Jakarta (Antara Kalbar) - Pemerintah akan melibatkan perguruan tinggi untuk menguji produk ber-Standar Nasional Indonesia (SNI) agar dapat menekan biaya uji produk yang selama ini dinilai mahal oleh pelaku usaha.
"Kami akan mendorong universitas untuk melakukan penelitian terhadap produk yang terstandarisasi tentunya melalui kerja sama dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN)," kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M Nasir saat melepas jalan santai keluarga Badan Standardisasi Nasional (BSN), Minggu.
Ia mengatakan produk yang sudah terstandarisasi itu diperlukan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sekaligus untuk melindungi kepentingan masyarakat sehingga semua produk harus mengantongi sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI).
Bagi produsen yang tidak memenuhi standar SNI, pemerintah akan mengambil tindakan tegas baik sanksi administrasi maupun sanksi yuridis. "Semua produk yang ditujukan untuk publik harus mengantongi sertifikat SNI. Ini syarat wajib," tambahnya.
Nasir mengatakan bahwa syarat SNI tersebut berlaku tidak hanya untuk produk lokal tetapi produk-produk impor pun harus memiliki standar yang jelas untuk bisa dipasarkan di Indonesia.
Menurut Nasir dengan diterapkannya persyaratan SNI tersebut maka masyarakat akan terlindungi dari ekses negatif penggunaan produk yang digunakan. Sebab SNI adalah sebuah standar yang harus dipenuhi produsen untuk memasarkan produknya yang aman bagi masyarakat. Â
  Â
"Di pasaran memang ada banyak industri yang mencoba mengakali dengan menempelkan cap atau stiker," katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Prasetya mengatakan, Kemenristek Dikti sudah berkomitmen dan mengimbau perguruan tinggi negeri (PTN) untuk memberikan fasilitas laboratoriumnya dipakai uji produk.
"Nanti BSN akan berkonsolidasi kembali untuk menentukan PTN mana yang bisa menjadi rujukan," katanya.  Â
  Â
Bambang menambahkan, sebetulnya tidak hanya PTN yang akan dimintai kerja sama namun perguruan tinggi swasta juga akan diikutsertakan mengingat jumlah sekitar 3.000 PTS juga pasti memiliki laboratorium canggih.
Dikatakannya, Kementerian Perdagangan juga mendukung rencana ini sebab akan membuat biaya pengujian produk menjadi lebih murah. Bagi pengusaha kecil, rumah tangga dan mikro yang bermodal kecil banyak yang tidak mampu melakukan uji produk karena biayanya yang tinggi.
Padahal disisi lain pemerintah sudah mengeluarkan UU No 20/2014 tentang Standarisasi dan Penilaian Kesesuaian dimana produk yang tidak ber SNI akan kena denda dan hukuman penjara.
"Dendanya bisa sampai Rp1 miliar," katanya.
Lebih lanjut Bambang mengatakan selain peran laboratorium PTN juga akan bekerjasama dengan pemerintah membantu sosialisasi produk berSNI ke masyarakat.
Selain itu pemerintah ingin membuat kurikulum pengajaran tentang uji dan sertifikasi produk dengan meminta saran akademis dari penyelenggara perguruan tinggi.
"Menghadapi MEA ini seluruh masyarakat harus tahu tentang standar produk. Tidak hanya produk local berSNI namun produk impor juga harus terstandar dengan baik," tambahnya.
Ia mengatakan sekarang ini banyak produk berSNI palsu. Disebut palsu, karena mereka asal temple stiker saja tapi standarnya tidak sesuai spesifikasi yang disyaratkan. Sebagai contoh helm-helm yang dijual dipasaran banyak yang asal menempel stiker SNI.
(Z003/Subagyo)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
"Kami akan mendorong universitas untuk melakukan penelitian terhadap produk yang terstandarisasi tentunya melalui kerja sama dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN)," kata Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) M Nasir saat melepas jalan santai keluarga Badan Standardisasi Nasional (BSN), Minggu.
Ia mengatakan produk yang sudah terstandarisasi itu diperlukan untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sekaligus untuk melindungi kepentingan masyarakat sehingga semua produk harus mengantongi sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI).
Bagi produsen yang tidak memenuhi standar SNI, pemerintah akan mengambil tindakan tegas baik sanksi administrasi maupun sanksi yuridis. "Semua produk yang ditujukan untuk publik harus mengantongi sertifikat SNI. Ini syarat wajib," tambahnya.
Nasir mengatakan bahwa syarat SNI tersebut berlaku tidak hanya untuk produk lokal tetapi produk-produk impor pun harus memiliki standar yang jelas untuk bisa dipasarkan di Indonesia.
Menurut Nasir dengan diterapkannya persyaratan SNI tersebut maka masyarakat akan terlindungi dari ekses negatif penggunaan produk yang digunakan. Sebab SNI adalah sebuah standar yang harus dipenuhi produsen untuk memasarkan produknya yang aman bagi masyarakat. Â
  Â
"Di pasaran memang ada banyak industri yang mencoba mengakali dengan menempelkan cap atau stiker," katanya.
Sementara itu, Kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN) Bambang Prasetya mengatakan, Kemenristek Dikti sudah berkomitmen dan mengimbau perguruan tinggi negeri (PTN) untuk memberikan fasilitas laboratoriumnya dipakai uji produk.
"Nanti BSN akan berkonsolidasi kembali untuk menentukan PTN mana yang bisa menjadi rujukan," katanya.  Â
  Â
Bambang menambahkan, sebetulnya tidak hanya PTN yang akan dimintai kerja sama namun perguruan tinggi swasta juga akan diikutsertakan mengingat jumlah sekitar 3.000 PTS juga pasti memiliki laboratorium canggih.
Dikatakannya, Kementerian Perdagangan juga mendukung rencana ini sebab akan membuat biaya pengujian produk menjadi lebih murah. Bagi pengusaha kecil, rumah tangga dan mikro yang bermodal kecil banyak yang tidak mampu melakukan uji produk karena biayanya yang tinggi.
Padahal disisi lain pemerintah sudah mengeluarkan UU No 20/2014 tentang Standarisasi dan Penilaian Kesesuaian dimana produk yang tidak ber SNI akan kena denda dan hukuman penjara.
"Dendanya bisa sampai Rp1 miliar," katanya.
Lebih lanjut Bambang mengatakan selain peran laboratorium PTN juga akan bekerjasama dengan pemerintah membantu sosialisasi produk berSNI ke masyarakat.
Selain itu pemerintah ingin membuat kurikulum pengajaran tentang uji dan sertifikasi produk dengan meminta saran akademis dari penyelenggara perguruan tinggi.
"Menghadapi MEA ini seluruh masyarakat harus tahu tentang standar produk. Tidak hanya produk local berSNI namun produk impor juga harus terstandar dengan baik," tambahnya.
Ia mengatakan sekarang ini banyak produk berSNI palsu. Disebut palsu, karena mereka asal temple stiker saja tapi standarnya tidak sesuai spesifikasi yang disyaratkan. Sebagai contoh helm-helm yang dijual dipasaran banyak yang asal menempel stiker SNI.
(Z003/Subagyo)
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015