Pontianak (Antaranews Kalbar) - Rektor Balai Kopi, Qodja menyatakan, dalam politik elektoral atau politik praktis tidak perlu terlalu serius sampai harus terbelah dan berseteru karena perbedaan pilihan politik, sebab para elit parpol berhubungan sangat cair. 

"Mereka bersekutu dan berseteru karena masalah kepentingan sehingga muncul kaidah tidak ada kawan dan lawan abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan yang abadi," kata Qodja saat menjadi pemateri pada Workshop Literasi Politik di Politeknik Negeri Sambas, Rabu.

Namun jika sudah terkait dengan urusan politik strategis, maka harus serius dan turun tangan menyelesaikan persoalan bangsa tanpa harus menunggu instruksi dari siapa pun. Jika bertemu masalah di masyarakat, maka siapapun harus tergerak untuk menyelesaikan masalah, katanya. 

Qodja mencontohkan aksi politik strategis yang berhubungan dengan urusan tata negara. Ketika Mohammad Natsir, mengajukan Mosi Integral di tahun 1950 untuk menyatukan seluruh wilayah Nusantara melebur kedalam sistem NKRI atau Negara Kesatuan Republik Indonesia, terjadi perdebatan diantara bapak bangsa saat itu. 

Ada dua tokoh yang tidak setuju dengan konsep Negara Republik, keduanya adalah Mohammad Hatta dan Romo Mangunwijaya. Menurut keduanya, Nusantara ini secara geografis dan demografi berbeda-beda di tiap wilayah tidak bisa diseragamkan dengan konsep pemerintahan yang sentralistik. Keduanya beranggapan, jika Indonesia tetap dipaksakan sebagai Negara Republik bisa berpotensi membuat Indonesia bubar. 

Mereka mengusulkan Indonesia kembali kedalam bentuk federal. Waktu berjalan hingga Indonesia melalui fase Orde Lama dan Orde Baru lalu masuk ke era transisi Reformasi. Segala dugaan Hatta dan Romo Mangun menjadi terbukti sebab di masa transisi Reformasi negara tidak stabil, Timor-Timor lepas dari NKRI, dan ancaman disintegrasi bangsa mengemuka.

Di Aceh, GAM kembali bergerilya untuk kembali berperang, di Ambon dan Poso terjadi kerusuhan antar agama, di Kalimantan Tengah dan Barat terjadi kerusuhan etnis. Indonesia berhadapan pada situasi genting. Saat itu yang menjabat sebagai Presiden adalah Gus Dur dan yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan adalah Pakar Tata Negara, Mahfud MD.


Kegelisahan Mahfud MD disampaikan kepada Presiden Gus Dur saat itu, dan menjawab, “Masyarakat kita tidak terlalu peduli dan mengerti soal sistem republik atau federal. Begini saja, sistem kita tetap Republik tapi impelementasinya seperti negara federal.” 

Maka sejak saat itu pemerintahan Gus Dur mengeluarkan Undang-Undang Otonomi Daerah. Hasilnya sangat efektif, GAM bisa diredam dengan pemberlakuan otonomi khusus di Aceh, begitupun di DKI Jakarta dan Yogyakarta, di setiap provinsi, pejabat setempat memiliki wewenang untuk mengelola kebijakan yang sesuai kearifan lokal. 

Demikian contoh politik strategis yang mampu menjaga Indonesia tetap terawat. Contoh lain dari politik strategis adalah munculnya banyak ormas yang berkhidmat untuk pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial dan budaya. Mereka bergerak menyelesaikan masalah di sekitar, membantu orang lain tanpa pandang latar belakang, suku dan agama. 

Jadi percakapan atau pertanyaan yang paling harus dilontarkan adalah, apa kontribusi yang bisa kita berikan bagi bangsa dan negara?. Ini level politik strategis. Bukan lagi mempersoalkan, siapa yang kamu dukung dalam Pilkada atau Pilpres kali ini?, dan ini level politik elektoral, katanya.




 

Pewarta: rilis

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018