Putussibau (Antara Kalbar) - Tawaran mediasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam penyelesaian sengketa tanah untuk pengembangan pusat pemerintahan Kabupaten Kapuas Hulu di Desa Pala Pulau ditentang oleh Tri Tugastanto, perwakilan Suku Dayak Iban selaku ahli waris, pemilik lahan sebelum dijual ke Pemkab Kapuas Hulu.
"Ini tidak tepat, karena dari awal pembebasan tanah ini duduk di dalam panitia 9, ada Kepala Kantor BPN M Arifin dan Kasi HTPT Ignatius Martin, serta dibantu Febri Evansyah selaku Kasi Pengukuran dan Pemetaan tahun 2006 lalu," kata Tri Tugastanto di Putussibau, Selasa
Menurutnya, upaya mediasi hanya bertujuan menghilangkan pidana dalam kasus ini serta menyelamatkan oknum BPN yang terlibat dalam penerbitan 9 sertifikat tersebut.
Pernyataan Kepala BPN Kapuas Hulu HM Rum yang menyebutkan pihak Pemda tidak pernah menyampaikan surat pengantar permohonan pengukuran tanah diatas 10 hektare ke Kanwil BPN Kalbar itu hanya sebuah alasan untuk mengalihkan kewenangan sehingga BPN setempat terkesan mau cuci tangan.
Ia mengingatkan, jika perbuatan seperti itu selalu ditolerir, maka ke depan akan lebih banyak terbit sertifikat yang tidak jelas seperti sekarang. "Bukan tidak mungkin juga nantinya Kantor Polres, Kantor Kejaksaan dan Kantor Pengadilan akan diterbitkan sertifikat oleh para mafia tanah yang bekerjasama dengan oknum BPN," ujar dia.
Ditambahkan Tri, untuk membuktikan penerbitan 9 sertifikat itu cacat administrasi diantaranya, surat ukur kedua buku tanah tersebut tertanggal 18 Juli 2010, yang mana tanggal tersebut adalah hari libur.
Kemudian sertifikat atas nama Seriang, Hendrikus dan Yuliana, surat ukur ketiga sertifikat ini terbit pada hari libur yaitu 28 Desember 2008. Sementara untuk sertifikat atas nama Sawing Narang dan Agustinus Sawing Narang tidak teregister pada Kantor BPN.
"Sesuai dengan data yang kami miliki, buku tanah yang terarsip di Kantor BPN, dari 9 buku hanya 2 buku tanah yang ada tandatangan Kepala Kantor yaitu milik Novelius Yudhi Hardi dan Theresia Tena, tetapi apakah ini asli tandatangan Kepala Kantor BPN, karena berdasarkan data yang kami miliki kepala BPN saat itu tidak pernah menandatangani ke-9 sertifikat tersebut," papar Tri.
Ia meminta aparat penegak hukum jeli dalam mengusut masalah ini karena jika tidak sulit untuk menemukan tindak pidananya.
Tri menilai, penerbitan 9 sertifikat diatas tanah Pemda Kapuas Hulu itu patut dipertanyakan karena lahan tersebut sudah dibebaskan Pemkab tahun 2006 lalu dan sudah diregistrasi di Bagian Tata Usaha Kantor BPN Kapuas Hulu pada April tahun 2008.
"Lalu kemudian terbit 9 sertifikat hak milik di atas tanah tersebut pada tahun 2008, 2010 dan 2011 atas nama pihak-pihak lain. Jadi semuanya sudah tidak sesuai aturan. Dimana permohonannya tanpa melalui dan tidak diketahui oleh Kasi HTPT yang saat itu dijabat Hermanto dan Sekretaris Panitia “A†yang waktu itu dijabat oleh Suryadarma, sesuai keterangan Febri Evansyah selaku Kasi Pengukuran dan Pemetaan pada saat itu," bebernya.
Untuk itu, ia menegaskan, pihak BPN jangan cuci tangan dan jangan menyalahkan pihak Pemda.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
"Ini tidak tepat, karena dari awal pembebasan tanah ini duduk di dalam panitia 9, ada Kepala Kantor BPN M Arifin dan Kasi HTPT Ignatius Martin, serta dibantu Febri Evansyah selaku Kasi Pengukuran dan Pemetaan tahun 2006 lalu," kata Tri Tugastanto di Putussibau, Selasa
Menurutnya, upaya mediasi hanya bertujuan menghilangkan pidana dalam kasus ini serta menyelamatkan oknum BPN yang terlibat dalam penerbitan 9 sertifikat tersebut.
Pernyataan Kepala BPN Kapuas Hulu HM Rum yang menyebutkan pihak Pemda tidak pernah menyampaikan surat pengantar permohonan pengukuran tanah diatas 10 hektare ke Kanwil BPN Kalbar itu hanya sebuah alasan untuk mengalihkan kewenangan sehingga BPN setempat terkesan mau cuci tangan.
Ia mengingatkan, jika perbuatan seperti itu selalu ditolerir, maka ke depan akan lebih banyak terbit sertifikat yang tidak jelas seperti sekarang. "Bukan tidak mungkin juga nantinya Kantor Polres, Kantor Kejaksaan dan Kantor Pengadilan akan diterbitkan sertifikat oleh para mafia tanah yang bekerjasama dengan oknum BPN," ujar dia.
Ditambahkan Tri, untuk membuktikan penerbitan 9 sertifikat itu cacat administrasi diantaranya, surat ukur kedua buku tanah tersebut tertanggal 18 Juli 2010, yang mana tanggal tersebut adalah hari libur.
Kemudian sertifikat atas nama Seriang, Hendrikus dan Yuliana, surat ukur ketiga sertifikat ini terbit pada hari libur yaitu 28 Desember 2008. Sementara untuk sertifikat atas nama Sawing Narang dan Agustinus Sawing Narang tidak teregister pada Kantor BPN.
"Sesuai dengan data yang kami miliki, buku tanah yang terarsip di Kantor BPN, dari 9 buku hanya 2 buku tanah yang ada tandatangan Kepala Kantor yaitu milik Novelius Yudhi Hardi dan Theresia Tena, tetapi apakah ini asli tandatangan Kepala Kantor BPN, karena berdasarkan data yang kami miliki kepala BPN saat itu tidak pernah menandatangani ke-9 sertifikat tersebut," papar Tri.
Ia meminta aparat penegak hukum jeli dalam mengusut masalah ini karena jika tidak sulit untuk menemukan tindak pidananya.
Tri menilai, penerbitan 9 sertifikat diatas tanah Pemda Kapuas Hulu itu patut dipertanyakan karena lahan tersebut sudah dibebaskan Pemkab tahun 2006 lalu dan sudah diregistrasi di Bagian Tata Usaha Kantor BPN Kapuas Hulu pada April tahun 2008.
"Lalu kemudian terbit 9 sertifikat hak milik di atas tanah tersebut pada tahun 2008, 2010 dan 2011 atas nama pihak-pihak lain. Jadi semuanya sudah tidak sesuai aturan. Dimana permohonannya tanpa melalui dan tidak diketahui oleh Kasi HTPT yang saat itu dijabat Hermanto dan Sekretaris Panitia “A†yang waktu itu dijabat oleh Suryadarma, sesuai keterangan Febri Evansyah selaku Kasi Pengukuran dan Pemetaan pada saat itu," bebernya.
Untuk itu, ia menegaskan, pihak BPN jangan cuci tangan dan jangan menyalahkan pihak Pemda.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015