Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kalbar, Rudyzar Zaidar Mochtar menyatakan, harga rotan anjlok karena kebijakan ekspor rotan yang tidak diubah, sehingga merugikan petani hingga industri pengolahan.

"Kami mendesak pemerintah mengevaluasi kebijakan perdagangan rotan, yang saat ini sangat tepat untuk menyangga kesejahteraan masyarakat di tengah melemahnya perekonomian nasional akibat pandemi COVID-19," kata Rudyzar Zaidar Mochtar di Pontianak, Rabu.

Ia menjelaskan, saat ini tata niaga rotan diatur oleh Permendag No. 35 tahun 2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan dan Produk Rotan. Ketentuan itu melarang ekspor rotan mentah, rotan asalan, rotan W/S dan rotan setengah jadi.

Meski bertujuan untuk mendorong rotan mentah dan setengah jadi diolah menjadi produk jadi demi nilai tambah, nyatanya tujuan tersebut tidak pernah tercapai. "Ekspor produk rotan jadi dalam bentuk furnitur ternyata malah 'melorot' tajam," ungkapnya.

Karena, menurut Rudyzar, penutupan ekspor membuat harga rotan mentah dan setengah jadi tertekan yang berdampak pada produksi yang seret karena tidak lagi menguntungkan. "Ujungnya, pasokan rotan untuk industri furnitur malam mampet," ujarnya.

Dia menambahkan, Permendag No.35/2011 telah merugikan semua pihak dalam rantai pemanfaatan rotan di tanah air, yang berdampak para petani pemungut rotan menjadi menderita, industri pengolahan rotan setengah jadi tutup, dan ekspor rotan juga tidak berhasil, malah "menukik" turun tajam.

"Kebijakan untuk menutup ekspor rotan bahan baku rotan atau setengah jadi sudah dilakukan sejak tahun 1979 atau hingga saat ini sudah enam kali. Semuanya tidak berhasil, malah merusak potensi ekonomi rotan itu sendiri," kata Rudyzar.

Berdasarkan data BPS, mencatat periode 2011-2018, ekspor furnitur rotan memang turun, saat Permendag No. 35/2011 efektif diberlakukan. Tahun 2012, ekspor rotan turun sebesar 45 persen, dan penurunan itu terus terjadi mulai 2012-2018 hingga minus 16 persen. 

Nilai ekspor mebel rotan di tahun 2011 sempat sebesar 74 juta dolar AS, di tahun 2018 hanya tinggal 19 juta dolar AS atau turun sebesar 54 juta dolar AS atau hanya tinggal 26,8 persennya saja, kata Rudyzar.

"Terlihat pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi yang niatnya agar industri furnitur rotan Indonesia tumbuh, ternyata malah sebaliknya," katanya.

Malah, pelarangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi, terbukti menguntungkan petani rotan dari negara tetangga, seperti Filipina, yang saat ini memasuk kebutuhan rotan dunia sebesar 70 persen.

"Sementara di sisi lain, berkurangnya pasokan rotan mentah dan setengah jadi dari Indonesia, justru memicu produk tidak ramah lingkungan, yakni rotan plastik, yang malah diikuti industri furnitur rotan tanah air juga memproduksi produk rotan plastik itu," ujarnya.

Indonesia sebagai pusat pertumbuhan rotan dunia, sejatinya memiliki keunggulan sebagai pemasok bahan baku. Indonesia saat ini bukan dan belum menjadi penghasil mebel rotan yang artistik, katanya.

Sebagai gambaran, berdasarkan data Sucofindo tahun 2012, jumlah rotan yang diperdagangkan di dalam negeri untuk kemudian diekspor sebagai produk rotan adalah 33.271 ton, sementara produksi rotan lestari di Indonesia 247.291 ton kering.

"Artinya rotan yang termanfaatkan hanya sekitar 13,5 persen dari kapasitas produksi lestasi. Jadi masih terdapat 214.019 ton atau 86,5 persen yang belum dimanfaatkan sebagai sumber ekonomi potensial," katanya.

Sehingga, menurut Kadin Kalbar, menutup ekspor rotan setengah jadi sama saja dengan menutup pasar bagi 86,5 persen rotan yang dimiliki. "Jumlah kelebihan atau sisa dari pemakaian industri dalam negeri inilah yang bisa diekspor dalam upaya menambah devisa dan mengurangi defisit neraca perdagangan negara," katanya.

Sehingga kebijakan tutup atau buka ekspor rotan harusnya dianggap sebagai "tool". Saat kelebihan bahan baku di dalam negeri, pilihan melakukan ekspor dibuka, kemudian saat pemakaian dalam negeri tinggi maka ekspor ditutup, ujarnya.

"Saat pemakaian rotan di dalam negeri hanya sebesar 13,5 persen, maka pilihannya harusnya mengizinkan ekspor, bukan malah melarang. Kalau misalnya konsumsi atau pemakaian dalam negeri sudah mencapai 60 persen atau lebih, maka lakukanlah larangan ekspor," kata Rudyzar. 


 

Pewarta: Andilala

Editor : Andilala


COPYRIGHT © ANTARA News Kalimantan Barat 2020