Pengelola Program Zoonosis Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Barat Hendri SKM Hendri memilah tiga kondisi hewan di tengah masyarakat.
Pertama, hewan liar yang betul-betul liar dalam artian tidak pernah dipelihara. Kedua, hewan peliharaan yang dilepasliarkan. Ketiga, hewan peliharaan yang tidak dilepasliarkan.
Terkait dengan rabies, yang sulit adalah menangani hewan yang betul-betul liar. Untuk hewan yang dipelihara namun dilepasliarkan, oleh pemiliknya dapat dikandangkan agar di observasi selama 2 minggu.
Dalam kasus rabies ini, untuk hewan penular rabies (HPR) ada dua pilihan, yakni diberi vaksin atau di eliminasi. Pemberian vaksin dilakukan untuk mencegah tertular, sedangkan eliminasi untuk mencegah HPR liar atau yang diliarkan menjadi penular rabies. Misalnya, anjing-anjing atau HPR lain yang berkembang biak di hutan atau kebun sementara salah satu di antaranya sudah tertular rabies.
Hendri yakin ketika langkah-langkah tersebut sudah berjalan efektif, penyebaran rabies akan tersekat dengan sendirinya. Penyebarannya pun terkontrol.
Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Ketapang Khoirul Syahri S Pt di Kota Ketapang, Selasa (17-4-2018) pukul 14.30 WIB, tampak berlinang air mata ketika menceritakan tentang Alvin, bocah 4 tahun korban GHPR pada tahun 2014.
Khoirul saat itu masih menjabat sebagai Kepala Seksi Kesehatan Hewan di instansi yang sama.
Baca juga: Sebaran rabies yang menghantui Kalbar
Kisah Alvin
Alvin digigit anjing pada tanggal 13 Oktober 2014. Dia tinggal di areal perusahaan kelapa sawit PT HK Timur di Kecamatan Manis Mata. Kecamatan ini berbatasan dengan Kalimantan Tengah.
Dari Kota Ketapang, butuh waktu sekitar 10 jam untuk tiba di areal tersebut. Madi dan Efina, orang tua Alvin, melaporkan bahwa korban digigit di pipi kanan dekat mata.
Bocah yang menggemaskan itu kemudian dibawa ke klinik perusahaan. Lukanya dibersihkan dan ditutup. Sementara itu, anjing yang mengigit, entah ke mana karena masuk kategori liar.
Pada tanggal 16 Oktober 2014, Alvin di bawa ke Pangkalan Bun, Kalteng dengan harapan mendapat pengobatan yang lebih lengkap. Pangkalan Bun lebih dekat dijangkau dari Manis Mata daripada ke Ketapang melalui jalur darat. Namun, dokter setempat tidak memberikan vaksin antirabies dengan alasan Alvin kondisinya sehat.
Berdasarkan cerita orang tua korban, Alvin kembali dibawa ke Pangkalan Bun pada tanggal 23 Oktober 2014. Namun, lagi-lagi dokter setempat tidak melayani. Akhirnya, pada tanggal 26 November 2014, sekitar pukul 14.00 WIB, Alvin mengeluh kepada ibunya, Elfina, sakit gigi.
Beberapa menit kemudian, Alvin kembali mengeluh sakit perut. Sejak 24 November, Alvin tidak pernah makan dan minum karena selalu dimuntahkan kembali. Sehari kemudian, Alvin menunjukkan gejala "ngorok".
Dilanjutkan dari mulutnya keluar liur berlebihan hingga berbuih, mata liar dan keluar air mata berlebihan. Selama 2 jam setelah ngorok, tepatnya pukul 16.00 WIB, bocah lucu itu muntah mengeluarkan darah kehitaman, telinga kebiruan. Nyawanya pun tak tertolong.
Khoirul datang ke Manis Mata setelah kejadian. Dia berangkat dari Kota Ketapang pukul 09.00 WIB, tiba menjelang maghib. Begita tiba, dia dimaki-maki orang tua Alvin karena tidak datang ke Manis Mata ketika dihubungi.
Pada saat itu, Alvin telah sakit. Khoirul sebenarnya merasa kebingungan karena bukan bidangnya yang menangani kasus manusia tergigit HPR. Orang tua Alvin menghubungi Khoirul karena ketika ada sosialisasi tentang rabies di Manis Mata yang dilakukan pihak Pemprov Kalbar, nomor telepon selular miliknya yang dijadikan tujuan kalau terjadi kasus gigitan di wilayah itu.
