Putussibau (Antara Kalbar) - Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu mencatat ada organisasi yang diduga memprovokasi masyarakat setempat untuk melawan kebijakan pemerintah.
Berdasarkan data Kesbangpol Kapuas Hulu, organisasi tersebut diberi nama Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA). Mereka diketahui berada di Hulu Kapuas, Kecamatan Putussibau Selatan, sejak tahun 2014. Alasan awal adalah untuk menggali adat istiadat suku Punan, di desa Bungan Jaya.
"Kami sudah pernah menyurati pada tahun 2014 itu, bahkan mereka sudah kami ajak ketemu, namun justru masyarakat yang menghadang. Muncul pro dan kontra di lapangan, saat Pemerintah Daerah hendak melakukan sosialisasi pembinaan wawasan kebangsaan juga ditolak, ternyata dibelakang masyarakat tersebut adalah AGRA," ungkap Kasubag Pemibinaan Wawasan Kebangsaan pada Kesbangpol Kapuas Hulu, Pius Buda.
Menurut Pius, AGRA di Hulu Kapuas berada di desa Mata Lunai, Bungan Jaya, Lapung dan Tanjung Lokang. Tahun lalu di Lapung. Keberadaan Organisasi tersebut memprovokasi masyarakat, lalu membentuk pengurus adat sendiri. Kemudian membangun organisasi dan menerapkan iuran, bisa berbentuk beras atau ayam.
"Pada Bungan Jaya, Tanjung Lotang, Lapung sudah besar organisasinya, masyarakat jadi terpecah. Seperti di Bungan Jaya justru seperti ada ketemenggungan tandingan, pemerintahan desa tandingan," kata Pius.
Dikatakan Pius, mereka ada tiga orang dan mengaku bernama Andi, Heru dan Masdi. Semua beragama Islam. "Bertemu mereka baru-baru ini di Mata Lunai. Nama mereka ini berubah-ubah. Mereka tidak mau memberi tahu identitas aslinya," jelasnya.
Menurut Pius, dari tiga orang anggota AGRA itu, dua orang mengaku asal Pontianak dan satu orang mengaku berasal dari Sambas. Mereka semuanya tidak memiliki kartu tanda penduduk. Dari pengakuan anggota AGRA tersebut, mereka melakukan penelitian sosial budaya dan ekonomi. Tapi saat ditanya dasar penelitian, mereka tidak bisa memberi kepastian. "Mereka tidak mau memberi tahu," kata Pius.
AGRA sudah ada dari tahun 2014 di Hulu Kapuas. Tapi dari pengakuan anggota yang berhasil ditemukan, mereka mengatakan baru tiga bulan disana. "Mereka ini sudah lama kita kejar, namun baru ketemu kemaren," ujarnya.
Untuk mengembangkan organisasinya, AGRA mengiming-imingkan pada kelompok masyarakat akan kesejahteraan. "Dibalik itu mereka memotori pertambangan emas. Jadi kalau masyarakat mau bertambang emas, ada semacam surat dari mereka," ungkap Pius.
Selama ini, personil AGRA tinggal di balai adat. Mereka tidak diperbolehkan nginap dirumah warga. "Dari pertemuan kemaren. Mereka AGRA ini sudah kami laporkan ke Polres Kapuas Hulu, untuk mendalami aktifitasnya," jelasnya Pius.
Garis besar pengaruh AGRA di Hulu Kapuas adalah upaya menggerakan masyarakat melawan pemerintah. Untuk masalah agama ini belum ada indikasi. "Mereka pengaruhinya dengan sisi ekonomi. Pemanfaatan hasil alam, seperti emas," tuturnya.
