Pontianak (Antara Kalbar) - Kita dapat mengambil contoh, berupa pemungutan pajak restoran dan hiburan. UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD, UU Nomor 28/2009) tidak menetapkan besarnya tarif pajak restoran dan hiburan suatu daerah, namun menentukan batas tarif pajak tertinggi yang dapat dipungut daerah.
    
Untuk tarif pajak restoran, Pasal 40 Ayat (1) UU PDRD menentukan batas tertinggi 10 %. Sedangkan sesuai pengaturan Pasal 45 Ayat (1) UU PDRD, tarif pajak hiburan tertinggi ditentukan sebesar 35 %.
    
Karena berdasar Pasal 45 Ayat (1) dan Pasal 40 Ayat (2) UU PDRD baik tarif pajak hiburan maupun tarif pajak restoran harus ditetapkan Peraturan Daerah (PERDA), maka pemungutan pajaknya merujuk pada PERDA tiap-tiap daerah untuk mengetahui besarnya tarif pajak tersebut.
    
Sebagai contoh, dapat disimak pemungutan pajak restoran dan hiburan di DKI Jakarta. Sebagai pemerintah daerah setingkat daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berhak untuk memungut pajak hiburan.
    
Khusus untuk DKI Jakarta, besarnya tarif pajak restoran ditetapkan sebesar 10 % berdasarkan Pasal 7 PERDA DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 2011. Sedangkan untuk besarnya tarif pajak hiburan menurut Pasal 7 PERDA DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2015 adalah seperti berikut:

    1. Tarif pajak untuk pertunjukan film di bioskop ditetapkan sebesar 10%;
    2. Tarif pajak untuk pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0%;
    3. Tarif pajak untuk pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana yang berkelas nasional sebesar 5%;
    4. Tarif pajak untuk pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana yang berkelas internasional sebesar 15%;
    5. Tarif pajak untuk kontes kecantikan yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0%;
    6. Tarif pajak untuk kontes kecantikan yang berkelas nasional sebesar 5%;
    7. Tarif pajak untuk kontes kecantikan yang berkelas internasional sebesar 15%;
    8. Tarif pajak untuk pameran yang bersifat non komersial sebesar 0%;
    9. Tarif pajak untuk pameran yang bersifat komersial sebesar 10%;
    10. Tarif pajak untuk diskotik, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan Disc Jockey (DJ) dan sejenisnya sebesar 25%;
    11. Tarif pajak untuk sirkus, akrobat, dan sulap yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0%;
    12. Tarif pajak untuk sirkus, akrobat, dan sulap yang berkelas nasional dan internasional sebesar 10%;
    13. Tarif pajak untuk permainan bilyar, bowling sebesar 10%;
    14. Tarif pajak untuk pacuan kuda yang berkelas lokal/tradisional sebesar 5%;
    15. Tarif pajak untuk pacuan kuda yang berkelas nasional dan tradisional sebesar 15%;
    16. Tarif pajak untuk pacuan kendaraan bermotor sebesar 15%;
    17. Tarif pajak untuk permainan ketangkasan sebesar 10%;
    18. Tarif pajak untuk panti pijat, mandi uap dan spa sebesar 35%;
    19. Tarif pajak untuk refleksi dan Pusat Kebugaran/Fitness Center sebesar 10%;
    20. Tarif pajak untuk pertandingan olahraga yang berkelas lokal/tradisional sebesar 0%;
    21. Tarif pajak untuk pertandingan olahraga yang berkelas nasional sebesar 5%;
    22. Tarif pajak untuk pertandingan olahraga yang berkelas internasional sebesar 15%.
   
Berdasarkan dari berbagai pajak daerah yang sudah dipungut oleh Pemerintah Daerah tersebut, Pemerintah Pusat, dalam hal ini melalui kewenangan yang diberikan kepada Menteri Keuangan, menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2015 sebagai penegasan dibebaskannya PPN atas jasa-jasa yang diantaranya sudah dipungut Pajak Daerah.
    
Tentunya menarik untuk mencermati kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang menerapkan tarif tertinggi sebesar 35% untuk panti pijat, mandi uap dan spa; serta tarif yang cukup tinggi sebesar 25% untuk diskotik, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan Disc Jockey (DJ) dan sejenisnya. Tentunya hal ini dapat dipandang sebagai upaya Pemprov DKI Jakarta untuk membatasi pelaku usaha atas jasa-jasa tersebut.
    
Dengan mencermati berbagai fakta di atas, konflik atas terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.010/2015 sudah selayaknya diakhiri. Hal ini juga mempertimbangkan bahwa semua pelaku usaha, baik badan maupun orang pribadi masih diwajibkan untuk membayar PPh. Besaran tarif PPh badan diatur flat sebesar 25% dari keuntungan. Sedangkan besaran tarif PPh orang pribadi bersifat progresif 5%-30% dari keuntungan.
    
Mengingat peran vitalnya pajak bagi pembangunan, serta sebagai salah satu wujud bela negara, sudah selayaknya kita wujudkan masyarakat yang sadar dan peduli pajak, karena #PajakMilikBersama.

Pewarta: Ditjen Pajak

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015