Ketika itu belum ada koordinasi yang baik lintas sektoral dalam penanganan rabies. Bahkan, stok vaksin antirabies pun tidak tersedia. Khoirul lalu mengupayakan berbagai cara agar ada stok VAR untuk mencegah rabies meluas, terutama di kecamatan yang berbatasan atau berdekatan dengan Kalteng, seperti Manis Mata, Marau, dan Tumbang Titi.
Dalam benaknya muncul kekhawatiran kalau wabah tersebut akan terus meluas hingga ke Kota Ketapang.
Baca juga: Menyekat rabies dengan "one health"
Sempat Abai
Drh. Hidayatullah termasuk yang pernah mengunjungi langsung kediaman Alvin. Dia ingat, pada saat itu, dirinya dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kalbar bersama Pemkab Ketapang sosialisasi tentang ancaman rabies di Kecamatan Manis Mata.
Sosialisasi itu agar meski Kalbar masih bebas dari rabies, warga waspada terhadap ancaman penyakit mematikan tersebut.
Usai sosialisasi, dia mendapat informasi bahwa ada warga di areal perkebunan kelapa sawit yang digigit anjing. Kejadiannya sekitar 1 minggu sebelumnya. Dia bersama rombongan kemudian pergi ke rumah Alvin.
Tidak mudah mencapainya. Mereka harus melewati jalan tanah merah khas perkebunan kelapa sawit yang panas dan berdebu.
Setelah sekitar 1 jam perjalanan, mereka tiba di rumah pasangan muda itu. Alvin duduk di pangkuan ibunya. Luka di pipinya sudah mengering setelah dirawat di klinik setempat.
Bocah itu tampak malu-malu karena tidak seperti biasanya, rumahnya yang sederhana dan jauh di dalam areal perkebunan kelapa sawit, dikunjungi banyak orang. Terlebih lagi, ada yang mengabadikan dirinya, baik berupa foto maupun video.
Saat Hidayatullah bertanya, Alvin enggan menjawab. Dia malah menangis sambil meringkuk di pangkuan sang ibu. Namun, dari raut wajahnya terlihat kalau bocah malang itu menahan sakit.
Pada saat kejadian (13-10-2014), Alvin tengah bermain dengan seorang sepupunya tidak jauh dari rumahnya. Tubuh sepupunya itu lebih tinggi daripada Alvin. Tengah asyik bermain, kakek Alvin terlihat berjalan dari arah kebun sambil menyeret bangkai seekor anjing.
Di belakang bangkai itu, ada seekor anjing yang tampak mengikuti jejak langkah sang kakek. Si kakek terus berjalan hingga akhirnya melewati cucu-cucunya yang tengah bermain itu.
Selayaknya bocah usia 4 tahun, Alvin bersama sepupunya tampak riang menyambut kakeknya. Tidak dinyana, anjing yang sedari tadi mengikuti sang kakek berupaya mengigit keduanya.
Alvin kurang beruntung karena tubuhnya lebih kecil sehingga mudah dijangkau anjing gila tersebut. Pipi kanannya terluka. Madi dan Efina tampak khawatir dengan kondisi anaknya itu. Mereka takut anaknya terkena rabies.
Namun, keduanya pasrah karena minimnya informasi dan layanan kesehatan di daerah yang terpencil seperti itu.
Hidayatullah pun tidak bisa berbuat banyak. Stok VAR pada masa itu sangat minim. Terlebih lagi, Kalbar masih dalam status sebagai daerah bebas dari rabies. Kedatangannya ke Manis Mata malahan untuk menyosialisasikan upaya pencegahan agar rabies tidak menjalar ke Kabupaten Ketapang, khususnya dan Kalbar umumnya.
Selepas itu, Hidayatullah kembali ke Pontianak bersama rombongan dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalbar.
Tiga minggu kemudian, dia mendapat kabar dari rekannya bahwa bocah lelaki yang mereka datangi di Kecamatan Manis Mata itu meninggal dunia. Penyebabnya adalah rabies. Dia kaget dan sedih. Terlebih lagi, penyebab kematian Alvin adalah rabies.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018
Pertama, hewan liar yang betul-betul liar dalam artian tidak pernah dipelihara. Kedua, hewan peliharaan yang dilepasliarkan. Ketiga, hewan peliharaan yang tidak dilepasliarkan.