Dipaparkan Pius salah satu kendala untuk mengawasi pergerakan AGRA yaitu anggaran karena memang susah, berada di perhuluan Kapuas, biaya sangat besar, medan pun sulit. "Seharusnya ini mesti mendapat pengawasan serius, tapi kendala kita selama ini masalah anggaran karena berada diperhuluan Sungai Kapuas memakan biaya cukup mahal," pungkasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016
Berdasarkan data Kesbangpol Kapuas Hulu, organisasi tersebut diberi nama Aliansi Gerakan Reformasi Agraria (AGRA). Mereka diketahui berada di Hulu Kapuas, Kecamatan Putussibau Selatan, sejak tahun 2014. Alasan awal adalah untuk menggali adat istiadat suku Punan, di desa Bungan Jaya.
"Kami sudah pernah menyurati pada tahun 2014 itu, bahkan mereka sudah kami ajak ketemu, namun justru masyarakat yang menghadang. Muncul pro dan kontra di lapangan, saat Pemerintah Daerah hendak melakukan sosialisasi pembinaan wawasan kebangsaan juga ditolak, ternyata dibelakang masyarakat tersebut adalah AGRA," ungkap Kasubag Pemibinaan Wawasan Kebangsaan pada Kesbangpol Kapuas Hulu, Pius Buda.
Menurut Pius, AGRA di Hulu Kapuas berada di desa Mata Lunai, Bungan Jaya, Lapung dan Tanjung Lokang. Tahun lalu di Lapung. Keberadaan Organisasi tersebut memprovokasi masyarakat, lalu membentuk pengurus adat sendiri. Kemudian membangun organisasi dan menerapkan iuran, bisa berbentuk beras atau ayam.
"Pada Bungan Jaya, Tanjung Lotang, Lapung sudah besar organisasinya, masyarakat jadi terpecah. Seperti di Bungan Jaya justru seperti ada ketemenggungan tandingan, pemerintahan desa tandingan," kata Pius.
Dikatakan Pius, mereka ada tiga orang dan mengaku bernama Andi, Heru dan Masdi. Semua beragama Islam. "Bertemu mereka baru-baru ini di Mata Lunai. Nama mereka ini berubah-ubah. Mereka tidak mau memberi tahu identitas aslinya," jelasnya.
Menurut Pius, dari tiga orang anggota AGRA itu, dua orang mengaku asal Pontianak dan satu orang mengaku berasal dari Sambas. Mereka semuanya tidak memiliki kartu tanda penduduk. Dari pengakuan anggota AGRA tersebut, mereka melakukan penelitian sosial budaya dan ekonomi. Tapi saat ditanya dasar penelitian, mereka tidak bisa memberi kepastian. "Mereka tidak mau memberi tahu," kata Pius.
AGRA sudah ada dari tahun 2014 di Hulu Kapuas. Tapi dari pengakuan anggota yang berhasil ditemukan, mereka mengatakan baru tiga bulan disana. "Mereka ini sudah lama kita kejar, namun baru ketemu kemaren," ujarnya.
Untuk mengembangkan organisasinya, AGRA mengiming-imingkan pada kelompok masyarakat akan kesejahteraan. "Dibalik itu mereka memotori pertambangan emas. Jadi kalau masyarakat mau bertambang emas, ada semacam surat dari mereka," ungkap Pius.
Selama ini, personil AGRA tinggal di balai adat. Mereka tidak diperbolehkan nginap dirumah warga. "Dari pertemuan kemaren. Mereka AGRA ini sudah kami laporkan ke Polres Kapuas Hulu, untuk mendalami aktifitasnya," jelasnya Pius.
Garis besar pengaruh AGRA di Hulu Kapuas adalah upaya menggerakan masyarakat melawan pemerintah. Untuk masalah agama ini belum ada indikasi. "Mereka pengaruhinya dengan sisi ekonomi. Pemanfaatan hasil alam, seperti emas," tuturnya.
Dipaparkan Pius salah satu kendala untuk mengawasi pergerakan AGRA yaitu anggaran karena memang susah, berada di perhuluan Kapuas, biaya sangat besar, medan pun sulit. "Seharusnya ini mesti mendapat pengawasan serius, tapi kendala kita selama ini masalah anggaran karena berada diperhuluan Sungai Kapuas memakan biaya cukup mahal," pungkasnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016