Jakarta (Antara Kalbar) - Kepala Bidang Pengelolaan Sumber Daya Genetik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Vidya Nalang mengatakan ikan "Latimeria menadoensis" dari kelas Coelacanth yang disebut sebagai fosil hidup belum masuk dalam daftar satwa dilindungi.
"Dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 yang masuk baru Coelacanth Afrika yang dinamakan 'Latimeria chalumnae'," kata Vidya Nalang di Jakarta, Rabu.
Meskipun belum masuk dalam daftar satwa dilindungi, secara keilmuan maupun pribadi Vidya mengatakan "Latimeria menadoensis" yang juga disebut ikan raja laut harus dilindungi dan tidak boleh ditangkap.
Namun, Peneliti Unit Pelaksana Teknis Loka Konservasi Biota Laut Bitung - Sulawesi Utara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)Teguh Peristiwady mengatakan "Latimeria Sp" sudah ada dalam daftar satwa dilindungi dunia.
"'Latimeria Sp sudah ada dalam Konvensi Perdagangan Internasional Tumbuhan dan Satwa Liar Spesies Terancam atau CITES," kata Teguh.
Coelacanth disebut juga fosil hidup karena sebelumnya telah punah. Karena itu, LIPI dan Universitas Sam Ratulangi, Manado akan bekerja sama dengan Aquamarine Fukushima (AMF) Jepang membangun pusat penelitian dan konservasi Coelacanth.
"Pada 2015 akan didirikan Coelacanth Conservation Center," tutur Peneliti Utama Pusat Penelitian Laut Dalam LIPI Augy Syahailatua.
Peneliti AMF Jepang Masamitsu Iwata mengatakan Coelacanth adalah ikan laut dalam yang "nocturnal" atau aktif di malam hari. Dia hidup di kedalaman lebih dari 150 meter di dalam gua-gua dan karang.
"Akan dibangun stasiun Coelacanth di Bitung dan Lolack untuk penelitian dan konservasi," ujarnya.
Ikan Coelacanth pertama kali ditemukan di Afrika Selatan dan dinamakan "Latimeria chalumnae" pada 1937. Sebelumnya, ditemukan fosil yang mirip dengan ikan tersebut sehingga diperkirakan telah punah.
(D018/A.F. Firman)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014