama dengan LTV 70 persen sesuai dengan jenis agunannya," ujar Desi Hadiati.
Sementara pembiayaan konsumsi murabahah adalah fasilitas kredit kedua dengan penetapan LTV sebesar 60 persen.
Selain itu, terkait penerapan prinsip kehati-hatian, ketentuan ini juga mengatur beberapa hal yang setelah berlakunya ketentuan sebelumnya yakni 2012 masih dilakukan oleh beberapa bank. Yakni, bank dilarang memberikan fasilitas kredit/pembiayaan yang digunakan untuk pemenuhan uang muka pembelian properti yang dibiayai dengan kredit/pembiayaan rumah, ruko, rukan serta kredit konsumsi beragun properti.
Terdapat ketentuan tambahan lainnya yaitu bahwa bank hanya dapat memberikan fasilitas kredit/pembiayaan properti jika properti yang dijadikan sebagai agunan telah tersedia secara utuh. "Dalam artian dapat dilihat wujud fisiknya sesuai yang diperjanjikan dan sudah siap diserahterimakan," katanya.
Namun demikian, dalam hal fasilitas kredit/pembiayaan yang diterima debitur merupakan fasilitas kredit/pembiayaan pertama dari seluruh fasilitas yang diterima, baik di bank yang sama maupun bank lainnya.
Dalam hal ini bank masih dapat menyetujui fasilitas kredit/pembiayaan debitur meskipun agunan debitur belum menjadi bangunan utuh dengan persyaratan bahwa pencairan fasilitas hanya dapat dilakukan secara bertahap sesuai perkembangan pembangunan properti yang diagunkan oleh debitur.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013
"NPL untuk kredit pemilikan rumah di atas 70 meter persegi, tercatat 0,81 persen," kata Desi Hadiati di Pontianak, Senin.
Sementara kredit serupa untuk rumah dengan tipe di bawah 21 meter persegi dan 22 - 70 meter persegi, masing-masing NPL tercatat 2,86 persen dan 1,78 persen.
"Meski lebih tinggi dibanding tipe di atas 70 meter persegi, tetapi NPL ke duanya masih di bawah aturan lima persen," katanya.
Tipe 21 meter persegi dan tipe 20 - 70 meter persegi bukan merupakan objek pengaturan dari ketentuan loan to value (LTV) 2012.
Ia melanjutkan, perkembangan kredit properti terutama kredit kepemilikan rumah toko (ruko) dan rumah kantor (rukan) di Kalbar menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi.
"Untuk ruko dan rukan, di Kalbar penyaluran kreditnya tumbuh 75,98 persen dibandingkan tahun lalu," kata Desi Hadiati.
Selain ruko dan rukan, kredit pemilikan rumah tipe 22 - 70 meter persegi dan diatasnya juga tumbuh tinggi masing-masing 43,64 persen dan 24,34 persen dibanding tahun lalu.
"Sementara total kredit yang disalurkan bank umum tumbuh 25,51 persen," ujarnya.
Ia menambahkan, Bank Indonesia pada akhir September 2013 telah mengeluarkan aturan baru untuk mengantisipasi sumber-sumber kerawanan yang mungkin timbul akibat pertumbuhan kredit yang berlebihan tersebut serta mendorong peningkatan manajemen risiko bank.
Menurut dia, ketentuan baru tersebut merupakan penyempurnaan dari ketentuan sebelumnya, yaitu Surat Edaran Bank Indonesia No.15/40/DKMP tanggal 24 September 2013 perihal Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Yang Melakukan Pemberian Kredit Atau Pembiayaan Pemilikan Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti dan Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
Ia menjelaskan, ketentuan sebelumnya hanya mengatur mengenai KPR dan KKB, diperluas mencakup pengaturan pada kredit pemilikan properti. Terdiri dari kredit pemilikan rumah tapak, kredit pemilikan rumah susun, kredit pemilikan rumah kantor (rukan) dan kredit pemilikan rumah toko (ruko), serta kredit konsumsi beragun properti.
Selain sebagai standardisasi penerapan manajemen risiko bagi bank, ketentuan itu juga bertujuan untuk meningkatkan kehati-hatian dalam penyaluran kredit/pembiayaan ke sektor properti.
Kemudian, menjaga agar eksposur risiko kredit berada pada level yang masih dapat dikelola dengan baik, khususnya bagi bank-bank yang memiliki eksposur kredit/pembiayaan properti cukup dominan.
