Beijing (Antara Kalbar) - "Banyak yang ingin bertemu Presiden Jokowi," kata seorang diplomat Indonesia di Beijing, suatu siang, beberapa hari sebelum pertemuan puncak Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) digelar.

Ia menambahkan, "Yang ingin bertemu tidak saja pemimpin negara besar, seperti Amerika Serikat dan Rusia, tetapi juga negara kecil."
   
Sosok Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden baru Indonesia untuk periode 2014-2019, tidak saja memberikan harapan baru bagi negara dan bangsa Indonesia, tetapi juga negara serta bangsa lain.

Beijing, menjadi awal tujuan lawatan pertama luar negeri Jokowi, yang dilantik sebagai presiden pada tanggal 20 Oktober silam. Sehari setibanya di Beijing, Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo mengadakan kunjungan kehormatan kepada Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri Tiongkok Li Keqiang.

Tak hanya memperkenalkan diri sebagai presiden baru Indonesia, dalam pertemuan dengan kedua petinggi Tiongkok itu, dibahas pula prospek hubungan serta kerja sama kedua negara yang telah menjadi mitra strategis komprehensif sejak Oktober 2013.

Hal serupa juga dilakukan Jokowi dengan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, Presiden Federasi Rusia Vladimir Putin, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, dan Presiden Vietnam Truong Tan Sang.

Tak lupa serangkaian pertemuan APEC 2014 dan pertemuan bilateralnya dengan mitranya dari empat negara itu, Jokowi mempromosikan gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan tol lautnya.

"Semua negara bertanya dan berminat tentang gagasan tol laut itu, dan megajak bekerja sama, seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan," ungkap Jokowi.

Tak hanya di Forum APEC, Presiden Jokowi menyampaikan visi maritimnya tersebut dalam Forum KTT ASEAN dan Asia Timur di Myanmar dan pertemuan G-20 di Brisbane, Australia.

Selain sosoknya yang sederhana, apa adanya, Jokowi dengan gagasan tentang poros maritimnya, telah menaikkan pamor Indonesia di forum internasional. "Semua berkepentingan dengan Indonesia," kata Presiden Jokowi.

Indonesia memang sangat strategis. Terdiri atas 17.508 pulau, bergaris pantai sejauh 54,716 kilometer atau terpanjang kedua di dunia, berada di antara dua benua Asia dan Australia serta dua samudra, yaitu Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Tak hanya secara geografis, dengan populasi terbesar keempat di dunia, yakni sekitar 245,6 juta jiwa, disertai kekuatan permintaan domestik serta investasi yang menjadi andalan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil dan terbesar di ASEAN, Indonesia diprediksi mampu menjadi salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia pada masa datang.

Dengan jumlah populasi yang besar, Indonesia juga merupakan pangsa pasar yang potensial. Dari 565 juta populasi ASEAN, Indonesia mencakup 40 persennya. Dari total PDB 1,3 triliun dolar AS, sekitar 50 persennya juga dikuasai Indonesia. Kini, Indonesia tengah berupaya menggenjot infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rata-rata 6--7 persen per tahun.

Tak heran jika dalam rangkaian lawatan pertamanya ke mancanegara, Presiden Jokowi dan gagasannya, banyak menarik perhatian pemimpin dunia lainnya, utamanya AS sebagai kekuatan global dan Tiongkok sebagai pemain global, belum lagi Rusia, Jepang, Australia, dan negara lainnya.

          
      Posisi Tawar

Didukung pertumbuhan ekonomi relatif stabil, pangsa pasar yang besar serta peran pentingnya di ASEAN, Indonesia harus memiliki posisi tawar yang lebih kuat, termasuk yang menyangkut kepentingan politik dan ekonomi nasional.

Indonesia harus mampu memperkuat posisinya sehingga Indonesia tidak sekadar menjadi pasar, tetapi juga pelaku dalam setiap ragam bentuk integrasi ekonomi regional dan internasional.

Posisi tawar yang kuat akan membuat Indonesia mampu menekan negara-negara besar, seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, untuk membuka kran pasarnya bagi produk-produk ekspor Indonesia.

Dengan begitu, ada keuntungan komparatif yang seimbang dalam wahana perdagangan bebas. Indonesia bukan negara kecil, sudah saatnya Indonesia makin memperkuat posisi tawarnya.

Bagaimanapun, apa pun bentuk dan nama integrasi ekonomi yang dibangun, selalu ada tarik menarik kepentingan antara AS sebagai kekuatan global dan Tiongkok yang kini merupakan pemain global.

Terlebih kini AS dan Tiongkok sama-sama menjadikan Asia Pasifik sebagai fokus dalam kebijakan luar negerinya. Kebijakan AS yang dikenal sebagai "pivot" penyeimbangan, kembali meningkatkan kehadiran militernya di Asia Pasifik.

Amerika Serikat memiliki kepentingan besar di Asia Pasifik, terutama sebagai jalur energinya, begitu pun Tiongkok. Salah satu jalur utama perdagangan dan energi dunia, termasuk yang digunakan AS dan Tiongkok, juga melalui wilayah kedaulatan Indonesia, di antaranya ketiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) dan Selat Malaka.

Sang kekuatan global, AS, juga berkepentingan untuk menahan laju Tiongkok yang makin percaya diri menjadi kekuatan besar di Asia tidak saja secara ekonomi dan politik luar negeri, tetapi juga militer.

Asia Pasifik, Indonesia merada di dalamnya, kini menjadi ajang perebutan pengaruh antara AS dan Tiongkok. Keduanya pun memandang strategis Indonesia. Mereka pun memberikan kepercayaan strategis kepada Indonesia untuk memainkan peran pentingnya dalam menjaga stabilitas kawasan Asia Tenggara khususnya dan Asia Pasifik umumnya.

Sebagai mitra strategis bagi AS dan Tiongkok, Indonesia seharusnya mampu meningkatkan posisi tawarnya, tidak saja politik, tetapi juga ekonomi bagi kepentingan nasional yang lebih baik.  
   
Selain bermain cantik dan cerdas, di antara kepentingan negara-negara maju tersebut, Indonesia juga harus memperkuat komitmennya melakukan perbaikan internal terlebih dahulu, terutama mengubah mental sebagai pasar, menjadi pelaku pasar, dari perilaku konsumtif menjadi produktif sehingga posisi tawar Indonesia akan makin kuat.

Pewarta: Rini Utami

Editor : Zaenal A.


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014