Wajahnya tampak gelisah, begitu aku berada di hadapannya. ”Bu, kame ingin naik kelas, bise tada?” Tiba-tiba terucap ungkapan seorang anak di hadapanku dengan ciri khas rambut gelombangnya.

“Kalau melihat daftar hadir ini, ibu tak bise menjamin kamu naik kelas Rud!”

Mata yang ada di depanku terlihat berkaca-kaca lalu kepalanya pun menunduk. Raut sedih dan kecewa sangat jelas terlihat diwajahnya.

“Hemmm...kalau kamu tak naik, ape yang nak buat?” tanyaku untuk memecahkn keheningan ruangan kelas waktu itu.

“Berhenti lah Bu” jawabnya dengan spontan

“Kenape berhenti!” lanjutku menanyakan.

“Malu lah Bu, kan uda tua.”

Sengaja aku melontarkan banyak tanya padanya. Ini salah satu teknikku untuk mengenalnya lebih jauh dan kesempatanku berbicara dengannya sebab aku begitu sulit untuk berbicara dengan dia. Apa lagi bertemu dengan orang tuanya. Akupun melanjutkan pertanyaanku “Oh...emang cita-citanya ape Rud?”

Sambil malu-malu dan melihat ke sana ke mari diapun menjawab “Pengusaha, Bu.”

Alhamdulillah, ternyata ada jalan untuk ku menggali tentang informasi mengenai keseharian Rudiansyah salah satu muridku di kelas VII SMPN 6 Satu Atap (SATAP) Batu Ampar.

“Cita-cita rudi bagus, tapi kenape Rudi sering tak masuk?” Sambil memegang dan meremas tangannya dia belum juga menjawab tanyaku.

Akupun kembali melontarkan pernyataan “Rudi tak usah takut, Ibu kan wali kelasnya Rudi, jujur aja sama Ibu.”

Masih meremas-remas tangannya namun akhirnya suara mulai terdengar “Sebenarnya Bu, kame letih dan takut terlambat datang makanya sering tak masuk.”

Tanpa menunggu detak jarum jam menuju satu menit, kubertanya,”emang kenapa Rudi letih?”.

“Kame kerja Bu”. Sekarang tanpa ada keraguan Rudi menjawab pertanyaanku. Penasaran ingin tahu aku menanyakan lagi padanya

“Rudi kerja apa emangnya? Terus kerjanya dari jam berapa?”

“Ngupas kelapa Bu, biasanya sih Bu  kame berangkat jam 06.00 WIB baleknya jam 11.00 WIB, lalu kame pulang habis itu siap-siap  berangkat sekolah, rumah kame kan di darat sana (sambil menunjuk arah ) jadi kalo ke sekolah harus jalan kaki soalnya tak ade motor Bu ee makanya suka telat, karena sering di ejek sama budak-budak kame malu telat Bu,” ujarnya dengan tanpa keraguan.

Rudi mulai terbuka denganku, tanpa rasa gugup sekarang dia mulai membuka dirinya. Aku sangat senang sekali, jelas selama menjadi wali kelasnya aku susah untuk berbicara sama Rudi. Di tambah lagi aku tak mengajar kelas VII sehingga intensitas aku bertemu mereka jarang, yea bisa di hitung jari lah aku masuk di kels ini.

Kembali lagi ku bertanya pada Rudi “Emang berapa kelapa yang Rudi kupas sehari? Kenapa harus malu. Emang gurunya marahin Rudi atau Rudi nggak di suruh masuk kelas sama gurunya?”

Dia pun menjawab,”Biasanye sih kalau setengah hari kame dapat 500 buah, tapi kalau sampe sore biasanye 1000 buah Bu ee. Malu lah Bu di ketawain sama budak-budak. Tak ade sih Bu guru yang keluarin kame dari kelas.”

Sudah menjadi tradisi dan kewajiban bagi anak laki-laki yang tinggal di Desa Tasik Malaya, Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat ini bahwa mereka harus pandai mengupas kelapa. Di desa ini berdiri kokoh ribuan pohon kelapa dan kebanyakan penduduk Desa Tasik mengais rejeki mereka dari olahan kelapa yang di panggang di atas langkau  yang biasanya mereka sebut kopra.

Dari kelas 5 SD anak-anak Tasik di didik agar pandai mengupas kelapa. Sehari anak-anak di sini bisa mengupas seribu buah kelapa.

Namun di balik itu semua ada dampak negatif yang ditimbulkan. Karena efek keletihan banyak anak yang sering ijin ataupun tak sekolah bahkan putus sekolah demi kebutuhan keluarganya. Tapi ada juga sisi poisitifnya, dengan bekerja seperti ini dia bisa bersekolah dan menggapai cita-citanya setinggi langit.

Rudi muridku yang malang. Sebagai seorang guru sekaligus wali kelasnya aku tak akan berdiam diri. Meski hanya mengecek mereka dari daftar hadir dan menanyakan perkembangan mereka pada para guru yang mengajar, sekali-kali di saat istirahat aku memperhatikan aktivitas mereka. Rudi memang jarang masuk sekolah, tapi untuk masalah akademik dia masih bisa bersaing dengan temannya yang lain.

Hari pun berlalu begitu cepat, tak terasa pembagian raport tinggal dua hari lagi. Saatnya para dewan guru dan kepala sekolah melakukan rapat peleno tentang kenaikan kelas. Rapatpun di mulai dengan bacaan Basmallah.

Beberapa menit kemudian saatnya aku yang ditanya oleh Kepla Sekolah. “Bagaimana dengan Rudi, kita naikkan atau tidak.”

