Pontianak (Antaranews Kalbar) - Direktur Energy Watch Mamit Setiawan menyatakan, polemik harga avtur yang katanya mahal mesti dibedah lebih dalam lagi, dan jangan sampai jadi "kambing hitam" untuk merebut bisnis BUMN Pertamina.

"Sebagaimana kita ketahui bahwa harga avtur itu dipengarhui oleh harga minyak dunia dan juga kurs rupiah terhadap dolar. selain itu, komponen distribusi avtur juga menjadi salah satu penentu harga avtur. Jika avtur dijadikan sebagai komponen tertinggi biaya operasional, sangat tidak fair karena di dalam komponen perhitungan harga tiket, biaya bahan bakar hanya dikenakan sebesar 24 persen dari harga tiket berdasarkan data Komponen Biaya maskapai yang dikeluarkan oleh Kementrian Perhubungan," kata Mamit Setiawan dalam keterangan tertulisnya, Kamis.

 Ia menjelaskan, untuk biaya avtur sendiri, sebagai negara yang termasuk net importir minyak, Indonesia menetapkan harga yang cukup kompetitif dibandingkan dengan negara lain.

Sebagai perbandingan, harga per barrel avtur di Bandara Internasional Soekarno Hatta sebesar 107,7 dolar AS, dibandingkan dengan Bandara King Abdul Aziz Arab Saudi yang mencapai 112 dolar AS, padahal Arab Saudi terkenal sebagai negara penghasil minyak dunia, katanya.

Selain itu,berdasarkan data yang dikeluarkan aeroportos, harga Avtur di Cengkareng hanya 0.476 dolar AS/liter jauh lebih murah jika dibandingkan dengan Avtur di Bandara Chiang Mai Thailand sebesar 0.526 dolar AS per liter. Di Bandara Dili Timor Leste,harga avtur adalah sebesar 0.875 dolar AS per liter. Jadi anggapan bahwa harga avtur Pertamina paling mahal di Asean adalah salah besar, katanya.

"Harga avtur Pertamina masih bersaing dan kompetitif dengan harga avtur di negara lain," katanya.

Mamit menambahkan, perlu dipahami juga, Pertamina harus mensuply avtur ke bandara yang masuk katagori remot. Sehingga mereka harus melalukan subdisi silang. Mengingat, transportasi udara adalah salah satu cara dalam meningkatkan perekonomian di wilayah tersebut. 

Jika disesuaikan dengan harga ke ekonomian, maka harga avtur akan tinggi sekali di daerah tersebut. Jika swasta ingin masuk dalam bisnis avtur, maka mereka harus bermain di wilayah remote juga, katanya.

"Pemerintah jangan hanya memberikan izin kepada swasta untuk bermain di wilayah gemuk atau bandara-bandara besar saja. Swasta juga harus bisa membantu Pertamina dalam fungsi mereka sebagai PSO," lanjut pengamat energy nasional itu. 

Lebih jauh ia mengatakan, dengan demikian, persepsi bahwa avtur Pertamina mahal dan menyebabkan harga tiket mahal serta sepinya penumpang adalah pendapat yang menyesatkan dan sangat tidak benar. 

"Harga avtur telah terkesan dijadikan kambing hitam saja Menteri BUMN harus menegur Dirut Garuda selaku ketua INACA yang pertama kali melontarkan soal isu mahalnya avtur ini," tambahnya.

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2019