Pontianak (Antara Kalbar) - Pengurus Dewan Adat Dayak (DAD) Nasional, Paulus Florus menyatakan, semua pihak agar tidak melakukan kriminalisasi kepada para peladang dalam menangani kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

"Para peladang membakar ladang untuk ditanami padi selalu mengacu kepada kearifan lokal, yakni membuka ladang dengan sistem bakar yang dilakukan sudah turun-temurun," kata Paulus Florus dalam keterangan tertulisnya yang diterima Antara di Pontianak, Kamis.

Ia menanggapi penangkapan warga oleh jajaran Polri dan TNI karena membuka ladang dengan sistem bakar selama musim kemarau tahun 2016.

Langkah penegakan hukum dilakukan Polri dan TNI, mengacu kepada instruksi Presiden Republik Indonesia Joko Widodo. Instruksi keras Presiden Joko Widodo agar dalam menghadapi musim kemarau 2016 tidak meluas yang menimbulkan kabut asap pekat, merembes hingga ke negara tetangga yang berimplikasi dinamisnya situasi politik luar negeri sebagaimana terjadi selama musim kemarau 2015.

"Saya tidak menyalahkan TNI dan Polri yang telah melaksanakan tugas dengan baik, sesuai instruksi Presiden Joko Widodo, tetapi ada sistem kearifan lokal yang mesti dihargai, di saat belum ditemukan teknologi aplikatif yang murah dan mudah, tentang sistem buka lahan di luar cara dibakar," ungkapnya.

Menurut dia, agar tidak terjadi praktik kriminalisasi terhadap petani peladang, peran kepala daerah seperti gubernur, bupati dan wali kota hendaknya bersinergi dengan TNI dan Polri.

Dalam mewujudkan sinergitas, dibutuhkan sebuah pos komando aplikatif tempat berdiskusi dan evaluasi harian pemerintah daerah dengan pimpinan TNI dan Polri, katanya.

"Dari hasil diskusi pimpinan daerah, dengan TNI dan Polri, maka akan muncul sebuah aksi mengikat di lapangan di dalam menangani Karhutla, sehingga tidak terjadi praktek kriminalisasi terhadap petani tradisional yang sudah turun-temurun membuka ladang dengan sistem bakar," ujarnya.

Kuncinya, menurut dia, para peladang mesti dibina saat membuka ladang dengan sistem bakar, diantaranya membangun sekat bakar, agar api tidak meluas, dan perlu pula diterapkan aturan internal berupa membakar ladang dengan sistem bergilir, agar asapnya tidak meluas.

"Ini hanya bisa terjadi kalau kepala daerah yang dimotori Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), terus aktif berkomunikasi dengan Polri dan TNI," kata Paulus Florus.

Dalam kesempatan itu, dia menegaskan, petani tradisional, terutama kalangan Suku Dayak, selalu melakukan aktifitas pertanian di lahan kering, yakni Persulit Merah Kuning (PMK).

Ia mengatakan, munculnya kebakaran hebat setiap musim kemarau dalam 20 tahun terakhir, karena terjadi pemanfaatan lahan gambut secara masif untuk aktifitas ekonomi nonkonservasi.

Sebelumnya, Humas Walhi Kalbar, Hendrikus Adam menyatakan, lahan yang dijadikan ladang oleh masyarakat untuk pertanian di Kalimantan Barat umumnya menghindari lahan gambut.

"Sehingga lahan gambut yang terbakar tersebut bukan untuk pertanian seperti yang ditudingkan," katanya.

Ia menjelaskan, jika melihat kejadiannya selama ini, bencana asap itu terjadi bila lahan yang terbakar itu sangat luas dan yang paling parah bila terjadi dilahan gambut. Sedang berladang yang dilakukan masyarakat umumnya menghindari atau tidak di lahan gambut.

"Artinya, bencana kabut asap itu bila dicermati dari sumber penyebabnya bukan terletak pada soal kejadian kebakarannya, tetapi di lahan atau lokasi yang seperti apa kebakaran itu terjadi. Kalau terjadi pada hamparan yang sangat luas dan terutama terjadi di lahan gambut jelas inilah yang sesungguhnya menjadi penyebab bencana kabut asap hebat itu," katanya.


(T.A057/T013)

Pewarta: Andilala

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016