Pontianak (Antara Kalbar) - Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Sony Partono menyatakan, UU No. 5/1990 tentang Konservasi Alam Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, perlu direvisi karena tidak mengatur hukuman minimal untuk pelanggar.

Dampak dari keadaan itu, sehingga tidak memberikan efek jera, kata Sony Partono saat menghadiri pemusnahan barang bukti hewan dilindungi sitaan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, di Pontianak, Kamis.

"Dengan tidak mengatur hukuman minimal untuk pelanggar UU No. 5/1990, maka menyebabkan ada celah hukum sehingga pelanggar dihukum ringan," ujarnya.

Ia menjelaskan, UU No. 5/1990 memang sudah lama, sehingga sudah waktunya direvisi agar memberikan efek jera bagi para pelanggarnya.

Ia mencontohkan, hukuman pada pelaku penyelundup bagian tubuh satwa dilindungi, terdakwa Among, yang barang bukti tindak kejahatannya dimusnahkan relatif ringan, terdakwa hanya dijatuhi vonis delapan bulan kurungan, denda Rp10 juta, dan subsider dua bulan.

Sony berharap media dapat mengkritisi terhadap putusan-putusan ringan yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap pelaku kejahatan sumber daya alam.

"Apalagi terhadap pelaku kejahatan sumber daya alam, yang dampaknya bisa mempengaruhi ekosistem dan keberlangsungan hidup satwa endemik langka di Indonesia," ucapnya.

BKSDA Kalbar, Kamis siang, telah memusnahkan ratusan paruh burung Enggang Gading dan bagian tubuh hewan yang dilindungi yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

"Hari ini kami memusnahkan barang-barang temuan dan sitaan oleh BKSDA Kalbar. Satu diantaranya barang bukti dari kasus yang sudah incrah di PN Pontianak dengan terdakwa Among, dari kasus kepemilikan dari bagian-bagian satwa yang dilindungi," kata Kepala Unit Penyidikan SPORC Kalbar Brigade Bekantan, Muhammad Dedi Hardiniyanto.

Terdakwa Among penampung besar bagian-bagian satwa yang dilindungi di Kabupaten Melawi. Sudah dilakukan pengintaian pada tahun 2012 hingga 2013, dan baru terungkap tahun 2013, katanya.

"April 2013, kami berhasil menangkap tangan Among, dan menemukan barang bukti di rumahnya sebanyak 229 paruh burung Enggang Gading, 27 kilogram sisik teringgiling, kuku dan hati beruang madu, dan kami juga menyita dua buah timbangan milik terdakwa," ungkap Dedi.

Menurut Dedi, satu paruh Enggang harga jualnya di luar bisa menembus Rp2 juta hingga Rp3 juta, sehingga sangat besar pengaruhnya terhadap kelestarian satwa yang dilindungi karena terus diburu untuk ambil paruhnya oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Data SPORC Kalbar mencatat sudah lebih dari 10 kasus perdagangan satwa liar yang mereka tangani. "Tahun 2013 kami menangani dua kasus, atau mengalami penurunan apabila dibanding tahun-tahun sebelumnya," katanya.

Menurut dia, kualitas paruh burung Enggang Gading sama dengan gading gajah sehingga banyak diburu untuk dijadikan aksesori bernilai tinggi di luar. 

(A057/F003)

Pewarta: Andilala

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2014