Pontianak (Antaranews Kalbar) - Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara menyatakan, terkait rencana program peningkatan kandungan B30 (biodiesel 30 persen) pada BBM, harus dilakukan uji coba secara transparan oleh pemerintah.
"Sebenarnya kebijakan B30 tersebut cukup baik dan relevan, sepanjang pelaksanaan dijalankan sesuai dengan prosedur dan tata laksana yang berlaku umum dan transparan, serta semua pihak terkait memperoleh porsi keuntungan yang wajar dan berkeadilan," kata Marwan Batubara dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Senin.
Untuk itu, pemerintah harus melakukan sosialisasi dan uji coba dengan melibatkan lembaga independen secara komprehensif, serta hasilnya disampaikan secara terbuka.
"Pendekatan kekuasaan dan pemaksaan kehendak harus dihindari, apalagi jika dimaksudkan hanya untuk melindungi kepentingan sektor industri CPO," ujarnya.
Ia menyatakan, pihaknya tidak ingin pemberlakuan kebijakan B30 (sebelumnya B20 pada 2016) lebih berat untuk melindungi dan mendukung pemilik industri CPO karena keuntungan tergerus saat harga CPO turun.
Namun disisi lain, konsumen pemilik kendaraan pribadi, perusahaan kereta api, alat-alat berat, industri tambang, transportasi kapal, kapal-kapal TNI-AL justru harus merugi dan dikorbankan. "Kami ingin pemerintah bersikap adil dan membuat kebijakan yang berkeadilan bagi semua pihak," katanya.
Saat harga minyak dunia turun pada 2015-2016 turun pada kisaran 30-45 dolar AS per barel, semua kalangan konsumen nasional menikmati harga BBM yang murah. Namun saat harga CPO turun cukup rendah, rakyat Indonesia tidak merasakan manfaat apa-apa sebagaimana terjadi pada sektor Migas, katanya.
"Bahkan justru rakyat diminta untuk berkorban 'menolong' industri atau produsen CPO dengan program B20 atau B30. Perlu dicatat saat harga CPO naik, rakyat juga harus membayar produk-produk CPO yang naik itu, meskipun kita menyandang status sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia," ujarnya.
Saat harga CPO tinggi, keuntungan yang berlipat tersebut dinikmati produsen CPO, karena pemerintah pun tidak memberlakukan skema windfall profit tax (WPT), meskipun Indonesia memiliki falsafah tentang keadilan sosial, sila ke-5 Pancasila.
Padahal jika merujuk ke Malaysia sebagai produsen kedua terbesar CPO dunia, ternyata Malaysia telah memberlakukan WPT industri CPO sesuai Windfall Profit Levy Act 1998. Besarnya pajak tambahan WPT untuk penjualan CPO adalah 15 persen saat harga CPO melebihi RM 2500 di Semenanjung Malaysai, dan RM 3000 di Sabah dan Sarawak.
"Kami ingin pemerintah dalam membuat kebijakan yang bebas campur tangan kepentingan para konglomerat pemilik industri sawit. Di samping itu pemerintah perlu menjamin dominasi negara dalam membuat kebijakan dan penguasaan pada seluruh rantai produksi CPO sesuai pasal 33 UUD 1945, sehingga BUMN yang berperan di sektor industri CPO," katanya.
Selain itu, kebijakan B30 juga tidak hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan di lingkaran kekuasaan. Dalam program B-7 sebelumnya, terdapat tiga perusahaan pemasok FAME ke Pertamina, yakni PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Musim Mas. "Mengapa perusahaan tersebut yang terus-menerus dominan," tanyanya.
"Sehingga pemerintah harus menerapkannya program B30 secara terencana, sesuai prosedur dan tata cara yang benar dan legal, serta bebas KKN," kata Marwan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018
"Sebenarnya kebijakan B30 tersebut cukup baik dan relevan, sepanjang pelaksanaan dijalankan sesuai dengan prosedur dan tata laksana yang berlaku umum dan transparan, serta semua pihak terkait memperoleh porsi keuntungan yang wajar dan berkeadilan," kata Marwan Batubara dalam keterangan tertulisnya kepada Antara di Pontianak, Senin.
Untuk itu, pemerintah harus melakukan sosialisasi dan uji coba dengan melibatkan lembaga independen secara komprehensif, serta hasilnya disampaikan secara terbuka.
"Pendekatan kekuasaan dan pemaksaan kehendak harus dihindari, apalagi jika dimaksudkan hanya untuk melindungi kepentingan sektor industri CPO," ujarnya.
Ia menyatakan, pihaknya tidak ingin pemberlakuan kebijakan B30 (sebelumnya B20 pada 2016) lebih berat untuk melindungi dan mendukung pemilik industri CPO karena keuntungan tergerus saat harga CPO turun.
Namun disisi lain, konsumen pemilik kendaraan pribadi, perusahaan kereta api, alat-alat berat, industri tambang, transportasi kapal, kapal-kapal TNI-AL justru harus merugi dan dikorbankan. "Kami ingin pemerintah bersikap adil dan membuat kebijakan yang berkeadilan bagi semua pihak," katanya.
Saat harga minyak dunia turun pada 2015-2016 turun pada kisaran 30-45 dolar AS per barel, semua kalangan konsumen nasional menikmati harga BBM yang murah. Namun saat harga CPO turun cukup rendah, rakyat Indonesia tidak merasakan manfaat apa-apa sebagaimana terjadi pada sektor Migas, katanya.
"Bahkan justru rakyat diminta untuk berkorban 'menolong' industri atau produsen CPO dengan program B20 atau B30. Perlu dicatat saat harga CPO naik, rakyat juga harus membayar produk-produk CPO yang naik itu, meskipun kita menyandang status sebagai negara produsen CPO terbesar di dunia," ujarnya.
Saat harga CPO tinggi, keuntungan yang berlipat tersebut dinikmati produsen CPO, karena pemerintah pun tidak memberlakukan skema windfall profit tax (WPT), meskipun Indonesia memiliki falsafah tentang keadilan sosial, sila ke-5 Pancasila.
Padahal jika merujuk ke Malaysia sebagai produsen kedua terbesar CPO dunia, ternyata Malaysia telah memberlakukan WPT industri CPO sesuai Windfall Profit Levy Act 1998. Besarnya pajak tambahan WPT untuk penjualan CPO adalah 15 persen saat harga CPO melebihi RM 2500 di Semenanjung Malaysai, dan RM 3000 di Sabah dan Sarawak.
"Kami ingin pemerintah dalam membuat kebijakan yang bebas campur tangan kepentingan para konglomerat pemilik industri sawit. Di samping itu pemerintah perlu menjamin dominasi negara dalam membuat kebijakan dan penguasaan pada seluruh rantai produksi CPO sesuai pasal 33 UUD 1945, sehingga BUMN yang berperan di sektor industri CPO," katanya.
Selain itu, kebijakan B30 juga tidak hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan di lingkaran kekuasaan. Dalam program B-7 sebelumnya, terdapat tiga perusahaan pemasok FAME ke Pertamina, yakni PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Musim Mas. "Mengapa perusahaan tersebut yang terus-menerus dominan," tanyanya.
"Sehingga pemerintah harus menerapkannya program B30 secara terencana, sesuai prosedur dan tata cara yang benar dan legal, serta bebas KKN," kata Marwan.
COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2018