Jakarta (Antara Kalbar) - Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan temuan kejanggalan dalam penambahan modal oleh Lembaga Penjamin Simpanan(LPS) ke PT. Bank Mutiara sebesar Rp1,25 triliun, di antaranya temuan bahwa ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) tidak disampaikan Bank Mutiara secara transaparan.
"Posisi KPMM tidak disampaikan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya pada laporan kondisi keuangan publikasi Juni sampai dengan November 2013," kata Ketua BPK Harry Azhar Azis di sidang paripurna DPR dengan agenda "Penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2014" di Jakarta, Selasa.
Anggota BPK Achsanul Qosasi menambahkan BPK telah memberikan hasil lengkap temuan mengenai ketentuan KPMM tersebut kepada DPR.
"Keputusan politiknya ada di DPR, apakah akan dilanjutkan, dan jika ada indikasi ranah pidana, lembaga penegak hukum yang akan menindaknya," kata dia.
Achsanul menambahkan, dari alasan penambahan modal itu, BPK juga menemukan pengelolaan kredit lama, termasuk dengan upaya restrukrisasi oleh Bank Mutiara yang tidak sesuai ketentuan perbankan dari Bank Indonesia.
BPK menemukan tunggakan bunga kredit lama tersebut telah terjadi selama 12 bulan dan akhirnya membuat tingkat solvabilitas dan rentabilitas Mutiara sangat lemah. Dengan begitu, Bank Mutiara diduga tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam hal prospek usaha, kemampuan membayar dan juga agunan dari para debitur.
Restrukturisasi dan penyaluran kredit yang tidak sesuai dengan aturan perbankan itu juga, kata Achsanul yang membuat BPK menduga LPS tidak efisien dalam menangani Bank Mutiara. Selain itu, kata Achsanul, BPK menduga LPS inefisensi dalam menangani Mutiara karena pelaporan kolektibilitas kredit atas persetujuan direksi Bank Mutiara tidak sesuai ketentuan.
Lemah
Hal itu ditambah dengan implementasi tata kelola perusahaan atau "good corporate governance" masih lemah, ujar Achsanul.
Bahkan, menurut Achsanul, penambahan modal kepada Mutiara saat itu belum mempertimbangkan alternaltif lain untuk menangani Bank Mutiara, yang juga diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni penutupan Bank Mutiara.
"Kami laporkan ini semua secara detail ke parlemen termasuk semua temuan yang mengindikasikan Mutiara tidak 'prudent'," ujarnya.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyuntikkan modal kepada Bank Mutiara pada 23 Desember 2013 sebesar Rp1,25 triliun. Sekretaris LPS Samsu Adi Nugroho saat itu mengatakan penambahan modal itu untuk memenuhi peraturan BI mengenai "Internal Capital Adequacy Assessment Process" (ICAAP).
"Untuk itu, Bank Mutiara harus memenuhi ICAAP dengan rasio kecukupan modal (CAR) sekurang-kurangnya 14 persen. Dengan penambahan modal sementara ini, CAR bisa naik ke 14 persen, minimal 14 persen," kata dia.
Ia mengemukakan bahwa nilai dana penambahan modal Bank Mutiara itu berdasarkan beberapa hal, yakni pencadangan kredit macet di manajemen lama. Kemudian, penambahan modal itu juga sesuai dengan prospek usaha.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014
"Posisi KPMM tidak disampaikan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya pada laporan kondisi keuangan publikasi Juni sampai dengan November 2013," kata Ketua BPK Harry Azhar Azis di sidang paripurna DPR dengan agenda "Penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I 2014" di Jakarta, Selasa.
Anggota BPK Achsanul Qosasi menambahkan BPK telah memberikan hasil lengkap temuan mengenai ketentuan KPMM tersebut kepada DPR.
"Keputusan politiknya ada di DPR, apakah akan dilanjutkan, dan jika ada indikasi ranah pidana, lembaga penegak hukum yang akan menindaknya," kata dia.
Achsanul menambahkan, dari alasan penambahan modal itu, BPK juga menemukan pengelolaan kredit lama, termasuk dengan upaya restrukrisasi oleh Bank Mutiara yang tidak sesuai ketentuan perbankan dari Bank Indonesia.
BPK menemukan tunggakan bunga kredit lama tersebut telah terjadi selama 12 bulan dan akhirnya membuat tingkat solvabilitas dan rentabilitas Mutiara sangat lemah. Dengan begitu, Bank Mutiara diduga tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam hal prospek usaha, kemampuan membayar dan juga agunan dari para debitur.
Restrukturisasi dan penyaluran kredit yang tidak sesuai dengan aturan perbankan itu juga, kata Achsanul yang membuat BPK menduga LPS tidak efisien dalam menangani Bank Mutiara. Selain itu, kata Achsanul, BPK menduga LPS inefisensi dalam menangani Mutiara karena pelaporan kolektibilitas kredit atas persetujuan direksi Bank Mutiara tidak sesuai ketentuan.
Lemah
Hal itu ditambah dengan implementasi tata kelola perusahaan atau "good corporate governance" masih lemah, ujar Achsanul.
Bahkan, menurut Achsanul, penambahan modal kepada Mutiara saat itu belum mempertimbangkan alternaltif lain untuk menangani Bank Mutiara, yang juga diatur dalam peraturan perundang-undangan yakni penutupan Bank Mutiara.
"Kami laporkan ini semua secara detail ke parlemen termasuk semua temuan yang mengindikasikan Mutiara tidak 'prudent'," ujarnya.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyuntikkan modal kepada Bank Mutiara pada 23 Desember 2013 sebesar Rp1,25 triliun. Sekretaris LPS Samsu Adi Nugroho saat itu mengatakan penambahan modal itu untuk memenuhi peraturan BI mengenai "Internal Capital Adequacy Assessment Process" (ICAAP).
"Untuk itu, Bank Mutiara harus memenuhi ICAAP dengan rasio kecukupan modal (CAR) sekurang-kurangnya 14 persen. Dengan penambahan modal sementara ini, CAR bisa naik ke 14 persen, minimal 14 persen," kata dia.
Ia mengemukakan bahwa nilai dana penambahan modal Bank Mutiara itu berdasarkan beberapa hal, yakni pencadangan kredit macet di manajemen lama. Kemudian, penambahan modal itu juga sesuai dengan prospek usaha.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014