Jakarta (Antara Kalbar) - Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yakni
penyerangan kantor PDI Perjuangan yang merupakan simbol kedaulatan
politik partai di Jalan Diponegoro Jakarta pada 27 Juli 1996 hingga saat
ini masih gelap.
"Sesuai amanat Kongres IV PDI Perjuangan di Bali pada 2015, akan terus memperjuangkan penyelesaian pelanggaran HAM berat tersebut," kata Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, usai diskusi terbatas "Penyelesaian Kasus 27 Juli 1996" di kantor DPP PDI Perjuangan, Jalan Diponegoro, Jakarta, Rabu.
Menurut Hasto, penyerangan kantor DPP PDI pada 20 tahun lalu, merupakan intervensi kekuasaan terhadap partai politik yang aspiratif sehingga menjadi simbol matinya demokrasi. Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan, yang sejak awal konsisten memilih jalur hukum melalui Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menegaskan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat penyerangan kantor DPP PDI tersebut terhenti di pengadilan koneksitas.
Menurut Trimedya, DPP PDI Perjuangan meminta bantuan Komnas HAM dan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk mempercepat penyelesaian kasus penyalahgunaan kewenangan kekuasaan pemerintahan negara pada saat itu.
Pada diskusi tersebut, hadir sejumlah narasumber dari Komnas HAM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan para pegiat HAM.
Ketua Komnas HAM, Muhammad Imdadun Rahmat, yang hadir didampingi komisioner Anshari dan Sandra Moniaga menegaskan, terjadi pelanggaran HAM atas penyerangan kantor DPP PDI yang menimbulkan korban jiwa dan menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan alat negara. Komnas HAM, kata dia, menemukan bukti-bukti adanya perencanaan, dan upaya penyerangan untuk pengambil-alihan secara paksa kantor Partai yang menjadi simbol demokrasi rakyat tersebut.
Aktivis HAM, Hendardi, yang dikenal vokal memperjuangkan penyelesaian pelanggaran HAM menegaskan, konstruksi pengadilan koneksitas tidaklah tepat. "Perlu desain penyelesaian kasus 27 Juli 1996 dengan menggunakan UU No 26 tahun 2000 tentang HAM. Supremasi hukum harus ditegakkan sebagai dasar bernegara guna menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016
"Sesuai amanat Kongres IV PDI Perjuangan di Bali pada 2015, akan terus memperjuangkan penyelesaian pelanggaran HAM berat tersebut," kata Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, usai diskusi terbatas "Penyelesaian Kasus 27 Juli 1996" di kantor DPP PDI Perjuangan, Jalan Diponegoro, Jakarta, Rabu.
Menurut Hasto, penyerangan kantor DPP PDI pada 20 tahun lalu, merupakan intervensi kekuasaan terhadap partai politik yang aspiratif sehingga menjadi simbol matinya demokrasi. Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan, yang sejak awal konsisten memilih jalur hukum melalui Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) menegaskan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat penyerangan kantor DPP PDI tersebut terhenti di pengadilan koneksitas.
Menurut Trimedya, DPP PDI Perjuangan meminta bantuan Komnas HAM dan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia untuk mempercepat penyelesaian kasus penyalahgunaan kewenangan kekuasaan pemerintahan negara pada saat itu.
Pada diskusi tersebut, hadir sejumlah narasumber dari Komnas HAM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan para pegiat HAM.
Ketua Komnas HAM, Muhammad Imdadun Rahmat, yang hadir didampingi komisioner Anshari dan Sandra Moniaga menegaskan, terjadi pelanggaran HAM atas penyerangan kantor DPP PDI yang menimbulkan korban jiwa dan menunjukkan adanya penyalahgunaan kekuasaan alat negara. Komnas HAM, kata dia, menemukan bukti-bukti adanya perencanaan, dan upaya penyerangan untuk pengambil-alihan secara paksa kantor Partai yang menjadi simbol demokrasi rakyat tersebut.
Aktivis HAM, Hendardi, yang dikenal vokal memperjuangkan penyelesaian pelanggaran HAM menegaskan, konstruksi pengadilan koneksitas tidaklah tepat. "Perlu desain penyelesaian kasus 27 Juli 1996 dengan menggunakan UU No 26 tahun 2000 tentang HAM. Supremasi hukum harus ditegakkan sebagai dasar bernegara guna menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016