Jakarta (Antara Kalbar) - Pusat Kajian Trisakti mengungkapkan bahwa terminologi penyebutan nama yang digunakan dalam Pilpres lalu yaitu pendukung Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah tidak relevan sehingga namanya harus berubah.
"Saya menyarankan per 1 Oktober 2014 ini kawan media dan penggiat demokrasi agar dalam diskusi publik apapun untuk tidak lagi menggunakan penyebutan Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat," kata Direktur Eksekutif Pusaka Trisakti Fahmi Habsyi di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan rakyat banyak mengeluh istilah Merah Putih dan Indonesia jika dibawa-dibawa kalau kemudian dipakai menggilas hak-hak konstitusinya. Pilpres sudah usai yang ada di parlemen tinggal koalisi Pendukung Prabowo-Amien (PPA) atau Pramen, dan koalisi Pendukung Jokowi-JK (PJJ) atau Jokka.
"Saya pikir terminologi Merah Putih terlalu sakral digunakan dan sudah tidak tepat lagi digunakan dalam proses "politik" yang terjadi pascapilpres. Sudah basi dan tidak nyambung spiritnya," ujar salah satu deklarator PDIP Projo.
Fahmi mengatakan publik sering mempertanyakan "Merah Putih" apa yang sedang diperjuangkan ketika sebagian "rakyat Merah Putih" sedang dirundung duka atas manuver politik elit yang coba memberangus hak-hak politiknya sebagai salah satu dari sekian banyak "akal bulus" dan "cara" yang telah disiapkan untuk memuaskan "birahi" kekecewaan karena kekalahan pilpres, walaupun itu harus berbenturan dengan hak-hak dan kepentingan publik.
"Publik sudah lihat siapa sebenarnya para "commandante" dan aktor koalisi parlemen itu. Nanti biarlah publik diakhir 2019 yang menilai partai -partai dari anggota dua koalisi diparlemen mana yang serius untuk mewujudkan Indonesia/Merah Putih yang Maju, Berkualitas dan Demokratis Bebas Mafia," demikian Fahmi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
"Saya menyarankan per 1 Oktober 2014 ini kawan media dan penggiat demokrasi agar dalam diskusi publik apapun untuk tidak lagi menggunakan penyebutan Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat," kata Direktur Eksekutif Pusaka Trisakti Fahmi Habsyi di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan rakyat banyak mengeluh istilah Merah Putih dan Indonesia jika dibawa-dibawa kalau kemudian dipakai menggilas hak-hak konstitusinya. Pilpres sudah usai yang ada di parlemen tinggal koalisi Pendukung Prabowo-Amien (PPA) atau Pramen, dan koalisi Pendukung Jokowi-JK (PJJ) atau Jokka.
"Saya pikir terminologi Merah Putih terlalu sakral digunakan dan sudah tidak tepat lagi digunakan dalam proses "politik" yang terjadi pascapilpres. Sudah basi dan tidak nyambung spiritnya," ujar salah satu deklarator PDIP Projo.
Fahmi mengatakan publik sering mempertanyakan "Merah Putih" apa yang sedang diperjuangkan ketika sebagian "rakyat Merah Putih" sedang dirundung duka atas manuver politik elit yang coba memberangus hak-hak politiknya sebagai salah satu dari sekian banyak "akal bulus" dan "cara" yang telah disiapkan untuk memuaskan "birahi" kekecewaan karena kekalahan pilpres, walaupun itu harus berbenturan dengan hak-hak dan kepentingan publik.
"Publik sudah lihat siapa sebenarnya para "commandante" dan aktor koalisi parlemen itu. Nanti biarlah publik diakhir 2019 yang menilai partai -partai dari anggota dua koalisi diparlemen mana yang serius untuk mewujudkan Indonesia/Merah Putih yang Maju, Berkualitas dan Demokratis Bebas Mafia," demikian Fahmi.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014