Pontianak (Antara Kalbar) - Perjalanan hidup seseorang memang sulit ditebak. Denny Kersa, semula bisnisnya bergerak di perusahaan infrastruktur telekomunikasi. Ia bahkan sempat lolos bekerja di sebuah perusahaan asal Perancis. Namun ia memilih untuk tetap di Indonesia seperti permintaan sang istri yang baru dinikahinya pada masa itu.
Hidup pun bergulir. Ia akhirnya memilih bergerak di usaha kerajinan tangan di Pontianak. Saat ditemui di Pontianak, pekan lalu, sisa-sisa ketangguhannya sebagai pekerja keras, masih terlihat. Kecelakaan hebat yang terjadi beberapa tahun lalu yang akhirnya membuat Denny mengalah. Kedua kakinya dipasang “penâ€. Ia pun harus mengurangi kegiatan serta tidak lagi mengangkat beban yang berat.
Denny memang bukan asli Kalbar. Ia berasal dari kota kembang, Bandung. Namun sudah puluhan tahun ia menetap di Kalbar. Bermula ketika sekitar tahun 1974 ia sudah mulai datang ke Kalimantan. Saat itu, ia bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi. Tugasnya, memasang infrastruktur pendukung seperti kabel dan lainnya.
Ia sempat akan ditarik ke Perumtel, cikal bakal PT Telkom. Namun karena gaji di perusahaan plat merah tersebut pada masa itu kecil, ia memilih usaha sendiri di Bandung. Bidang kerjanya pun tidak jauh-jauh dari infrastruktur telekomunikasi.
"Dulu sempat juga pendidikan di luar negeri, lalu ikut proyek di Arab Saudi, di Mekkah dan Madinah selama 8 bulan, sebelum kembali ke Tanah Air," ungkap dia.
Ia menolak ketika hendak ditarik lagi untuk bekerja di Arab Saudi dan menikah di Pontianak. Setelah batal bekerja di perusahaan Perancis, ia sempat pula ke Nurtanio (PT Dirgantara Indonesia).
Lalu, tahun 1980-an, ia kembali ke Pontianak. Dengan modal yang ada, ia berencana membuka usaha genteng, batu bata, dan minyak goreng. Namun harapannya pupus. Karakteristik Kalbar berbeda dengan tempat asalnya. Pada masa itu, genteng dan bata adalah hal yang tidak lazim mengingat stok kayu yang sangat berlimpah.
Denny tidak berputus asa. Ia terus mencari peluang. Termasuk bergabung dengan komunitas warga asal Bandung. Ia kemudian mencoba peruntungan ke negeri jiran, Malaysia. Ternyata di Malaysia, barang antik dan kerajinan tangan berpeluang besar.
Ia melihat bahwa meski terlihat antik, namun produk yang dijual disana merupakan produksi baru. "Dan ini laris di Malaysia," ujar dia.
Tahun 1994 itulah ia memutuskan untuk berkecimpung di bidang kerajinan tangan. Ia pun berkeliling Sarawak, Singapura, serta ke Semenanjung. Barang kerajinan yang ia bawa, menjadi jaminan atas kualitas. Selama beberapa tahun ia rajin berjualan ke negara tetangga. Sampai akhirnya ia mengalami musibah di jembatan Kapuas Pontianak.
Kedua kakinya harus dipasang pen. Aktivitasnya pun berkurang drastis.
Sementara persaingan di bidang kerajinan tangan semakin kuat. Sejumlah anak buahnya, ikut membuka jalur sendiri penjualan di Malaysia.
Denny memilih untuk tetap bertahan di Pontianak. Baginya, masih ada peluang untuk berbisnis. Semakin mudahnya arus barang dan jasa ke Kalbar, ikut menambah ketatnya persaingan. "Dulu, ekspedisi susah, saingan sedikit. Boleh dibilang, sebagian besar kerajinan tangan yang ada, dari saya. Tapi sekarang sudah berubah," kata pria tiga anak yang usianya lebih dari 60 tahun ini.
Ia pun tak ingin terjebak dalam keindahan masa lalu. Meski kerajinan tangan tetap pilihan utama, ia bergerak di bidang lainnya. Ia juga bergabung dalam Inkubator Bisnis Bank Indonesia Perwakilan Kalbar angkatan ke-4. Ia sering berkreasi misalnya membuat perangkat tikus, menyediakan pengupas tempe, pengering makanan dan sebagainya.
Asap yang menyelimuti Kalbar selama beberapa bulan terakhir ikut mempengaruhi penjualan kerajinan tangan Denny. Diperburuk dengan kondisi ekonomi yang tengah terpuruk, omset penjualannya turun.
Jika sebelumnya dalam sebulan bisa meraup puluhan juta rupiah, kini dibawah Rp10 juta per bulan. Sebanyak 20 karyawan sejak Ramadhan lalu tidak lagi dipekerjakan karena permintaan yang minim.
