Jakarta  (Antara Kalbar) - Orang Dengan Epilepsi (ODE) dapat menjalani hidup sehat dan produktif apabila mereka mendapat dukungan dalam mengelola epilepsi mereka baik melalui pengobatan maupun dukungan moral yakni melalui dukungan keluarga dan orang-orang yang dicintai.

ODE harus memahami dan menerima kondisi serta menjalani hidup dengan pikiran yang positif sehingga mereka dapat mengenali potensi diri dan mencapai target.

ODE juga sering kali mengalami keterbatasan dalam memilih jenis pekerjaan sehingga mereka sering kali harus memilih profesi khusus dan fokus pada area kerja yang spesifik sejak dini.

Peran keluarga dan lingkungan sekitar diperlukan untuk mendukung orang dengan epilepsi dalam membantu mereka mengenali dan mengembangkan potensi diri.

Apabila epilepsi dikelola dengan baik melalui pengobatan secara teratur, ODE dapat mencapai kualitas hidup yang baik.

Ketua Yayasan Epilepsi Indonesia (YEI) Irawaty Hawari mengatakan epilepsi yang merupakan salah satu penyakit neurologi menahun dapat terjadi pada semua orang tanpa batasan usia, jenis kelamin, ras maupun status sosial-ekonomi.

"Pada suatu serangan epilepsi terjadi aktivitas atau cetusan listrik abnormal di otak dengan bentuk manifestasi berupa serangan-serangan kejang atau bentuk lain seperti perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran, dan perubahan-perubahan lainnya baik yang terasa atau terlihat," kata Irawaty di Jakarta, Rabu (23/3).

Hal tersebut, dikatakannya dalam seminar media "Yes I Can: Saya Pasti Bisa! Saya Harus Bisa! Dukung Penyandang Epilepsi Agar Dapat Mengenali dan Mengembangkan Potensi Dirinya".

Ia menjelaskan bahwa gangguan listrik di otak tersebut dapat disebabkan antara lain oleh kerusakan jaringan, misalnya tumor otak, cedera kepala atau akibat gejala sisa dari suatu penyakit.

Misalnya, kata dia, infeksi otak (meningitis dan encephalitis), gangguan pembuluh darah otak (stroke), cacat lahir, kelainan genetika serta sekitar 30 persen tidak diketahui penyebabnya.

Manifestasi serangan dapat berbeda-beda tergantung pada fungsi otak mana yang terganggu.

Ia menyatakan menyatakan penyakit epilepsi tidak hanya berdampak pada penyandangnya itu sendiri tetapi juga terhadap keluarga dan lingkungan sekitarnya.

"Untuk ODE, hambatan yang ditakutkan adalah apabila terjadi bangkitan epilepsi mendadak dan berisiko menimbulkan cedera fisik," katanya.

Menurutnya, pihak keluarga harus memperhatikan hal-hal lain yang dapat dilakukan untuk menghindari terjadinya bangkitan.

Selain minum obat teratur, kata Irawaty, ODE juga harus tidur atau istirahat yang cukup, makan teratur, hindari aktivitas yang berlebihan, dan hindari stres psikologis.

"Untuk jenis epilepsi tertentu, hindari menonton televisi atau berada di depan komputer yang menyala dalam waktu lama," tuturnya.

Hambatan sosial yang dihadapi, kata dia, dikucilkan dari lingkungan akibat stigma negatif sehingga menyebabkan anak dikeluarkan dari sekolah, kesulitan mendapat pekerjaan, takut untuk menikah, dan lain-lain.

"Akibat lebih lanjut yang dapat terjadi sebagai konsekuensi masalah psikologis tersebut adalah meningkatnya risiko gangguan cemas, depresi, dan kepercayaan diri yang rendah pada orang penyandang epilepsi," ujarnya.

Selanjutnya, Irawaty mengemukakan bahwa penyakit epilepsi tidak berhubungan dengan IQ.

"Bahkan sebagian besar ODE mempunyai IQ rata-rata bahkan di atas rata-rata," kata Irawaty.

Oleh karena itu, kata dia, penting bagi para ODE untuk mengenali potensi yang ada pada dirinya agar mereka bisa menunjukkan kepada keluarga dan masyarakat sekitarnya bahwa mereka juga dapat berprestasi.

"Untuk para orangtua, sebaiknya jangan terlalu membatasi kegiatan, pergaulan, dan kreatifitas anak mereka agar kelak mereka tidak menjadi anak yang rendah diri. Faktor dukungan dari keluarga dekat atau lingkungan sekitar sangatlah besar," tuturnya.

Menurutnya, hal ini kemungkinan agak sukar dilakukan selama masyarakat kita masih memiliki stigma dan persepsi yang salah mengenai epilepsi.

"Begitu pula dari kalangan medis sendiri, di mana para orang dengan epilepsi kurang mendapatkan perhatian dan penanganan yang holistik. ODE hanya ditanya mengenai masih ada atau tidaknya serangan dan menerima resep," ujarnya.

Ia mengatakan beberapa dari ODE juga belum memahami pentingnya minum obat secara teratur sehingga banyak yang datang berobat karena serangan muncul kembali akibat obat terputus.

"Oleh karena itu, edukasi terhadap penderita dan keluarga menjadi sangat penting, juga keterlibatan dari disiplin ilmu yang lain seperti psikiater, psikolog maupun pekerja sosial," ucap Irawaty.

Faktor Penghambat Sementara itu, menurut Praktisi Psikologi, Aska Primardi terdapat tiga faktor penghambat ODE dalam mengembangkan potensi dirinya.

"Pertama adalah faktor medis, semakin sering terkena serangan dapat mengakibatkan semakin besar penurunan kemampuan otak dalam berpikir dan mengingat," kata Aska.