"Perluasan objek kredit/pembiayaan yang diatur pada ketentuan tersebut dilakukan karena tingginya pertumbuhan kredit/pembiayaan, khususnya untuk kepemilikan ruko dan rukan," ujar Desi Hadiati.
Berdasarkan monitoring Bank Indonesia, diketahui bahwa kredit konsumsi beragun properti antara lain juga digunakan untuk pembelian properti yang berbeda. "Pertumbuhan kredit multiguna dengan agunan properti selama beberapa tahun terakhir juga menunjukkan peningkatan cukup tinggi," katanya.
Ia mengakui, pertumbuhan kredit/pembiayaan konsumsi beragun properti yang cukup tinggi berpotensi meningkatkan risiko bagi perbankan, terutama terkait siklus "boom and bust" dari harga properti.
Ia menjelaskan, ketentuan sebelumnya hanya mengatur penetapan LTV untuk kredit kepemilikan rumah tinggal dengan tipe bangunan di atas 70 meter persegi. Sedangkan ketentuan baru, mengatur penetapannya secara progresif berdasarkan urutan fasilitas kredit/pembiayaan yang memperhitungkan seluruh fasilitas kredit/pembiayaan serupa yang telah diterima debitur di bank yang sama maupun bank lainnya.
Ia mencontohkan, seorang debitur A mendapatkan fasilitas KPR untuk pembelian rumah X dengan luas bangunan 100 meter persegi pada Januari 2012. Saat KPR masih berjalan, debitur A mengajukan lagi fasilitas KPR untuk pembelian rumah Y dengan luas 150 meter persegi pada Juni 2013.
Sesuai dengan urutan fasilitas kredit, maka fasilitas KPR untuk rumah X merupakan fasilitas pertama dengan penetapan LTV sebesar 70 persen dan fasilitas KPR untuk rumah Y merupakan fasilitas ke dua dengan LTV sebesar 60 persen.
Ia melanjutkan, penetapan LTV/FTV untuk kredit/pembiayaan konsumsi beragunan properti pada dasarnya sama dengan pengaturan LTV/FTV kredit/pembiayaan pemilikan properti yang perhitungannya disesuaikan dengan jenis agunannya.
Misalkan seorang debitur bermaksud mengajukan kredit konsumsi dengan skema multiguna beragunan rumah dengan luas 150 meter persegi. Saat kredit tersebut masih berjalan, debitur mengajukan lagi pembiayaan konsumsi dengan akad murabahah dengan agunan berupa rumah susun dengan luas 75 meter persegi.
"Dengan demikian, kredit konsumsi multiguna merupakan fasilitas kredit pertama dengan LTV 70 persen sesuai dengan jenis agunannya," ujar Desi Hadiati.
Sementara pembiayaan konsumsi murabahah adalah fasilitas kredit kedua dengan penetapan LTV sebesar 60 persen.
Selain itu, terkait penerapan prinsip kehati-hatian, ketentuan ini juga mengatur beberapa hal yang setelah berlakunya ketentuan sebelumnya yakni 2012 masih dilakukan oleh beberapa bank. Yakni, bank dilarang memberikan fasilitas kredit/pembiayaan yang digunakan untuk pemenuhan uang muka pembelian properti yang dibiayai dengan kredit/pembiayaan rumah, ruko, rukan serta kredit konsumsi beragun properti.
Terdapat ketentuan tambahan lainnya yaitu bahwa bank hanya dapat memberikan fasilitas kredit/pembiayaan properti jika properti yang dijadikan sebagai agunan telah tersedia secara utuh. "Dalam artian dapat dilihat wujud fisiknya sesuai yang diperjanjikan dan sudah siap diserahterimakan," katanya.
Namun demikian, dalam hal fasilitas kredit/pembiayaan yang diterima debitur merupakan fasilitas kredit/pembiayaan pertama dari seluruh fasilitas yang diterima, baik di bank yang sama maupun bank lainnya.
Dalam hal ini bank masih dapat menyetujui fasilitas kredit/pembiayaan debitur meskipun agunan debitur belum menjadi bangunan utuh dengan persyaratan bahwa pencairan fasilitas hanya dapat dilakukan secara bertahap sesuai perkembangan pembangunan properti yang diagunkan oleh debitur.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2013