Jakarta (Antara Kalbar) - Penangkapan Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum, Direktorat Jenderal Pajak Handang Soekarno dan Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP) Rajesh Rajamohanan menjadi contoh ke-14 tindakan suap-menyuap.

Penangkapan oleh petugas KPK pada 21 November 2016 itu menjadi contoh ke-14 tindakan suap-menyuap antara pihak swasta dengan pejabat pemerintah yang ketahuan.

Sejak 13 Januari 2016 dari 14 operasi tangkap tangan atau OTT tersebut, KPK sudah menetapkan 9 politikus, 21 swasta, 9 pejabat pemerintah, 4 pengacara, 2 petinggi BUMN, 3 panitera, 2 hakim dan 3 jaksa sebagai tersangka. Swasta menjadi pihak yang paling banyak ditetapkan sebagai orang yang punya tanggung jawab pidana.

Terlepas dari berbagai modus yang dilakukan, namun umumnya suap-menyuap itu dilakukan karena pihak swasta ingin mendapatkan kelancaran dari proyek-proyek pemerintah. Entah pihak swasta ditawari atau mencari tawaran, namun dengan jelas pasal 12 huruf (a) UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 menyatakan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar (atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah) melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Untuk tetap menjaga perannya di bidang pencegahan (selain juga penindakan), KPK mengadakan "International Business Integrity Conference" (IBIC) sebagai media sosialisasi dan edukasi mengenai pencegahan korupsi (termasuk) suap di sektor swasta. Acara itu menurut Pahala menjadi momen bagi para pengambil kebijakan untuk belajar menciptakan iklim bisnis yang berintegritas khususnnya soal perizinan hingga suap antarnegara.

"Ke depan kita harapkan bahwa Beberapa pemangku kepentingan akan bekerja dengan strategis bekerja sama dengan KPK untuk mencegah korupsi di sektor swasta. Sehingga pada akhirnya nanti semua upaya yang kita lakukan untuk perbaikan tata kelola di sektor pemerintahan akan memperoleh efek berganda. Karena di sektor swasta akan muncul bisnis yang berintegrasi antara lain secara kebijakan tidak dibenarkan pemberian suap dan gratifikasi," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan dalam pembukaan IBIC.

Upaya pencegahan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong mengakui bahwa korupsi dan pungutan liar (pungli) menjadi kendala yang sangat besar dalam investasi karena menjadi salah satu aspek pertimbangan penanaman modal oleh para investor, selain infrakstruktur, kondisi keamanan dan perpajakan.

"Infrastruktur bagus, perpajakan atratif namun korupsi masih banyak maka pemodal jadi malas," ungkap Thomas.

Di lapangan pun menurut Thomas, masih ada investor yang mengundurkan diri ketika sudah mengajukan izin prinsip dan mengurus izin lainnya.

"Ini saya dapat dari banyak investor yang rela rugi dibanding melanjutkan usaha namun harus mengucurkan dana untuk pungli-pungli," tambah Thomas.

Ia pun mengaku bahwa kondisi tersebut merupakan budaya sehingga untuk menghilangkannya tidaklah mudah. Tapi ia menilai penghilangan budaya koruptif itu semakin dimungkinkan dengan adanya media sosial dan perdagangan elektronik.

"Di medsos, status tidak ditentukan kekayaan, justru orang yang punya humor, menyentuh hati, dengan puisi, merekalah yang banyak mendapat 'like' atau teman. Saya melihat banyak peluang, di sini bukan karena kaya, mobil mewah, pakaian mahal, namun orang yang tidak memiliki status tinggi juga bisa menyentuh," jelas Thomas.

Selanjutnya melalui sistem perdagangan elektronik termasuk sektor jasa seperti aplikasi Uber dan Grab. Di negara maju menurut Thomas, masyarakat bahkan tidak perlu lagi membeli mobil tapi cukup berbagi atau meminjam sehingga dengan uang yang sedikit sudah dapat menikmati mobil tersebut.

Tren seperti itu menurut Thomas akan masuk ke negara berkembang seperti Indonesia yaitu orang tidak lagi tertarik pada kepemilikan benda namun kepada pengalaman.

"Jadi kita bisa bangun budaya bersih dan berintegritas di era medsos. Kita yang selama ini bertujuan mencari harta kekayaan, tidak lagi menjadi tren dan ini diharapkan bisa menjadi budaya baru seperti berintegritas, jujur, humoris, tulus, akan lebih berperan dari pada mobil mewah, tas mewah, baju mewah," kata Thomas.