Hal tersebut, kata Aska, dapat mengakibatkan ODE kesulitan dalam menjalani aktivitas sehari-hari maupun menemukan dan mengembangkan potensi dirinya.

"Kedua adalah faktor psikologis, berhubungan dengan kecemasan, penurunan harga diri, penurunan kepercayaan diri, depresi, sampai perilaku bunuh diri," katanya.

Menurutnya, apabila pikiran ODE sudah terfokus hanya pada masalah-masalah pribadi yang berujung pada gangguan psikologis, maka ODE tidak akan sempat lagi mengenali potensi atau bakat dalam dirinya dan juga beraktivitas untuk mengembangkan potensi dirinya.

"Ketiga adalah faktor sosial, adanya stigma atau persepsi negatif tentang epilepsi yang membuat masyarakat umum takut atau tidak mau bergaul dengan ODE," ujarnya.

Pada akhirnya, kata Aska, ODE pun tidak dapat mengembangkan potensi dirinya karena minimnya dukungan dari lingkungan sekitar.

Ia menjelaskan aaat ODE tidak mengalami kejang, maka ODE nampak seperti orang normal pada umumnya.

Menurutnya, keterbatasan ODE yang sering menjadi penghambat dalam melakukan aktivitas pada umumnya adalah mengalami kesulitan berpikir dan mengingat, terutama ODE yang sudah sudah memiliki riwayat sakit bertahun-tahun.

Masalah ini, kata dia, membuat ODE menemui hambatan dalam proses belajar maupun bekerja.

"ODE dapat menjalankan berbagai macam jenis aktivitas seperti orang normal, tetapi yang perlu diingat adalah daya tahan tubuh ODE yang lebih lemah daripada orang normal. Boleh beraktivitas, tetapi tidak boleh terlalu lelah," ujarnya.

Ia menjelaskan terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan ODE untuk mengatasi hambatan yang timbul seperti mengkonsumsi obat secara rutin dalam jangka waktu yang lama, mencoba belajar hidup bersahabat dengan epilepsi dimulai dengan cara menerima fakta bahwa dirinya adalah ODE.

Aska juga menuturkan emosi positif akan membantu ODE dalam memahami kelebihan dan keterbatasan yang ada dalam dirinya.

"Keterbatasan pilihan justru membantu ODE untuk lebih mudah memilih potensi diri atau pun pekerjaan yang akan dijalaninya," tuturnya.

Misalnya, kata dia, melakukan sosialisasi epilepsi dan pengobatannya kepada masyarakat bahwa epilepsi bisa dikontrol dengan baik, menyebarkan informasi berisi tentang fakta beberapa ODE berprestasi.

"Dan yang lebih penting mengajarkan ODE untuk berani membuka diri sambil menunjukkan prestasinya sehingga makin banyak masyarakat peduli tentang ODE di sekitarnya," ucap Aska.

Aska juga menambahkan ODE boleh menjalankan aktivitas sesuai minatnya tetapi perlu diingat tentang komitmen untuk hidup sehat sebagai ODE.

Menurut dia, ODE harus mampu melakukan beberapa hal yaitu, mampu mengambil inisiatif, mampu mengatasi masalah sendiri, mampu mengambil keputusan, mampu mengontrol diri sendiri, keinginan untuk mandiri, dan berkeinginan untuk mengerjakan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain.

Dukungan Keluarga Aska juga menyatakan ada tiga bentuk dukungan keluarga yang dapat diberikan kepada ODE.

"Pertama, dukungan instrumental, yaitu dukungan yang diberikan dalam wujud nyata untuk menolong ODE secara langsung," katanya.

Menurut Aska, keluarga harus rutin membantu penyediaan obat anti-epilepsi, memberikan bantuan dalam bentuk barang atau pun finansial untuk pelatihan dan pengembangan potensi diri ODE.

"Kedua, dukungan informasi yang diharapkan dapat membantu individu untuk memahami hal-hal yang memunculkan stres, mencari tahu sumbernya, dan memahami bagaimana strategi "coping" yang tepat," tuturnya.

Ia mengatakan informasi yang diberikan berupa nasehat, saran, petunjuk, dan umpan balik.

"Ketiga, dukungan emosional yang berasal dari teman dan keluarga dengan cara meyakinkan individu bahwa ia adalah individu yang pantas menerima perhatian, cinta, maupun simpati. Dengan demikian, individu akan merasa diperhatikan oleh orang lain," ujarnya.

Sementara itu, menurut penyandang epilepsi atau ODE, Azharianto Latief Baroto mengatakan bahwa keluarga memiliki peran yang sangat besar dalam mengembangkan potensi yang dimiliki ODE.

"Keluarga memiliki peran yang sangat besar dalam mengembangkan potensi yang dimiliki ODE karena keluarga lah yang berperan langsung dalam pembentukan pribadi ODE," katanya.

Ia mengatakan epilepsi bukan suatu hambatan karena ODE bisa menghilangkan rasa takut, rasa malu, rasa tidak mampu, dan rasa terbelakang dengan cara tetap menerima, sabar, dan tetap rutin mengkonsumsi obat epilepsi.

"Saat ini saya bisa bekerja di Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan sebagai Kepala Sub Bidang Informasi dan Pustaka. ODE harus memiliki keyakinan yang kuat dalam hati dan percaya diri bahwa "aku bisa"," katanya.

Selain itu, kata dia, ODE juga harus tetap melatih kemampuan yang dimiliki di mana pun berada untuk menghilangkan rasa malu dan berani maju terus untuk mencapai kesuksesan.

Pewarta:

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016