Terkait dengan rabies, yang sulit adalah menangani hewan yang betul-betul liar. Untuk hewan yang dipelihara namun dilepasliarkan, oleh pemiliknya dapat dikandangkan agar di observasi selama 2 minggu.
Dalam kasus rabies ini, untuk hewan penular rabies (HPR) ada dua pilihan, yakni diberi vaksin atau di eliminasi. Pemberian vaksin dilakukan untuk mencegah tertular, sedangkan eliminasi untuk mencegah HPR liar atau yang diliarkan menjadi penular rabies. Misalnya, anjing-anjing atau HPR lain yang berkembang biak di hutan atau kebun sementara salah satu di antaranya sudah tertular rabies.
Hendri yakin ketika langkah-langkah tersebut sudah berjalan efektif, penyebaran rabies akan tersekat dengan sendirinya. Penyebarannya pun terkontrol.
Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian, Peternakan dan Perkebunan Kabupaten Ketapang Khoirul Syahri S Pt di Kota Ketapang, Selasa (17-4-2018) pukul 14.30 WIB, tampak berlinang air mata ketika menceritakan tentang Alvin, bocah 4 tahun korban GHPR pada tahun 2014.
Khoirul saat itu masih menjabat sebagai Kepala Seksi Kesehatan Hewan di instansi yang sama.
Baca juga: Sebaran rabies yang menghantui Kalbar
Kisah Alvin
Alvin digigit anjing pada tanggal 13 Oktober 2014. Dia tinggal di areal perusahaan kelapa sawit PT HK Timur di Kecamatan Manis Mata. Kecamatan ini berbatasan dengan Kalimantan Tengah.
Dari Kota Ketapang, butuh waktu sekitar 10 jam untuk tiba di areal tersebut. Madi dan Efina, orang tua Alvin, melaporkan bahwa korban digigit di pipi kanan dekat mata.
Bocah yang menggemaskan itu kemudian dibawa ke klinik perusahaan. Lukanya dibersihkan dan ditutup. Sementara itu, anjing yang mengigit, entah ke mana karena masuk kategori liar.
Pada tanggal 16 Oktober 2014, Alvin di bawa ke Pangkalan Bun, Kalteng dengan harapan mendapat pengobatan yang lebih lengkap. Pangkalan Bun lebih dekat dijangkau dari Manis Mata daripada ke Ketapang melalui jalur darat. Namun, dokter setempat tidak memberikan vaksin antirabies dengan alasan Alvin kondisinya sehat.
Berdasarkan cerita orang tua korban, Alvin kembali dibawa ke Pangkalan Bun pada tanggal 23 Oktober 2014. Namun, lagi-lagi dokter setempat tidak melayani. Akhirnya, pada tanggal 26 November 2014, sekitar pukul 14.00 WIB, Alvin mengeluh kepada ibunya, Elfina, sakit gigi.
Beberapa menit kemudian, Alvin kembali mengeluh sakit perut. Sejak 24 November, Alvin tidak pernah makan dan minum karena selalu dimuntahkan kembali. Sehari kemudian, Alvin menunjukkan gejala "ngorok".
Dilanjutkan dari mulutnya keluar liur berlebihan hingga berbuih, mata liar dan keluar air mata berlebihan. Selama 2 jam setelah ngorok, tepatnya pukul 16.00 WIB, bocah lucu itu muntah mengeluarkan darah kehitaman, telinga kebiruan. Nyawanya pun tak tertolong.
Khoirul datang ke Manis Mata setelah kejadian. Dia berangkat dari Kota Ketapang pukul 09.00 WIB, tiba menjelang maghib. Begita tiba, dia dimaki-maki orang tua Alvin karena tidak datang ke Manis Mata ketika dihubungi.
Pada saat itu, Alvin telah sakit. Khoirul sebenarnya merasa kebingungan karena bukan bidangnya yang menangani kasus manusia tergigit HPR. Orang tua Alvin menghubungi Khoirul karena ketika ada sosialisasi tentang rabies di Manis Mata yang dilakukan pihak Pemprov Kalbar, nomor telepon selular miliknya yang dijadikan tujuan kalau terjadi kasus gigitan di wilayah itu.