Pertanyaan yang berat untuk k temukan jawabannya. Namun aku mencoba untuk mencari jawaban itu. “Sebenarnya saya dilema Pak, kalau saya naikkan apa yang akan diungkapkan oleh teman-temanya yang lain dan pasti akan berefek pada temannya. Sedangkan kalau tidak dinaikkan pasti budak ini berhenti sekolah Pak. Namun saya ingin mencoba dengan perjanjian secara tertulis antara saya sebagai wali kelas dan murid saya Rudi. Untuk mengetahui apakah dia bisa berubah atau tidak, jika tidak ada perkembangan bisa lah Pak, kita pake konsekuensi terakhir kita” ujarku.

“Saya dulu pernah mencoba hal seperti itu, tak hanya sekali hampir setiap tahun saya menggunakan cara itu namun memang tidak secara tertulis sih. Tapi perubahan yang diinginkan itu nihil, mereka tidak berubah” ungkapnya.

Aku mencoba lagi untuk meyakinkan Kepala Sekolahku saat itu. “Pak, saya akan mengontrolnya. Bagaimana Pak, apakah saya bisa mencoba cara ini soalnya saya tidak punya cara lain” ungkapku dengan penuh harap dan keyakinan.

Sambil memegang dagunya dan menggaruk jidatnya, beliaupun menjawab,”Baiklah, semoga saja cara ini bisa berhasil dan akan ada perubahan dari Rudi. Selamat mencoba ya Bu, Semoga sukses” ujarnya.

“Terimakasih Pak, doain saja.” Rapatpun akhirny selesai.

Tiba lah saatnya hari keputusan yang ditunggu-tunggu oleh Rudi. Hari itu Jumat, 20 Juni 2014. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.15 WIB aku masih bertahan di ruangan guru, sedangkan anak-anakku sedari tadi mengintipi aku yang sedang mengotak atik raport. Sengaja aku membuat mereka menunggu dan merasakan was-was supaya ada sensasi untuk siswa yang merasa kurang dalam belajarnya.

Jam 08.30 WIB aku menuju kelas kami yang sederhana, di sana sudah ada 23 anak yang menunggu dan mereka duduk rapi. Tak biasanya mereka seperti itu. Suasana kelas terasa hening. Aku awali perbincangan dengan mereka untuk menanyakan perasaan mereka. Dari pojok paling belakang ada Rudi dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya.

“Baik lah anak-anak ibu akan memanggil satu per satu dan mulai dari murid yang naik kelas terlebih dahulu,” ucapku. Semua wajah anak-anak terlihat sedih, ada yang sedang berdoa, menanyakan ke temannya apakah dia layak untuk naik atau tidak, dan ada yang ketakutan. Lagi-lagi ku sengaja membuat suasana ini untuk melihat berbagai macam karakter yang akan ditimbulkan oleh mereka.

Ada sembilan anak yang belum aku panggil, tentunya di antara mereka adalah Rudi. Kesembilan orang ini lah yang masih belum menemukan cara belajar yang tepat untuk mereka. Satu per satu ku panggil untuk memberikan motivasi dan menjelaskan cara-cara yang baik untuk mereka coba ketika mereka berada di kelas VIII kelak.

Giliran terakhir adalah Rudi. “Maaf ya Rud, Ibu tidak bisa banyak membantumu, tapi Ibu mau tanya sesuatu. Boleh!!” tanyaku

“Boleh lah Bu” ujarnya sambil tertatih.

“Kalau seumpamanya Rudi naik kelas, ape yang akan Rudi lakukan?” tanyaku lagi

“Kalau kame naik, kame tak akan meninggalkan sekolah Bu ee,” ujarnya dengan suara agak mengecil.

“Rudi janji sama Ibu?” tanyku untuk meyakinkan.

“Janji Bu” katanya yang sudah mulai percaya diri untuk menjawab.

“Kalau begitu Rudi, buatkan Ibu Surat Perjanjian. Bise?” tanyaku.

Masih kelihatan Binggung dan mencoba meyakinkanku dengan jawaban “Baik Bu ee”

Surat Perjanjian

Saya berjanji tidak akan meninggalkan sekolah kecuali saya sakit keras. Jika saya meninggalkan sekolah satu hari saja, maka saya siap untuk di turunkan di kelas VII lagi.
Demikian surat perjanjian ini saya buat. Jika ada kesalahan harap dimaklumi.

Wasallam,
Rudiansyah


Ku erahkan raport yang sedari tadi aku pegang. Ekspresi wajah yang tadinya kusam bak jeruk yang masih masam kini menjadi jeruk yang rasanya begitu manis ketika melihat tanda tulisan naik ke kelas VIII.

“Terima kasih ya  Bu ee” ujarnya sambil mengambil tanganku dan menyalaminya.

“Sama-sama Rud, salam buat emak di rumah ya. Semoga 10 tahun ke depan ada perusahaan Kopra yang bernama RK di sini” ungkapku dengan senyuman lepas.

“Iya, insaallah  Bu ee. Mohon doanya supaya Rudi bisa mewujudkannya,” balasnya.

Begitulah hari-hari yang kuhabiskan di Desa Tasik selama program penempatan yang sudah berjalan delapan bulan. Menjadi wali kelas untuk pertama kalinya adalah pengalaman yang berharga.

Aku bisa belajar bahwa sebuah ketegasan itu perlu dalam hal mendidik, namun cara kita membuat mereka nyaman dengan ketegasan itulah yang menjadi PR guru. Ingat siswa bukan hanya sekedar murid yang harus diajarkan tentang apa yang mereka tidak ketahui, melainkan mereka adalah mitra guru untuk membangun negeri ini menjadi lebih baik.

*Guru Relawan SGI Dompet Dhuafa di Kubu Raya

Pewarta: Febri Reviani*

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014