Jakarta (Antara Kalbar) - Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendesak agar peringatan ke-60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) dapat memperkuat diplomasi antarmasyarakat (people to people diplomacy).

"Peringatan ke-60 tahun KAA ini kelihatannya jauh dari organisasi-organisasi rakyat, yang ada malah perusahaan-perusahaan transnasional yang ingin memperluas pasar bisnisnya," kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam acara Konferensi Rakyat Asia Afrika di Galeri Nasional, Jakarta, Sabtu.

Dalam acara tersebut disimpulkan bahwa krisis multidimensi global yang terjadi baik itu dalam masalah pangan, energi, dan ekonomi, disebabkan oleh model kerja sama ekonomi yang dibangun berdasarkan mekanisme pasar dan menghilangkan fungsi serta tanggung jawab negara dalam menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya.

"Kendali politik dan ekonomi tidak lagi di bawah kedaulatan negara melainkan berada dalam keputusan-keputusan bisnis," ujar Sugeng.

Menurut dia, negara hanya bertugas melegitimasi aktivitas buruk bisnis korporasi melalui kebijakan dan peraturan perundang-undangan.

Untuk itu, katanya, konsepsi kerja sama yang dibangun dalam KAA seharusnya kembali menegaskan penghapusan model-model kerja sama ekonomi yang bersifat eksploitatif, perampasan hak asasi, dan marjinalisasi kelompok minoritas
   
"Penyelesaian konflik dan kekerasan, pelanggaran dan pemulihan HAM, pemulihan lingkungan dan SDA, serta demokratisasi pengambilan keputusan harus ditempatkan sebagai prioritas kerja sama KAA," kata dia.  
   
Sependapat dengan Sugeng, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Sugeng Bahagijo menuturkan beberapa rekomendasi untuk menguatkan "people to people diplomacy" sebagai jawaban atas penyelesaian segala masalah yang melingkupi negara-negara Asia Afrika.

"Rakyat Asia Afrika harus mengambil kembali kendali dan perannya atas pengambilan keputusan publik di negara masing-masing," ujarnya.

Melalui pengambilan kontrol tersebut, maka kedaulatan negara yang semula direnggut oleh kendali korporasi dapat kembali ke tangan rakyat.

Selain itu, katanya, negara dan korporasi harus dituntut bertanggung jawab atas perusakan SDA dan perampasan HAM akibat aktivitas bisnisnya.

Peringatan ke-60 tahun KAA juga diharapkan dapat menyerukan upaya internasional untuk menjawab tantangan atas konflik-konflik bersenjata, termasuk pengungsian, pencucian uang, pembunuhan dan kelaparan.

Yang tidak kalah penting, koalisi masyarakat sipil mengharapkan konferensi tersebut harus dapat mendesak negara-negara Asia Afrika untuk menjalankan model pembangunan yang berbasis keadilan sosial dan pemenuhan HAM.

Selain SPI dan INFID, LSM lain yang turut berpartisipasi dalam perumusan rekomendasi untuk penyelenggaraan peringatan ke-60 tahun KAA tersebut adalah Indonesia for Global Justice, Kruha, Bina Desa, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), KontraS, Migrant Care, Walhi, Jatam, Sawit Watch, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), dan Lingkar Studi Aksi untuk Demokrasi Indonesia (LS-ADI).

Peringatan tersebut bersamaan dengan 10 tahun Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika (NAASP) yang akan dilaksanakan pada 19-24 April 2015 di Jakarta dan Bandung, Jawa Barat.

Sebanyak 109 negara diundang dalam acara yang mengusung tema "Memperkuat Kerja Sama Selatan-Selatan" tersebut.

Tak kurang dari 35 kepala negara/pemerintahan menyatakan hadir, antara lain Presiden Sudan, Raja Swaziland, Presiden Vietnam, Presiden Tiongkok, Presiden Srilanka, Presiden Iran, Presiden Mozambik, Perdana Menteri Kamboja, Perdana Menteri Singapura, dan Pemimpin Mahkamah Tertinggi Korea Utara.
 
(Y013/M. Anthoni)

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani

Editor : Nurul Hayat


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015