Jakarta (Antaranews Kalbar) - Praktisi kesehatan klinis dan Ketua Indonesian
Society of Digestive Endoscopy Ari F Syam mengingatkan fenomena
swafoto harus disikapi dengan bijaksana dan profesional.
"Di era berkembangnya teknologi gadget yang semakin deras dengan kualitas gambar dan modifikasi gambar yang baik membuat fenomena selfie menjadi populer dan mendunia. Tetapi tetap kita harus menyikapi dengan bijaksana dan proporsional dalam melakukan selfie," kata Ari Syam dalam keterangan tertulisnya, Selasa.
Ia berpendapat mengambil foto diri secara mandiri dan membagikan melalui media sosial sudah merupakan budaya masyarakat zaman "now".
"Tujuannya macam-macam dan dianggap sebagai upaya pengembangan psikososial. Kegiatan selfie sudah mendunia dalam lima tahun terakhir ini dan semakin meningkat drastis dalam dua tahun terakhir. Semakin banyak pelakunya semakin banyak laporan kecelakaan yang berhubungan dengan pengambilan selfie," ucapnya.
Ari mengungkapkan, berdasarkan riset Nottingham Trent University, ada enam motivasi seseorang melakukan swafoto, yaitu meningkatkan kepercayaan diri dan menjadi berbahagia, mencari perhatian, meningkatkan mood, berhubungan dengan lingkungan sekitar, meningkatkan adaptasi mereka dengan kelompok sosial di sekitar mereka serta bisa juga untuk berkompetisi secara sosial.
Untuk itu, ujar dia, di satu sisi jelas bahwa swafoto membawa dampak positif untuk mental seseorang. Namun jika selfie dilakukan secara berlebihan sehingga menjadi obsesif bisa dikelompokan pada gangguan kesehatan yang disebut selfitis.
"Selfie sendiri jika tidak dilakukan secara hati-hati bisa membuat celaka bagi pelakunya. Berbagai penelitian dan laporan menyampaikan bahwa terjadi kecelakaan yang membuat pelaku selfie mengalami luka-luka bahkan sampai menyebabkan kematian misalnya jatuh pada satu ketinggian, serangan dari hewan liar, sengatan listrik, trauma pada kegiatan olahraga karena kurang konsentrasi kondisi sekitar saat sedang melakukan selfie, kecelakaan lalu lintas baik saat sebagai pengendara maupun saat sebagai pejalan kaki," paparnya.
Ia menganjurkan untuk tidak melakukan swafoto ketika berada di ketinggian, sedang berolah raga, sedang berada di sekitar hewan liar bahkan di beberapa negara melarang masyarakatnya melakukan selfie saat mengemudi dan saat sedang berjalan kaki.
Sedangkan penyakit selfitis, berdasarkan sejumlah kajian, dapat dibagi menjadi tiga yaitu "boderline" (mengambil gambar selfie sebanyak tiga kali dalam sehari tetapi tidak diposting ke sosial media), "akut" (mengambil foto selfie sebanyak tiga kali dalam sehari dan mempostingnya seluruh fotonya ke sosial media), dan "kronik" (jika keinginan membuat foto selfie tidak terkendali dan memposting ke sosial media lebih dari enam kali per hari).
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017
"Di era berkembangnya teknologi gadget yang semakin deras dengan kualitas gambar dan modifikasi gambar yang baik membuat fenomena selfie menjadi populer dan mendunia. Tetapi tetap kita harus menyikapi dengan bijaksana dan proporsional dalam melakukan selfie," kata Ari Syam dalam keterangan tertulisnya, Selasa.
Ia berpendapat mengambil foto diri secara mandiri dan membagikan melalui media sosial sudah merupakan budaya masyarakat zaman "now".
"Tujuannya macam-macam dan dianggap sebagai upaya pengembangan psikososial. Kegiatan selfie sudah mendunia dalam lima tahun terakhir ini dan semakin meningkat drastis dalam dua tahun terakhir. Semakin banyak pelakunya semakin banyak laporan kecelakaan yang berhubungan dengan pengambilan selfie," ucapnya.
Ari mengungkapkan, berdasarkan riset Nottingham Trent University, ada enam motivasi seseorang melakukan swafoto, yaitu meningkatkan kepercayaan diri dan menjadi berbahagia, mencari perhatian, meningkatkan mood, berhubungan dengan lingkungan sekitar, meningkatkan adaptasi mereka dengan kelompok sosial di sekitar mereka serta bisa juga untuk berkompetisi secara sosial.
Untuk itu, ujar dia, di satu sisi jelas bahwa swafoto membawa dampak positif untuk mental seseorang. Namun jika selfie dilakukan secara berlebihan sehingga menjadi obsesif bisa dikelompokan pada gangguan kesehatan yang disebut selfitis.
"Selfie sendiri jika tidak dilakukan secara hati-hati bisa membuat celaka bagi pelakunya. Berbagai penelitian dan laporan menyampaikan bahwa terjadi kecelakaan yang membuat pelaku selfie mengalami luka-luka bahkan sampai menyebabkan kematian misalnya jatuh pada satu ketinggian, serangan dari hewan liar, sengatan listrik, trauma pada kegiatan olahraga karena kurang konsentrasi kondisi sekitar saat sedang melakukan selfie, kecelakaan lalu lintas baik saat sebagai pengendara maupun saat sebagai pejalan kaki," paparnya.
Ia menganjurkan untuk tidak melakukan swafoto ketika berada di ketinggian, sedang berolah raga, sedang berada di sekitar hewan liar bahkan di beberapa negara melarang masyarakatnya melakukan selfie saat mengemudi dan saat sedang berjalan kaki.
Sedangkan penyakit selfitis, berdasarkan sejumlah kajian, dapat dibagi menjadi tiga yaitu "boderline" (mengambil gambar selfie sebanyak tiga kali dalam sehari tetapi tidak diposting ke sosial media), "akut" (mengambil foto selfie sebanyak tiga kali dalam sehari dan mempostingnya seluruh fotonya ke sosial media), dan "kronik" (jika keinginan membuat foto selfie tidak terkendali dan memposting ke sosial media lebih dari enam kali per hari).
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2017