Sydney (Antara/AFP) - Australia merusak nama baiknya dalam hak asasi manusia dengan terus melemahkan perlindungan terhadap pengungsi, termasuk kebijakan kejam mengirim pencari suaka ke kamp di kepulauan Pasifik, kata Human Rights Watch pada Rabu.
Dalam laporan tahunannya, kelompok hak asasi tersebut mengatakan pemerintah Australia lebih mementingkan politik dalam negeri ketimbang kewajiban hukum internasional terhadap pencari suaka, yang harus menghadapi "kebijakan baru, yang kejam, di Australia", yang membelokkan mereka ke negara ketiga.
Di bawah pemerintahan sebelumnya, Australia mulai mengirim pencari suaka yang tiba dengan kapal ke Papua Nugini dan Nauru untuk diproses, kemudian memperketat aturan dan mengatakan tidak ada satu pun yang akan ditampung di Australia.
Pemerintahan konservatif yang baru di bawah Perdana Menteri Tony Abbott semakin mengetatkan kebijakan itu, dengan melaksanakan program yang dipimpin militer untuk mengusir balik kapal pencari suaka ke lautan, sebuah langkah yang disebutnya aman dilakukan.
"Pada tahun lalu, dua partai politik Australia tidak berhati-hati menggunakan kebijakan kejam untuk menghalangi pencari suaka, meski dengan taruhan reputasi internasional negara itu," kata Direktur HRW untuk Australia Elaine Pearson.
"Mengirim pencari suaka ke Papua Nugini dan Nauru menjadi mentalitas pemerintah 'hilang dari pandangan, hilang dari pikiran'," katanya.
Laporan itu mengkritik penahanan mandatori Australia atas mereka yang tiba di negara tersebut tanpa visa.
"Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi berulangkali menyatakan keprihatinan terkait mandatori ini dan penahanan dalam waktu tak pasti atas pencari suaka di pusat-pusat penahanan lepas pantai, dimana kondisinya keras serta tidak memuaskan, dan hanya sedikit bantuan untuk menyampaikan keluhan mereka," demikian laporan itu.
Laporan HRW muncul setahun setelah UNHCR merilis kajian atas fasilitas bagi pencari suaka di Pulau Manus, Papua Nugini dan di Nauru, yang menyatakan bahwa mereka gagal memenuhi standar internasional.
Badan dunia tersebut mengatakan kamp-kamp yang menampung ratusan pencari suaka berubah menjadi penahanan sewenang-wenang yang melanggar hukum internasional dan gagal memberikan sistem efisien untuk menilai keluhan pengungsi ataupun menyediakan kondisi yang aman dan manusiawi.
Kritik tersebut ditepis oleh Canberra yang menyebutnya "sedikit berlebihan".
HRW mengatakan Australia juga tidak bersedia untuk mengungkap ke publik kasus-kasus pelanggaran HAM di negara-negara yang memiliki hubungan dagang dan keamanan yang kuat dengan negara itu karena khawatir hal tersebut akan merusak hubungannya dengan beberapa pemerintahan di Asia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
Dalam laporan tahunannya, kelompok hak asasi tersebut mengatakan pemerintah Australia lebih mementingkan politik dalam negeri ketimbang kewajiban hukum internasional terhadap pencari suaka, yang harus menghadapi "kebijakan baru, yang kejam, di Australia", yang membelokkan mereka ke negara ketiga.
Di bawah pemerintahan sebelumnya, Australia mulai mengirim pencari suaka yang tiba dengan kapal ke Papua Nugini dan Nauru untuk diproses, kemudian memperketat aturan dan mengatakan tidak ada satu pun yang akan ditampung di Australia.
Pemerintahan konservatif yang baru di bawah Perdana Menteri Tony Abbott semakin mengetatkan kebijakan itu, dengan melaksanakan program yang dipimpin militer untuk mengusir balik kapal pencari suaka ke lautan, sebuah langkah yang disebutnya aman dilakukan.
"Pada tahun lalu, dua partai politik Australia tidak berhati-hati menggunakan kebijakan kejam untuk menghalangi pencari suaka, meski dengan taruhan reputasi internasional negara itu," kata Direktur HRW untuk Australia Elaine Pearson.
"Mengirim pencari suaka ke Papua Nugini dan Nauru menjadi mentalitas pemerintah 'hilang dari pandangan, hilang dari pikiran'," katanya.
Laporan itu mengkritik penahanan mandatori Australia atas mereka yang tiba di negara tersebut tanpa visa.
"Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi berulangkali menyatakan keprihatinan terkait mandatori ini dan penahanan dalam waktu tak pasti atas pencari suaka di pusat-pusat penahanan lepas pantai, dimana kondisinya keras serta tidak memuaskan, dan hanya sedikit bantuan untuk menyampaikan keluhan mereka," demikian laporan itu.
Laporan HRW muncul setahun setelah UNHCR merilis kajian atas fasilitas bagi pencari suaka di Pulau Manus, Papua Nugini dan di Nauru, yang menyatakan bahwa mereka gagal memenuhi standar internasional.
Badan dunia tersebut mengatakan kamp-kamp yang menampung ratusan pencari suaka berubah menjadi penahanan sewenang-wenang yang melanggar hukum internasional dan gagal memberikan sistem efisien untuk menilai keluhan pengungsi ataupun menyediakan kondisi yang aman dan manusiawi.
Kritik tersebut ditepis oleh Canberra yang menyebutnya "sedikit berlebihan".
HRW mengatakan Australia juga tidak bersedia untuk mengungkap ke publik kasus-kasus pelanggaran HAM di negara-negara yang memiliki hubungan dagang dan keamanan yang kuat dengan negara itu karena khawatir hal tersebut akan merusak hubungannya dengan beberapa pemerintahan di Asia.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014