Semarang (Antara Kalbar) - Yayasan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang menyayangkan pelarangan perayaan Cap Go Meh yang semula bakal digelar di halaman Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) Semarang yang menandakan krisis toleransi.

"Perayaan Cap Go Meh itu selebrasi budaya, bukan agama. Itu kan tradisi kebudayaan. Intinya, itu bukan ibadah agama. Kenapa harus dilarang diadakan di MAJT? Karena masjid?," kata Direktur eLSA Semarang Dr Tedi Kholiludin di Semarang, Sabtu.

Perayaan Cap Go Meh itu diselenggarakan oleh Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Jawa Tengah dengan mengajak sekitar 12 ribu orang untuk makan lontong Cap Go Meh bersama pada 19 Februari 2017, mulai pukul 18.00 WIB.

Sebagai penyelenggara, PSMTI Jateng juga akan mengundang sejumlah tokoh agama, seperti KH Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), Habib Luthfi bin Yahya, Bhante Dhammasubho Mahathera, Romo Aloysius Budi Purnomo, dan Marga Singgih.

Namun, sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam kemudian beraudiensi dengan pengelola MAJT Semarang karena keberatan atas pelaksanaan perayaan budaya di tempat itu sehingga pengelola meminta panitia memindahkan lokasi acara.

Akhirnya, perayaan Cap Go Meh itu dipindahkan ke halaman Balai Kota Semarang, namun untuk hari dan waktu tetap sama, termasuk "rundown" acara dengan mengundang sejumlah tokoh agama tidak berubah dari apa yang sudah direncanakan semula.

Tedi mengatakan perayaan Cap Go Meh sebenarnya tidak jauh berbeda dengan perayaan-perayaan kebudayaan lainnya di Indonesia sehingga semestinya bisa dirayakan di lokasi manapun, sepanjang tidak melanggar hukum, termasuk halaman MAJT.

"Saya sepakat jika perayaan Cap Go Meh itu tidak dilakukan di area utama masjid karena untuk shalat. Kalau di halaman masjid, apa salahnya? Apalagi, yang jadi narasumber pada acara itu juga tokoh panutan umat Islam," ujarnya.

Kalau ditelisik secara lebih jauh dari beberapa literatur kitab klasik, pengajar Pascasarjana Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang itu menjelaskan masjid menjadi tempat bermusyawarah, berkegiatan warga, dan menyusun kekuatan perang.

"Jadi, harus dipahami bahwa dulu masjid itu pusat peradaban. Bisa dilihat dari berbagai aspek, seperti estetika arsitekturalnya, historisitas, dan fungsi-fungsi lain yang tidak terkait langsung dengan peribadatan, seperti ekonomi," katanya.

Bahwa di dalam ruang utama masjid tetap sakral sebagai tempat beribadah berkaitan dengan fungsi vertikal, kata dia, tetapi di area sekitar masjid fungsi-fungsi horizontalnya muncul, seperti untuk kegiatan sosial dan ruang terbuka publik.

Jadi, selama kegiatan yang dilakukan di area luar masjid tidak melanggar hukum dan berseberangan dengan fungsi sosial masyarakat, ia mengatakan sebenarnya tidak masalah, seperti ruang berinteraksi antarkelompok masyarakat, agama, dan budaya.

"Yang akan hadir dan mengisi acara juga tokoh-tokoh budaya dan tidak dari satu agama. Ini kami kira sebagai bentuk untuk mengembangkan peradaban. Mengapa belakangan di Kota Semarang semakin marak aksi-aksi intoleran seperti ini?" katanya.

Pewarta:

Editor : Admin Antarakalbar


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017