Ketika itu belum ada koordinasi yang baik lintas sektoral dalam penanganan rabies. Bahkan, stok vaksin antirabies pun tidak tersedia. Khoirul lalu mengupayakan berbagai cara agar ada stok VAR untuk mencegah rabies meluas, terutama di kecamatan yang berbatasan atau berdekatan dengan Kalteng, seperti Manis Mata, Marau, dan Tumbang Titi.
Dalam benaknya muncul kekhawatiran kalau wabah tersebut akan terus meluas hingga ke Kota Ketapang.
Baca juga: Menyekat rabies dengan "one health"
Sempat Abai
Drh. Hidayatullah termasuk yang pernah mengunjungi langsung kediaman Alvin. Dia ingat, pada saat itu, dirinya dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kalbar bersama Pemkab Ketapang sosialisasi tentang ancaman rabies di Kecamatan Manis Mata.
Sosialisasi itu agar meski Kalbar masih bebas dari rabies, warga waspada terhadap ancaman penyakit mematikan tersebut.
Usai sosialisasi, dia mendapat informasi bahwa ada warga di areal perkebunan kelapa sawit yang digigit anjing. Kejadiannya sekitar 1 minggu sebelumnya. Dia bersama rombongan kemudian pergi ke rumah Alvin.
Tidak mudah mencapainya. Mereka harus melewati jalan tanah merah khas perkebunan kelapa sawit yang panas dan berdebu.
Setelah sekitar 1 jam perjalanan, mereka tiba di rumah pasangan muda itu. Alvin duduk di pangkuan ibunya. Luka di pipinya sudah mengering setelah dirawat di klinik setempat.
Bocah itu tampak malu-malu karena tidak seperti biasanya, rumahnya yang sederhana dan jauh di dalam areal perkebunan kelapa sawit, dikunjungi banyak orang. Terlebih lagi, ada yang mengabadikan dirinya, baik berupa foto maupun video.
Saat Hidayatullah bertanya, Alvin enggan menjawab. Dia malah menangis sambil meringkuk di pangkuan sang ibu. Namun, dari raut wajahnya terlihat kalau bocah malang itu menahan sakit.
Pada saat kejadian (13-10-2014), Alvin tengah bermain dengan seorang sepupunya tidak jauh dari rumahnya. Tubuh sepupunya itu lebih tinggi daripada Alvin. Tengah asyik bermain, kakek Alvin terlihat berjalan dari arah kebun sambil menyeret bangkai seekor anjing.
Di belakang bangkai itu, ada seekor anjing yang tampak mengikuti jejak langkah sang kakek. Si kakek terus berjalan hingga akhirnya melewati cucu-cucunya yang tengah bermain itu.
Selayaknya bocah usia 4 tahun, Alvin bersama sepupunya tampak riang menyambut kakeknya. Tidak dinyana, anjing yang sedari tadi mengikuti sang kakek berupaya mengigit keduanya.
Alvin kurang beruntung karena tubuhnya lebih kecil sehingga mudah dijangkau anjing gila tersebut. Pipi kanannya terluka. Madi dan Efina tampak khawatir dengan kondisi anaknya itu. Mereka takut anaknya terkena rabies.
Namun, keduanya pasrah karena minimnya informasi dan layanan kesehatan di daerah yang terpencil seperti itu.
Hidayatullah pun tidak bisa berbuat banyak. Stok VAR pada masa itu sangat minim. Terlebih lagi, Kalbar masih dalam status sebagai daerah bebas dari rabies. Kedatangannya ke Manis Mata malahan untuk menyosialisasikan upaya pencegahan agar rabies tidak menjalar ke Kabupaten Ketapang, khususnya dan Kalbar umumnya.
Selepas itu, Hidayatullah kembali ke Pontianak bersama rombongan dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Kalbar.
Tiga minggu kemudian, dia mendapat kabar dari rekannya bahwa bocah lelaki yang mereka datangi di Kecamatan Manis Mata itu meninggal dunia. Penyebabnya adalah rabies. Dia kaget dan sedih. Terlebih lagi, penyebab kematian Alvin adalah rabies.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018