Seiring turunnya hujan dan berkurangnya asap, ia berharap Pontianak kembali ramai. Even-even besar diharapkan pula terus bergulir hingga akhir tahun.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015
Hidup pun bergulir. Ia akhirnya memilih bergerak di usaha kerajinan tangan di Pontianak. Saat ditemui di Pontianak, pekan lalu, sisa-sisa ketangguhannya sebagai pekerja keras, masih terlihat. Kecelakaan hebat yang terjadi beberapa tahun lalu yang akhirnya membuat Denny mengalah. Kedua kakinya dipasang “penâ€. Ia pun harus mengurangi kegiatan serta tidak lagi mengangkat beban yang berat.
Denny memang bukan asli Kalbar. Ia berasal dari kota kembang, Bandung. Namun sudah puluhan tahun ia menetap di Kalbar. Bermula ketika sekitar tahun 1974 ia sudah mulai datang ke Kalimantan. Saat itu, ia bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi. Tugasnya, memasang infrastruktur pendukung seperti kabel dan lainnya.
Ia sempat akan ditarik ke Perumtel, cikal bakal PT Telkom. Namun karena gaji di perusahaan plat merah tersebut pada masa itu kecil, ia memilih usaha sendiri di Bandung. Bidang kerjanya pun tidak jauh-jauh dari infrastruktur telekomunikasi.
"Dulu sempat juga pendidikan di luar negeri, lalu ikut proyek di Arab Saudi, di Mekkah dan Madinah selama 8 bulan, sebelum kembali ke Tanah Air," ungkap dia.
Ia menolak ketika hendak ditarik lagi untuk bekerja di Arab Saudi dan menikah di Pontianak. Setelah batal bekerja di perusahaan Perancis, ia sempat pula ke Nurtanio (PT Dirgantara Indonesia).
Lalu, tahun 1980-an, ia kembali ke Pontianak. Dengan modal yang ada, ia berencana membuka usaha genteng, batu bata, dan minyak goreng. Namun harapannya pupus. Karakteristik Kalbar berbeda dengan tempat asalnya. Pada masa itu, genteng dan bata adalah hal yang tidak lazim mengingat stok kayu yang sangat berlimpah.
Denny tidak berputus asa. Ia terus mencari peluang. Termasuk bergabung dengan komunitas warga asal Bandung. Ia kemudian mencoba peruntungan ke negeri jiran, Malaysia. Ternyata di Malaysia, barang antik dan kerajinan tangan berpeluang besar.
Ia melihat bahwa meski terlihat antik, namun produk yang dijual disana merupakan produksi baru. "Dan ini laris di Malaysia," ujar dia.
Tahun 1994 itulah ia memutuskan untuk berkecimpung di bidang kerajinan tangan. Ia pun berkeliling Sarawak, Singapura, serta ke Semenanjung. Barang kerajinan yang ia bawa, menjadi jaminan atas kualitas. Selama beberapa tahun ia rajin berjualan ke negara tetangga. Sampai akhirnya ia mengalami musibah di jembatan Kapuas Pontianak.
Kedua kakinya harus dipasang pen. Aktivitasnya pun berkurang drastis.
Sementara persaingan di bidang kerajinan tangan semakin kuat. Sejumlah anak buahnya, ikut membuka jalur sendiri penjualan di Malaysia.
Denny memilih untuk tetap bertahan di Pontianak. Baginya, masih ada peluang untuk berbisnis. Semakin mudahnya arus barang dan jasa ke Kalbar, ikut menambah ketatnya persaingan. "Dulu, ekspedisi susah, saingan sedikit. Boleh dibilang, sebagian besar kerajinan tangan yang ada, dari saya. Tapi sekarang sudah berubah," kata pria tiga anak yang usianya lebih dari 60 tahun ini.
Ia pun tak ingin terjebak dalam keindahan masa lalu. Meski kerajinan tangan tetap pilihan utama, ia bergerak di bidang lainnya. Ia juga bergabung dalam Inkubator Bisnis Bank Indonesia Perwakilan Kalbar angkatan ke-4. Ia sering berkreasi misalnya membuat perangkat tikus, menyediakan pengupas tempe, pengering makanan dan sebagainya.
Asap yang menyelimuti Kalbar selama beberapa bulan terakhir ikut mempengaruhi penjualan kerajinan tangan Denny. Diperburuk dengan kondisi ekonomi yang tengah terpuruk, omset penjualannya turun.
Jika sebelumnya dalam sebulan bisa meraup puluhan juta rupiah, kini dibawah Rp10 juta per bulan. Sebanyak 20 karyawan sejak Ramadhan lalu tidak lagi dipekerjakan karena permintaan yang minim.
Seiring turunnya hujan dan berkurangnya asap, ia berharap Pontianak kembali ramai. Even-even besar diharapkan pula terus bergulir hingga akhir tahun.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2015