Pontianak (Antara Kalbar) - Advisor Temporary WHO and Coordinator RECS Indonesia, Dr Tri Maharani, M Si, Sp Em menyatakan kasus gigitan ular di Indonesia perlu perhatian serius pemerintah agar pencegahan dan penanganan dapat dilakukan dengan baik.

"Perlu diketahui kasus gigitan ular sangat tinggi. Namun tidak ada data validnya karena soal gigitan ular ini masih terlantar dan belum diperhatikan. Padahal kasus ini telah banyak memakan korban dan risiko kematian sangat besar di Indonesia," ujarnya saat menjadi narasumber dalam diskusi tentang penanganan gigitan ular yang digelar pihaknya bekerjasama dengan FMIPA Universitan Tanjungpura di Pontianak, Sabtu.

Tri memprediksikan dengan melihat kasus yang ada di Indonesia termasuk di Kalbar, jumlah kejadian gigitan ular hampir sama dengan kasus HIV dan AIDS.

Untuk kasus HIV dan AIDS pertahunya sekitar 115 ribu dan kasus gigitan ular sekitar 135 ribu.

"Dengan angka yang ada ini kembali harus sudah diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat serta lainnya. Bayangkan saja kasus ini sama dengan HIV. Kasus gigitan ular tidak menutup kemungkinan dan sesuai kejadian di lapangan tidak sedikit menyebabkan kematian," kata dia.

Ia menambahkan, perhatian dan penanganan atau bahkan kajian soal gigitan ular masih minim. Hingga saat ini katanya di Kementerian Kesehatan masih belum ada program untuk penanganan kasus ular. Padahal potensi kasus di Indonesia sangat tinggi.

"Realitas di lapangan tidak ada program dari pemerintah soal penanganan ular. Harapan kita harusnya ada seperti penanganan demam berdarah atau HIV. Kongkritnya lagi dengan kasus gigitan ular tidak tercover oleh BPJS Kesehatan karena biaya venom yang mahal," ujarnya.

Untuk di Kalbar menurut Sri juga cukup tinggi terutama di daerah Ketapang. Ditambah Kalbar memiliki area luasan kebun sawit yang besar di Indonesia dalam kasus gigitan ular sangat tinggi.

Ia mencontohkan dari kasus yang ada didominasi tiga jenis tiga ular yakni King Kobra, Kobra dan Ular Tanah.

"Saat ini masyarakat ketika digigit masih ditangani dengan cara lokal. Sehingga risiko kematian sangat tinggi. Pola ini harus kita ubah. Kemudian terpenting lagi bagaimana adanya pencegahan agar tidak ada gigitan. Namun ketika digigit masyarakat terutama pemilik kebun harus memberikan edukasi kepada pekerjanya agar segera diatasi," kata dia.

Pihak dokter atau tenaga medis yang ada di Kalbar juga harapannya terus menambah wawasan baru dalam penangan kasus gigitan ular. Hal itu dilakukan agar tingginya angka kematian akibat penanganan gigitan dan dioganosa dan pemberian venom kurang baik, bisa ditekan.

"Kepada pemerintah kita harap hal ini perhatian. Kepada tenaga medis, kepada akademis dan masyarakat umum mari bersama kita mencegah gigitan ular dan apabila digigit harus penanganan yang baik," harapnya.

Pewarta: Dedi

Editor : Teguh Imam Wibowo


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017