Lebih lanjut, Ketua KPK Agus Rahardjo menjelaskan bahwa sebagai negara peratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) atau Konvensi PBB Antikorupsi yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC, disebutkan dengan jelas pada pasal 16 bahwa swasta dilarang memberikan suap kepada pejabat publik.

"Kita ketahui pemerintah RI telah meratifikasi UNCAC menjadi UU NO 7/2006. Dalam UU ini disebut dalam pasal 12, diharapkan lakukan langkah mencegah korupsi di sektor swasta. Kemudian pasal 16, bahwa swasta itu dilarang memberikan suap kepada pejabat publik, baik domestik, asing, maupun lembaga internasional lain. Kemudian dalam pasal 12 juga, pemerintah mengatur langkah sanksi yang diperlukan baik administratif, perdata atau pidana," ungkap Agus.

Agus menjelaskan bahwa KPK bersama dengan Mahkamah Agung (MA) sedang menyelesaikan Peraturan MA untuk melakukan tindakan pemberantasan korupsi korporsi.

"Kalau melihat UU saat ini, kewenangan KPK untuk sektor swasta masih terbatas, berbeda dengan di Malaysia atau Singapura, tanpa ada kerugian negaranya pihak swasta bisa dieksekusi. Misalnya perusahaan yang melaksanakan pembukuan ganda, berbeda dengan pembukuan untuk pemiliknya. Kalau di Singapura dan Malaysia, maka petugas antikorupsi itu bisa mengusutnya. Mudah-mudahan ke depan ini bisa jadi penyempurnaan kita. pemerintah harus memangkas celah keinginan UNCAC dengan aturan di dalam negeri," ungkap Agus.

Korupsi Korporasi Khusus mengenai korupsi korporasi, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengungkapkan sudah ada 100 undang-undang nasional yang mengatur secara khusus mengenai tanggung jawab pidana korporasi seperti UU Lingkungan Hidup, UU tindak pidana pencucian uang (TPPU), UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor), UU Tata Ruang, UU Pertambangan dan lainnya.

Apalagi banyak pemilik atau pengurus korporasi yang menyuap pejabat negara, pemilik atau pengurus korporasi diproses pidana tapi korporasinya tidak. Korporasi bahkan menunjuk pengurus baru untuk melanjutkan kegiatan korporasinya. Sayangnya, sampai hari bahkan baru ada satu tindak pidana koruporasi yang sampai di pengadilan. Mengapa? Salah satu sebabnya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur tindak pidana korporasi dan baru mengatur sebatas pengurus korporasi (Pasal 59 KUHP).

Padahal pertanggungjawaban pidana korporasi dalam UNCAC tertulis pada article 26 UNCAC yang berbunyi (1) Each State Party shall adopt such measures as may be necessary, consistent with its legal principles, to establish the liability of legal for participation in the offences established in accordance with this Convention.

Dalam kasus PT Giri Jaladhi Wana yang menjadi satu-satunya kasus korporasi di Indonesia, perusahaan itu adalah badan hukum yang menjalankan usaha di bidang perdagangan, industri, agrobisnis, pembangunan dan design interior.

Pada 2010 PT. GJW didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum atas pelanggaran Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Jo. Pasal 20 UU No 31/1999sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Hakim mempertimbangkan pengembangan dari Pasal 20 UU Tipikor sehingga dimasukan juga pendapat ahli serta pemeriksaan bahwa selain adanya hubungan kerja serta dilakukan oleh orang yang memiliki posisi, kegiatan tersebut juga sesuai dengan tujuan korporasi serta untuk manfaat bagi korporasi.

PT GJW pun dihukum membayar denda yang jauh lebih kecil dibanding pengurus korporasi yaitu Rp1,317 miliar serta pidana tambahan penutupan sementara selama 6 bulan.

"Memang masih banyak hal yang harus diperhatikan saat menerapkan pidana korporasi ini mengingat korporasi banyak model dan jenisnya termasuk perusahaan yang sudah 'go public' tapi menghukum korporasi tentu memberi pelajaran kepada pelaku usaha agar stop menyuap. Yang kurang dari aparat penegak hukum kita adalah keberanian mencoba," ungkap Laode.

Akhirnya keberanian aparat penegak hukum sekaligus kesadaran perusahaan dan pejabat publik juga yang menjadi penentu agar kisah suap-menyuap tidak lagi berlanjut dan hanya menjadi sejarah di republik ini.

Pewarta:

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2016