Jakarta (Antara Kalbar) - Sebuah studi baru menunjukkan perilaku spesifik untuk mengatasi stres bisa mengarah pada perkembangan insomnia, gangguan yang membuat orang susah tidur. 

Hasil studi itu menunjukkan bahwa mengatasi kejadian yang membuat stres melalui perilaku pelepasan atau ketidakpedulian--menyerah menghadapi stres-- atau dengan menggunakan alkohol atau obat-obatan semuanya secara signifikan memediasi hubungan antara paparan stres dan perkembangan insomnia.  

Bahkan teknik distraksi diri seperti pergi ke bioskop atau menonton TV juga merupakan mediator signifikan antara stres dan kejadian insomnia. 

Hasil studi yang dipublikasikan dalam jurnal Sleep pada 1 Juli itu juga menunjukkan bahwa gangguan kognitif - pikiran berulang tentang penekan-- merupakan mediator kunci dan signifikan, yang menyumbang sekitar 69 persen efek total paparan stres pada insomnia. 

"Studi kami adalah yang pertama menunjukkan bahwa bukan jumlah penekan, tapi reaksi terhadap mereka yang menentukan kemungkinan mengalami insomnia," kata penulis utama studi, Vivek Pillai, PhD, peneliti di Sleep Disorders & Research Center pada Henry Ford Hospital di Detroit, Michigan, Amerika Serikat. 

"Sementara peristiwa yang membuat stres dapat menyebabkan tidur malam yang buruk, apa yang kau lakukan dalam merespons stres dapat menjadi pembeda antara sedikit malam yang buruk dan insomnia kronis," katanya dalam siaran publik American Academy of Sleep Medicine. 

Studi itu melibatkan sampel berbasis komunitas yang terdiri atas 2.892 orang yang selama ini tidur dengan baik dan tidak memiliki riwayat insomnia. 

Pada awal, mereka melaporkan kejadian-kejadian penyebab stres yang pernah alami dalam setahun terakhir, seperti perceraian, penyakit serius, masalah keuangan besar, atau kematian pasangan. Mereka juga melaporkan tingkat keparahan yang dirasakan dan durasi setiap peristiwa stres itu. 

Kuesioner juga mengukur tingkat intrusi kognitif dan mengidentifikasi strategi peserta dalam mengatasi stres selama tujuh hari setelah peristiwa yang menimbulkan stres. 

Penilaian lanjutan setelah setahun menunjukkan para peserta dengan gangguan insomnia, yakni yang memiliki gejala insomnia setidaknya selama tiga malam dalam sepekan selama satu bulan atau lebih yang berhubungan dengan gangguan atau tekanan pada siang hari.

Presiden American Academy of Sleep Medicine, Dr. Timothy Morgenthaler, mengatakan, studi itu merupakan pengingat penting bahwa kejadian yang menimbulkan stres dan perubahan besar dalam hidup lainnya sering menyebabkan insomnia. 

"Jika kau merasa kewalahan dengan peristiwa dalam hidup, berbicaralah ke dokter tentang strategi untuk mengurangi tingkat stres dan meningkatkan kualitas tidur," katanya menanggapi hasil studi tersebut.

Menurut para penulis, studi itu mengidentifikasi target potensial untuk intervensi terapeutik demi memperbaiki respons untuk mengatasi stres dan mengurangi risiko insomnia. 

Secara khusus, mereka mencatat, terapi berbasis kesadaran cukup menjanjikan dalam menekan gangguan kognitif dan memperbaiki tidur.

"Meski kita mungkin tidak mampu mengendalikan kejadian eksternal, kita dapat mengurangi beban mereka dengan tinggal jauh dari perilaku maladaptif tertentu," kata Pillai.

American Academy of Sleep Medicine melaporkan, gangguan insomnia jangka pendek yang berlangsung kurang dari tiga bulan terjadi pada 15 sampai 20 persen orang dewasa dan lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pada pria.

Pewarta:

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014